Kurangi Pengangguran, Buka Jalan Bersama Pekerja Migran (1)

Akselerasi penempatan pekerja migran kompeten atau berketerampilan, diwacanakan sebagai solusi menekan pengangguran di dalam negeri.. 

Kurangi Pengangguran, Buka Jalan Bersama Pekerja Migran (1)
Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) saat mengikuti pembekalan di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A).
Daftar Isi

Akselerasi penempatan pekerja migran kompeten atau berketerampilan, diwacanakan sebagai solusi menekan pengangguran di dalam negeri. Pemerintah serius melakukan pelatihan juga advokasi perlindungan, termasuk sebelum keberangkatan hingga pasca kepulangan.  

Sudah tiga kali, Jiati mengadu nasib di negeri orang. Pertama ia ke Taiwan, 26 tahun lalu. Permasalahan rumah tangga, ditambah kesulitan ekonomi membuatnya harus cari peluang di tempat lain. Melihat banyak tetangganya yang berangkat jadi pekerja migran, Jiati yakin untuk pergi ke luar negeri.

Dia bertekad memperbaiki ekonomi keluarganya. “Saya cuma lulusan SD, susah cari kerja di sini. Sehari-hari saya cuma ibu rumah tangga.” kata perempuan 46 tahun itu.

Keberangkatan pertama Jiati ke Taiwan difasilitasi oleh PT Asri Cipta Tenaga Karya. Di tempat itu, keseharian Jiati diisi dengan senam rutin setiap pagi, belajar bahasa Taiwan, serta belajar keterampilan teknis. Jiati belajar banyak keterampilan, mulai dari memasak, bersih-bersih, menyetrika, merapikan kamar tidur seperti di hotel, sampai tata-cara mendorong kursi roda.

“Saya praktik menggendong juga. Bagaimana cara mengangkat dari depan. Lalu praktek lain seperti mendorong kursi roda. Misalnya di jalan menurun, saya harus berada di depan. Jadinya jalan mundur, supaya kursi rodanya bisa ditahan.” ungkapnya. 

Untuk mempelajari berbagai keterampilan itu, Jiati tidak menemukan kesulitan berarti. Tantangan muncul saat Jiati belajar bahasa Taiwan. Dia sama sekali tidak familiar dengan bahasa itu. Belum lagi, “mayoritas dari kami yang mau berangkat ini punya banyak masalah, pikirannya pasti rumit.” katanya sembari tertawa kecil. 

Aturan yang ditetapkan PT Asri Cipta Tenaga Karya kepada calon pekerja migrannya relatif ketat. Calon pekerja migran tidak diizinkan keluar dari lingkungan perusahaan. “Misalnya ada yang sudah punya suami, terus dia pulang sebentar. Pas balik ke PT lagi ternyata malah hamil. Kan PT rugi, apalagi kalau visanya sudah rilis dan sudah dapat majikan.” kata Jiati.

Ini momen-momen paling sulit bagi Jiati selama dia berada di PT Asri Cipta Tenaga Karya, terpisah dari keluarga. Itulah alasan Jiati sangat senang jika keluarganya datang mengunjunginya di akhir pekan. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu seharian penuh, makan bersama, sambil bergosip.

Manis Getir Garis Hidup Pekerja Migran

Jiati mendapatkan momen paling membahagiakan selanjutnya: mendapatkan pekerjaan. Setelah belajar dan menunggu selama 2 bulan, akhirnya ada majikan di Taiwan yang memilih Jiati. Mulanya, Jiati dijanjikan akan bekerja sebagai caregiver.

Jiati (Suar.id/Dok. Pribadi)

Namun, ketika kontrak disodorkan kepadanya, Jiati cuma bekerja di sebuah warung makan. Ia pun hanya mendapat gaji sekitar NT $15.470. Kata Jiati, hal ini bertentangan dengan aturan negara Taiwan. Waktu itu, pekerja asing tidak diperbolehkan bekerja di luar sektor rumah tangga. Majikan yang kedapatan melanggar aturan itu akan dikenai denda sampai NT$300.000. 

Namun ia setuju saja. “Waktu itu saya enggak mengerti. Di pikiran saya yang penting cepat berangkat,” ungkapnya. Jika ada otoritas setempat yang bertanya kepada Jiati, dia harus mengaku bekerja sebagai perawat lansia dan anak-anak. Jiati berangkat ke Taiwan dan tiba di Taoyuan, sebuah kota satelit yang kini sudah berkembang jadi metropolitan seperti ibu kota Taipei.

Jiati bekerja sembari menyembunyikan pekerjaan sebenarnya. Setiap ada pelanggan di warung yang bertanya kepadanya, dia akan mengaku sebagai caregiver. Praktis, keterampilan caregiver yang Jiati pelajari sewaktu di Malang tidak terpakai sama sekali.

Setelah satu setengah tahun bekerja, seorang wartawan yang sering makan di warung tempat Jiati bekerja menawarinya wawancara. Jiati sumringah. “Saya mau diwawancara karena saya pikir nantinya akan ditonton keluarga di Malang. Bisa titip salam.” kata perempuan asal Ngantang, Malang ini. Wawancara dilakukan saat majikan Jiati sedang tidak berada di warung.

Sayangnya, wawancara itu mendatangkan nasib sial kepada Jiati. Hasil wawancara ditayangkan di TV nasional. Tetangga majikan Jiati yang menonton siaran itu langsung melaporkannya kepada majikan Jiati. Sang majikan lantas panik. Jiati segera diamankan saat itu juga.

Malam harinya, Jiati diminta berkemas oleh majikannya. Seseorang menjemput Jiati dari rumah majikannya lalu membawa Jiati pergi entah ke mana selama 5 jam perjalanan. “Saya tiba di sebuah ruko. Saya tidak ingat itu tempat apa,” katanya. Jiati diminta menunggu di ruko itu sampai dapat instruksi berikutnya.

Namun, Jiati merasa tidak nyaman. Berada di lokasi yang tidak dia ketahui bikin Jiati was-was. Dia menelpon anak sang majikan dan ingin kembali ke rumah. Sang anak majikan, setelah melaporkan kepada orang tuanya, mengizinkan Jiati pulang. “Saya langsung cari terminal bis terdekat.” katanya. 

Sesampainya di rumah majikan, Jiati tidak lagi bekerja di warung. Sekitar empat hari dia hanya berdiam di rumah sang majikan. Sampai akhirnya, keputusan terpaksa diambil. Jiati dipecat. Dia diminta mengemasi seluruh barang-barangnya.

Jiati saat ini yang sudah punya majikan baik hati di Taiwan (Suar.id/Dok. Pribadi)

Majikan Jiati sendiri yang langsung mengantarkannya ke bandara. Di sana, sang majikan membayar semua hak Jiati, termasuk membelikannya tiket pesawat. “Majikan saya nangis.” ujar Jiati. 

Jiati mengatakan, pengalaman pertamanya bekerja di luar negeri sangat berkesan. Ia mendapatkan majikan yang baik dan tidak pernah sekalipun mengalami perlakuan diskriminatif. Karenanya, ia merasa sedih saat harus berpisah dengan majikannya.

“Saya enggak selera makan karena di warung kena asap terus. Majikan saya belikan saya buah supaya saya makan. Setiap kali jalan-jalan saya selalu diajak. Saya ikut dia mandi air hangat sewaktu liburan. Saya juga dibelikan barang-barang. Hubungan kami seperti orang tua dan anak.” katanya. 

Jiati pulang ke Malang dan kembali lagi ke PT Asri Cipta Tenaga Karya. Dia kembali menjalani rutinitasnya sebagai CPMI: belajar bahasa asing seperti bahasa mandarin, mengasah keterampilan, sembari berharap segera dapat pekerjaan. Butuh waktu enam bulan sampai Jiati dapat kesempatan bekerja lagi di luar negeri. Jiati lanjut bekerja di Hong Kong sebagai perawat anak dengan gaji sekitar HK$4.450. 

Jiati kembali menjalani rutinitasnya sebagai CPMI: belajar bahasa asing seperti bahasa mandarin, mengasah keterampilan, sembari berharap segera dapat pekerjaan.

Namun, yang Jiati alami di Hong Kong berbeda 180 derajat dengan di Taiwan. Jiati kerap dapat perlakuan diskriminatif dari majikannya. Saat meninabobokan anak majikan, Jiati tidak diizinkan duduk di atas ranjang. Dia diminta duduk di lantai. Dalam hal makan juga begitu. Jiati tidak boleh makan bersama majikannya di meja yang sama. “Di Taiwan, saya makan satu meja dengan majikan saya.” katanya membandingkan.

Perlakuan diskriminatif tidak hanya berhenti di situ. Pada tiga bulan pertama, Jiati hanya bisa libur 2 kali dalam sebulan. Padahal, aturan di Hong Kong mewajibkan pekerja untuk libur setiap minggunya. 

Belum lagi hal-hal kecil yang bagi Jiati tampak sepele, tapi bisa memicu amarah majikan. Saat dia mengepel lantai dan sang majikan menemukan ada sehelai rambut yang tertinggal, Jiati kembali dimarahi dan diminta ngepel ulang. “Majikan saya sadis,” katanya.

Setiap hari, Jiati diwajibkan membuat laporan tertulis tentang semua pekerjaan yang sudah ia lakukan. Setiap kali menyerahkan laporan kepada sang majikan, ia hampir selalu dimarahi. Majikannya selalu saja mencari-cari kekurangan dari apa yang telah dikerjakan Jiati.

“Majikan saya itu terlalu protektif terhadap anaknya,” kata Jiati. “Saya harus selalu tepat waktu. Misalnya, kalau antar anak sekolah jam 9, saya harus kasih laporan tepat jam 9. Enggak boleh kurang, enggak boleh lebih. Begitu juga saat pulang. Kalau dia minta saya sudah sampai rumah jam 2, ya harus jam 2. Dia seperti orang stres. Saya juga enggak tahu kenapa.”

Bahkan Jiati kerap mendapat ancaman pembunuhan secara verbal. Anak yang diasuh disebut sebagai pewaris keluarga, dan Jiati diperingatkan akan dimintai pertanggungjawaban penuh jika terjadi sesuatu. “Kamu nantinya ganti dibunuh kalau terjadi apa-apa!” kata Jiati, menirukan ucapan majikannya.

Tak ayal, Jiati tertekan. Mentalnya hancur.  Setiap malam selepas bekerja, Jiati sering menangis sendirian di kamar tidurnya. “Tiap kali baca surat dari keluarga di Malang dan lihat foto anak, saya pasti langsung menangis,” katanya. 

Jiati tertekan. Mentalnya hancur.  Setiap malam selepas bekerja, Jiati sering menangis sendirian di kamar tidurnya.

Setelah tujuh bulan bekerja dalam situasi seperti itu, Jiati dipecat. Sampai saat ini, Jiati tidak mengetahui alasan pemecatannya. Hak Jiati sebagai korban PHK juga tidak dipenuhi. Jiati segera mengemas barang-barangnya dan pergi menemui temannya sesama PMI di Hong Kong yang bernaung di bawah Indonesia Migrant Workers Union (IMWU).

Jiati menceritakan kasusnya kepada IMWU. “Mereka bersedia mendampingi saya,” kata Jiati. Selama proses perundingan, Jiati belajar tata cara berorganisasi dan hak-hak pekerja. Setelah dua bulan proses perundingan, akhirnya majikan Jiati bersedia membayar semua haknya.

Jiati kembali tidak memiliki pekerjaan. Dia sebetulnya belum mau pulang ke Indonesia. Jiati masih ingin bertahan di Hong Kong mencari pekerjaan. Namun, hal itu tidak memungkinkan karena Jiati harus memiliki stok uang untuk bertahan hidup di Hong Kong. Jiati terpaksa pulang ke Malang.

Menempuh Kehidupan Baru

Di Malang, berbekal pengetahuan yang dia peroleh selama berproses bersama IMWU, Jiati meminta uang asuransi yang menjadi haknya sebagai korban PHK kepada PT Asri Cipta Tenaga Karya. Jiati didampingi seorang lelaki dari Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI). Prosesnya tidak rumit.

PT Asri Cipta Tenaga Karya langsung membayar uang asuransi Jiati. Kemudian, lelaki yang mendampinginya itu menikahinya.

Setelah kepulangannya dari Hongkong, Jiati tidak aktif mencari kerja di luar negeri. Dia banyak bergiat di isu buruh migran. Bersama kawan-kawan sesama buruh migran, Jiati menginisiasi berdirinya Gerakan Buruh Migran Malang (Gemilang). Gerakan ini kemudian jadi organ dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan berubah nama jadi SBMI Dewan Pengurus Cabang (DPC) Malang. Jiati sempat menjabat sebagai ketua. 

Tidak hanya Malang, Jiati juga aktif bergiat pada level provinsi dan nasional. Dia sempat jadi ketua SBMI Dewan Pengurus Wilayah Jawa Timur. Pada periode itu, kata Jiati, ia sering waktu itu mondar-mandir ke Jakarta. "Mendampingi buruh migran yang lagi kena masalah.”

Aktivis Serikat Buruh Migran Jawa Timur (Dok. zonapos.co.id)

Selain aktif mendampingi dan mengadvokasi kasus yang menimpa buruh migran, Jiati turut aktif melakukan kerja-kerja pendidikan dan pengorganisasian. Mulai dari pemahaman atas hak buruh hingga upaya untuk mandiri secara ekonomi. Salah satunya, Jiati menginisiasi pendirian koperasi khusus buruh migran di Malang, Koperasi TKI Purna Jaya Makmur. “Awalnya itu koperasi simpan pinjam. Sekarang sudah ada tokonya.” katanya.

Selama hampir dua dasawarsa Jiati berkecimpung sebagai aktivis buruh. Aktivutas itu ia tinggalkan setelah ia melakukan regnerasi di orgabuisasinya, yang membuat ia kembali kekampung. "Saya berternak sapi dan buka bengkel sepeda motor," katanya. Naas, pandemi COVID mewabah. Ekonomi Jiati kembali terpuruk. Bengkelnya tutup. “COVID itu semua susah. Belum lagi ternak saya kena penyakit mulut dan kuku.” katanya.

Agar asap dapur tetap ngebul, Jiati mengambil keputusan untuk kembali lagi ke luar negeri. Dia memanfaatkan jaringan perkawanan sesama pekerja migran di Taiwan. “Saya telepon beberapa kawan di sana. Saya minta mereka bantu saya, tolong cari pekerjaan untuk saya,” katanya. 

Kabar baik datang. Temannya berhasil menemukan pekerjaan untuk Jiati. Dia akan bekerja sebagai caregiver. Dia segera mengurus segala keperluan untuk kembali lagi ke Taiwan. Kali ini prosesnya agak berbeda. Jika sebelumnya Jiati datang dulu ke perusahaan penempatan, belajar, lalu menunggu dapat majikan, sekarang sebaliknya. Agensi di Taiwan yang memilih perusahaan untuk Jiati. Dia diberangkatkan oleh PT Defita Bersaudara. 

Sayangnya, Jiati tidak bisa langsung terbang ke Taiwan. Karena pandemi COVID, pemerintah Taiwan masih melarang kedatangan wisatawan dan pekerja migran. Jiati terpaksa menunggu selama setahun.

Jiati baru tiba di PT Defita Bersaudara dua bulan sebelum keberangkatan. Di sana, ia kembali menjalani rutinitas yang pernah ia lakukan 26 tahun lalu. “Awalnya saya agak malu karena saya sudah sering bicara di mana-mana. Dan sekarang saya malah mau jadi buruh migran lagi. Tapi mau bagaimana lagi?” katanya. Karena merupakan mantan pekerja migran, Jiati tidak hanya ikut belajar, tetapi juga sering diminta membantu mengajari calon pekerja lainnya di sana.

Kini, Jiati sudah bekerja selama 3 tahun di Yunlin, Taiwan. Dia merawat lansia berusia 95 tahun dan tinggal bersama lansia itu beserta tiga orang anggota keluarganya. Tidak ada hambatan berarti selama Jiati bekerja.

Karakter majikannya setali tiga uang dengan majikan pertamanya di Taoyuan dulu. “Saya sudah dianggap seperti bagian dari keluarga mereka.”

Di tempat barunya ini, Jiati kembali merasakan hangatnya kebersamaan. Dia makan satu meja dengan majikan. Dia tidak lagi mendapatkan perlakuan diskriminatif. Lagi, dia selalu diajak dalam acara liburan keluarga. Jiati betah dengan pekerjaannya. "Saya tidak lagi khawatir akan diomeli setiap hari," katan Jiati yang mengaku sedang berlibur dengan keluarga majikannya di Taipei.

Jiati bersama keluarga tempat ia bekerja di Taiwan (Suar.id/Dok.Pribadi)

Jiati baru saja memperpanjang kontraknya selama 3 tahun. Per Oktober 2025 nanti, gajinya bertambah: dari NT$20.000 per tahun, jadi NT$24.500 per tahun. “Saya sudah nyicil sapi lagi di Malang. Semoga bisa untung,” katanya.

Bila Jiati sudah sukses di negeri orang, Juhro asal Indramayu ini, masih berjuang untuk bisa segera berangkat ke negara penempatannya. Perempuan 23 tahun ini sempat jadi buruh garmen selama setahun di Majalengka. 

Ia pun memutuskan untuk mengubah nasib dan mendaftar jadi PMI lewat di PT Sentosakarya Aditama cabang Indramayu.  Juhro diberi bekal di perusahaan itu  selama dua bulan sebelum akhirnya berangkat ke kantor pusat di Bekasi. Di kantor pusat, Juhro sudah menghabiskan waktu selama enam bulan. Baik di Indramayu dan Bekasi, sehari-hari Juhro melakukan hal yang relatif sama: belajar bahasa dan keterampilan sesuai dengan pekerjaan yang dipilih. Dia akan berangkat ke Taiwan.

Di PT Sentosakarya Aditama, kata Juhro, ada tiga pekerjaan yang dapat dipilih oleh calon pekerja migran indonesia (CPMI) seperti dirinya, yakni merawat orang tua, kerja di pabrik, dan jadi pembantu rumah tangga atau PRT. Juhro memilih yang terakhir.

Seorang Calon Pekerja Migran sedang berlatih menulis bahasa mandarin Taiwan di sebuah LPK di Bekasi (Suar.id/Harits Arrazie)

Setelah 6 bulan di kantor pusat, pada 14 Juli nanti, bersama dengan 4 orang lain asal Cilacap dan Indramayu, Juhro akan berangkat bekerja di Taiwan. “Ada yang baru sebulan sudah dapat majikan, ada yang lama. Tergantung rezeki kita,” katanya

Dengan bekerja di Taiwan, Juhro akan dapat uang yang jauh lebih banyak ketimbang bekerja di Indonesia. Sewaktu masih jadi PRT di Bekasi, gaji Juhro sebesar Rp2 juta. Di Taiwan, Juhro mendapatkan upah lima kali lebih besar. “Sekitar 10 jutaan, kontrak 3 tahun,” katanya. 

Merantau dengan Dana Talangan

Selama di Indramayu dan Bekasi, Juhro mengatakan tidak mengeluarkan biaya, meskipun sebenarnya tetap ada biaya yang nantinya akan dia bayar. “Nanti pakai dana talangan,” katanya. Terkait sistem penggantian biaya, Juhro mengaku belum mengetahui mekanismenya secara detail. Hal itu akan dijelaskan menjelang keberangkatannya.

Skema dana talangan semacam ini dimungkinkan oleh regulasi. Dalam keputusan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI Nomor 214 Tahun 2021 dijelaskan biaya penempatan dapat terlebih dahulu ditanggung oleh perusahaan penempatan atau mitra di negara tujuan. 

Aturan terbaru, Keputusan Kepala  BP2MI Nomor 50 Tahun 2023 menetapkan biaya penempatan ke Taiwan dengan batas maksimal Rp9,62 juta untuk komponen biaya di dalam negeri, dan dan NT$20.000 sebagai biaya jasa yang dibayarkan kepada pihak mitra di luar negeri.

Febri Eko, Direktur Operasional PT Sentosakarya Aditama mengatakan, seluruh biaya persiapan CPMI memang ditalangi oleh perusahaannya. Koperasi, salah satu unit usaha dari PT Sentosakarya Aditama, mempunyai tugas mengurus hal-hal terkait pembiayaan ini. CPMI akan mengganti uang perusahaan pemberangkatan setelah mereka mulai bekerja dan mendapatkan gaji. “Nanti mereka bayarnya cicil per bulan,” kata Eko.

Seluruh biaya persiapan CPMI ditalangi oleh perusahaan melalui koperasi, yang memang mempunyai tugas mengurus hal-hal terkait pembiayaan ini. CPMI akan mengganti uang perusahaan pemberangkatan setelah mereka mulai bekerja dan mendapatkan gaji.

Perusahaan tetap memberikan pelatihan kepada seluruh CPMI yang mendaftar. Eko mengatakan bahwa meskipun ada yang merupakan alumni lembaga pelatihan kerja (LPK), mereka tetap dibekali kembali hingga waktu keberangkatan. Selain memberikan pelajaran bahasa dan keterampilan teknis, Eko juga menekankan pentingnya materi terkait adat-istiadat sesuai dengan negara penempatan. “Agar majikan di sana senang dengan PMI,” katanya.

Selain menalangi seluruh biaya persiapan dan tetap memberikan pelatihan, perusahaan juga berperan mencari pekerjaan bagi CPMI di negara penempatan. Hal ini dilakukan dengan, menjalin kerja sama dengan berbagai agensi di negara penempatan. Agensi akan bertugas mencarikan calon tempat kerja atau majikan bagi CPMI. “Tahun lalu kita paling banyak kirim PMI ke Taiwan, sekitar 300-an. Selebihnya di Hongkong, Malaysia, dan Singapura,” ucap Eko.

Mengurangi Pengangguran Sembari Tambah Devisa

Jiati dan Juhro adalah cerita kecil dari bagian besar ikhtiar ribuan pekerja migran Indonesia yang mencoba memperbaiki nasibnya, karena kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Setiap tahun, para Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini menyumbangkan devisa ke negara, atau remitansi hingga milyaran rupiah. 

Pada tahun 2024, remitansi PMI mencapai Rp253,3 triliun. Sedangkan tahun ini, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menargetkan sumbangan devisa dari PMI sebesar Rp436 triliun.

Saat ini, Indonesia mengerahkan 200.000-300.000 PMI setiap tahunnya, namun angka ini sekitar 30% lebih rendah dari angka tahun 2014-2015. Penempatan Pekerja migran ini kembali menanjak lebih dari 176% pada tahun 2022 dan bertambah 37% pada tahun 2023.

Potensi besar menempatkan pekerja Indonesia di luar negeri mulai dilirik pemerintah karena adanya devisa serta kesejahteraan yang bisa didapat para pekerja itu sendiri. Menteri Pelindungan Pekerja Migran/Kepala BP2MI Abdul Kadir Karding juga mendorong lebih banyak warga Indonesia bekerja di luar negeri, karena akan  menjadi solusi bagi penurunan tingkat pengangguran di Indonesia. 

Namun Karding  menegaskan, saran itu bukan berarti ia ingin warga Indonesia malah terlantar di luar negeri, hanya karena pemerintah ingin menurunkan jumlah pengangguran. “Saya ini bertugas melindungi pekerja migran dan menempatkan mereka. Jadi konteksnya jelas, bukan berarti di dalam negeri tidak ada pekerjaan, melainkan memberi peluang tambahan di luar negeri yang aman dan legal,” ujarnya.

Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding (tengah) berswafoto dengan calon pekerja migran Indonesia (PMI) saat acara pelepasan PMI di Depok, Jawa Barat, Selasa (17/6/2025). (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Menteri Karding juga mengingatkan pentingnya edukasi dan sosialisasi yang masif agar masyarakat lebih memahami proses, peluang, serta perlindungan yang diberikan pemerintah terhadap calon pekerja migran. Ia berharap masyarakat memahami bahwa program penempatan pekerja migran adalah peluang, bukan paksaan, serta dilakukan dengan prinsip perlindungan dan peningkatan kesejahteraan. 

Niatan pemerintah untuk menguatkan sektor ketenagakerjaan berorientasi ke luar negeri mulai dirintis sejak ada perubahan Undang-undang nomor 39 tahun 2004, mengenai Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang disempurnakan melalui Undang-undang 18 tahun 2017 mengenai Pelindungan Pekerja Migran.

Perubahan berlanjut lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 90 Tahun 2019 yang mengubah Badan Nasional Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)  menjadi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden dan bertugas menjalankan kebijakan teknis perlindungan dan pemberdayaan PMI. 

Terbaru, berdasarkan Perpres Nomor 165 dan 166 Tahun 2024, BP2MI menjadi bagian dari Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI), kementerian baru yang dibentuk untuk menangani isu pekerja migran secara lebih terpusat dan strategis.

Judha Nugraha, Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri menyebut, adanya beberapa undang-undang baru itu menandai perubahan fundamental terkait pengelolaan tenaga kerja migran oleh Pemerintah Indonesia. 

“Hal yang mendasar, yang berubah dari undang-undang tersebut adalah kita dulunya memisahkan antara proses penempatan dengan proses pelindungan. Di undang-undang yang baru proses penempatan itu merupakan bagian integral dari perlindungan. Judulnya sudah tidak lagi penempatan dan perlindungan, tapi langsung perlindungan pekerja migran Indonesia,’ jelas Judha.

Judha Nugraha, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri (Suar.id/Tria Dianti)

Selain itu, jika dulu negara memobilisasi, saat ini negara memfasilitasi. Sehingga pilihan melakukan migrasi itu ada pada masing-masing individu warga negara. Di sisi lain, dengan adanya aturan baru itu, perlindungan yang diberikan negara, bukan hanya ketika ada kasus. Namun, perlindungan itu harus sudah dimulai sejak dari sebelum calon pekerja migran mereka berangkat. “Ini yang kemudian kita ingatkan bahwa perlindungan harus dimulai dari hulu,” kaya Judha. 

Beberapa undang-undang baru itu menandai perubahan fundamental terkait pengelolaan tenaga kerja migran oleh Pemerintah Indonesia. 

Bila melihat dari data yang ada, memang persoalan pelanggaran aturan menjadi hal utama yang sering dialami PMI. Pada tahun 2024, total ada 67 ribu lebih kasus warga negara Indonesia yang ditangani oleh Kementerian Luar Negeri dan perwakilannya. Dari 67 ribu kasus itu, 10% diantaranya adalah kasus pelanggaran izin tinggal, juga pelanggaran visa kerja. Kemudian yang kedua adalah kasus ketenagakerjaan. 

Ini menunjukkan pekerja migran Indonesia berangkat ke luar negeri masih menggunakan cara yang tidak aman dan non-prosedural. “Nah ini tantangan terbesar kita. Bahwa lebih banyak yang bekerja secara non-prosedural ketimbang yang prosedural,” tambah Judha. 

Terkait wacana peningkatan penempatan tenaga kerja migran yang kompeten atau memiliki keterampilan khusus, menurut Judha, dampaknya memang akan positif bagi usaha perlindungan PMI sendiri. Karena dari pengalaman yang ada, selama ini pekerja terampil yang penempatannya melalui prosedur yang sesuai aturan, akan memiliki proteksi lebih baik dari pada yang tidak punya keterampilan. Sementara pekerja domestik, atau yang bekerja di lingkup rumah tangga, pengawasannya lebih sulit dibanding yang bekerja di sektor formal. 

Selain perlindungan, tugas utama negara dalam hal ini adalah melakukan pengembangan sumber daya manusia. Seorang PMI yang sudah mengakhiri masa kontraknya, sebagai profesional yang pengalaman, dia bisa menularkan ilmunya pada saat dia kembali ke Indonesia. “Jadi sangat luas konsep migrasi itu jangan hanya dinilai dari sisi remitansi,” katanya. 

Solusi Pengangguran dan Menggenjot Devisa

Penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, khususnya yang memiliki kompetensi, atau punya keterampilan, secara data memang bisa jadi solusi mengurai masalah pengangguran saat ini. Diperkirakan Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa 7,47 juta pengangguran dan 11,56 juta orang setengah menganggur.

Sebuah studi yang dilakukan Indonesia Business Council (IBC) menyebut, pengangguran bisa dikurangi signifikan di masa depan, salah satunya dengan pengelolaan pengiriman tenaga kerja yang baik sejak sekarang. Khususnya bagi pekerja migran yang memiliki keterampilan atau kompetensi. Diperkirakan saat ini, pekerja migran yang tidak memiliki keterampilan khusus jumlahnya hingga 67% dari pekerja migran yang memiliki kompetensi khusus. 

Simulasi yang dilakukan IBC, dengan menggunakan data dari tahun 2015 hingga 2023, memperkirakan, tingkat pengangguran dari tahun 2025 hingga 2029 bila tidak ada percepatan penempatan, maka akan terjadi penurunan persentase pengangguran hingga 0,21 poin prosentase, setara dengan 324.600 orang lebih sedikit yang menganggur setiap tahun (2025-2029). 

Namun jika ada penambahan 30% dalam penempatan PMI di berbagai negara di dunia, akan mengurangi tingkat pengangguran sebesar 0,28 poin persentase antara tahun 2025 dan 2029, yang setara dengan 422.000 orang. Ini adalah angka yang signifikan, mengingat Indonesia berhasil mengurangi tingkat penganggurannya hanya sebesar 0,7 poin persentase antara tahun 2016 dan 2024 (dari 5,61% menjadi 4,91%).

Selain meningkatkan penempatan, meningkatkan porsi PMI yang bekerja di pekerjaan dengan keterampilan rendah dan menengah dari pekerjaan tidak terampil yang saat ini dominan, dapat meningkatkan kontribusi ekonomi PMI. 

Meskipun dampak peningkatan penempatan PMI mungkin terbatas dalam jangka pendek, meningkatkan penempatan saat ini sebesar 30% yang ditujukan pada tingkat pekerjaan dengan keterampilan rendah dan menengah dapat meningkatkan remitansi Indonesia dari sekitar $14,9 miliar pada tahun 2024 menjadi $27,6 miliar pada tahun 2029. Hal ini akan secara signifikan meningkatkan pendapatan rumah tangga dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi regional.

Penyempurnaan Proses Penempatan

Direktur Jenderal Promosi dan Pemanfaatan Peluang Kerja Luar Negeri KemenP2MI, Dwi Susanto, mengaku saat ini pihaknya sedang memetakan negara penempatan yang potensial beserta kuantiti peluang pekerjaannya. Kementerian bakal mensupervisi kerja sama pengiriman PMI yang sifatnya private to private (P2P), selain meneruskan relasi bilateral atau government to government (G2G) yang selama ini terjalin dengan Jerman, Jepang dan Korea Selatan.

Kepada SUAR, Dwi Setiawan menjelaskan, setidaknya skema P2P sudah menjaring 100 negara penempatan, yang mengerucut pada ratusan jabatan kerja. Mulai dari sektor keperawatan sampai industri.  Persoalan yang perlu dilakukan adalah menyiapkan CPMI yang memiliki daya saing berkelas internasional, baik secara kemampuan teknis, bahasa, budaya dan mental diri. “Nah ini harus disiapkan dalam suatu proses yang saat ini kita kembangkan sebagai Migrant Center,” ungkapnya. 

Secara konsep, Migrant Center disebut Dwi berperan sebagai pusat layanan terpadu yang terintegrasi dalam sistem vokasi nasional. Migran Center bakal menjadi pelayanan terintegrasi yang menggabungkan informasi, pelatihan, sertifikasi, dan penempatan kerja luar negeri. Pada pertengahan 2025, Migrant Center baru dibentuk di Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Padang. 

Institusi pendidikan tinggi dipilih sebagai pusat awal Migrant Care demi memantik minat dan bakat jebolan kampus berkarier di luar negeri. Selain itu, infrastruktur dan fokus pendidikan di kampus dinilai dapat menyasar pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, yang semestinya berketerampilan menengah dan tinggi. 

Hanya saja, perlu ada pendalaman bahasa yang disiapkan sejak awal semester sehingga CPMI dari alumni kampus sudah siap kerja. “Dengan adanya Migrant Center ini, kami bisa match-kan dengan standar kompetensi di negara tujuan karena akan dibuat kelas yang memang untuk ke luar negeri,” ujar Dwi. 

Penertiban dan Penguatan Lembaga Pelatihan

Peranan perguruan tinggi sebagai Migrant Center juga bisa mensupervisi pelatihan yang berlangsung di LPK. Dwi meyakini banyak LPK yang tidak tersertifikasi secara institusi maupun pengajarnya. Selain itu, ada pula LPK yang tidak memetakan kebutuhan tenaga kerja khusus migran, lantaran LPK juga melayani kebutuhan pelatihan untuk keperluan kerja dalam negeri. Bahkan, pada kasus tertentu, LPK juga melanggar aturan dengan merangkap sebagai perusahaan penyalur. Imbasnya, pelatihan CPMI tak berjalan efektif. 

Dwi menekankan LPK semestinya hanya berfokus pada keterampilan pekerja migran. Jika negara tujuan adalah Jepang, maka dirancang pelatihan bahasa dan kemampuan teknis sesuai sektor pekerjaannya. “Kurikulumnya akan dibuat spesifik. Nanti juga fasilitatornya kami bisa hadirkan dari Jepangnya langsung,” tuturnya. 

Ke depan, kata Dwi, KemenP2MI bakal mengevaluasi kerja-kerja LPK. Bakal ada surat penetapan soal LPK terkait layak atau tidak melatih pekerja migran. Artinya, legitimasi LPK layak bukan cuma dari Kementerian Ketenagakerjaan. Untuk menggenjot kualitas pelatihan, LPK pun bakal mendapat bantuan dari pemerintah. Semisal LPK yang mengajarkan bahasa Jerman, pemerintah berperan menjembatani dengan lembaga Goethe. 

Sehingga, LPK yang sudah ditangani KP2MI bisa dicap sebagai Migrant Center pula. “Semacam penetapan, bisa surat keputusan (yang) menyatakan (LPK) itu memang layak sebagai kelas migran,” katanya. 

LPK bidang teknis, pun bakal disoroti. Dwi mewanti-wanti jumlah CPMI mesti diperbanyak di sektor pekerjaan berketerampilan rendah dan menengah. KP2MI menyasar pengoptimalan tenaga kerja keperawatan ke negara yang memiliki proyeksi besar populasi lansia. Atau sektor-sektor pekerjaan lain yang memiliki cukup daya tawar. Sehingga, bisa mengikis dominasi pekerjaan domestik. 

“PMI tidak dikenal sebagai ART lagi, tapi caregiver. PMI juga bisa ahli di bidang elektrikal. Bahkan kalau dia sopir di rumah tangga, nanti kan bisa bekerja di perusahaan. Bisa naik kelas,” ucapnya. 

Legitimasi Migrant Center

Bukan cuma di perguruan tinggi dan LPK yang diakselerasi KemenP2MI. Legitimasi Migrant Center bakal juga menyasar institusi pendidikan vokasi seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Urgensinya demi mereduksi jumlah pengangguran di jenjang pendidikan ini. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka paling banyak dari lulusan SMK, senilai 9,01 persen per Februari 2025. 

Saat ini KP2MI tengah mengincar beberapa SMK di Provinsi Lampung untuk dilabeli Migrant Center. Pemerintah setempat didorong untuk membuat kurikulum dan kelas khusus calon pekerja migran bagi pelajar SMK. Apa yang dilatih kepada siswa bakal mengikuti kebutuhan pasar tenaga kerja negara tujuan. Bahan ajar juga disesuaikan dengan standar negara sasaran. 

“Nanti dibuat piloting-nya 6 sekolah. Nah 6 sekolah ini arahnya ke up-skilling ya. Pelajar SMK sudah punya skill teknis dan tinggal diperkuat skill bahasanya. Nanti teknisnya apakah berkolaborasi dengan LPK, atau gurunya yang di-up-skilling,” kata Dwi. 

Selain institusi pendidikan, level kementerian yang memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) dan pemerintah daerah juga tak luput bakal dicap Migrant Center. Sebab, dua institusi ini belum terfokus sepenuhnya membuka kelas persiapan pekerja migran. Pun, soal standarisasi pelatihan, Dwi bilang akan ada penyesuaian bahan ajar dan peningkatan kemampuan instruktur.

Masuknya institusi pemerintahan di level nasional dan daerah dalam penguatan keterampilan CPMI bakal memantik alokasi anggaran, yang datangnya dari APBN atau APBD. Dengan kata lain, berdirinya Migrant Center di masing-masing institusi tidak menggunakan anggaran satu pihak saja.

Di saat sama, masing-masing institusi pemerintahan yang membawahi institusi pendidikan bisa berkolaborasi untuk saling menambal celah-celah pelatihan yang tidak bisa dilakukan. “Jadi jangan berpikir migrant center hanya pelatihan. Migrant center ini merupakan ekosistem,” ucapnya. 

Kebutuhan PMI Cenderung Bertambah

Usaha untuk mendongkrak jumlah PMI berkompeten di luar negeri juga seiring dengan tingginya kebutuhan pekerja kompeten di berbagai negara tujuan penempatan. Di beberapa negara dengan jumlah penduduk lanjut usia yang tinggi, misalnya Jepang, Jerman, Australia, Inggris juga Kanada, memiliki permintaan tinggi atas pekerja bidang pengasuhan orang tua. 

Seperti di Jepang, tenaga perawat orang tua memang salah satu yang tinggi permintaannya, namun ada sektor lain yang sebenarnya bisa dimasuki PMI dan permintaannya juga besar. Menurut Gina Aghnia Virginianty, Sekretaris Kedua Ekonomi, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo; ada beberapa sektor pekerjaan lain yang paling banyak diisi orang Indonesia saat ini di Jepang. Yaitu sektor pertanian, manufaktur, hingga bidang  produksi makanan minuman. “Ada juga sektor produksi produk industri seperti mesin-mesin juga sektor aquaculture hingga konstruksi,” jelasnya. 

Dialog Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo Jepang bersama para Pekerja Migran Indonesia (Suar/Dok. KBRI Tokyo)

Namun pihak Kedutaan juga mulai mengusahakan untuk membuka sektor baru yang bisa diisi tenaga kerja dari Indonesia. “Cuma memang prosesnya itu kan juga membutuhkan waktu, khususnya dari persiapan SDM-nya,” katanya. 

Beberapa bidang baru yang dibuka, ada sektor industri angkutan mobil, atau semacam driver angkutan logistik. Ada juga di sektor kereta api, lalu sektor industri kehutanan yang penempatannya akan benar-benar bekerja di hutan, hingga sektor industri kayu yang biasa bikin mebel. “Nah ini 4 bidang baru saat ini masih dalam proses penyesuaian. Karena kita juga punya potensi di bidang ini,” tangah Gina. 

Kedutaan Indonesia di Jepang mulai mengusahakan untuk membuka sektor baru. Seperti sektor industri angkutan mobil, sektor kereta api, sektor industri kehutanan hingga sektor industri kayu.

Gina menyarankan jika ingin bekerja di luar negeri seperti di Jepang, perlu kesesuaian antara skill dan tempat tujuan bekerja dengan ketertarikan profesi pribadi PMI. Sehingga bisa bekerja dengan sepenuh hati. “Jangan sampai di tengah jalan ingin ganti pekerjaan,” kata Gina. 

Penempatan tenaga kerja migran ke negeri matahari terbit ini sebenarnya sudah sudah sejak lama dilakukan. Awalnya pada tahun 1993 program ini dimulai dengan program magang bagi para pelajar Indonesia. Ada juga program penempatan kerja yang merupakan bagian dari kerjasama bilateral pemerintah Indonesia dengan Jepang yang disebut Economic Partnership Agreement (EPA). Salah satunya adalah penempatan penempatan pekerja migran di bidang keperawatan dan perawat orang tua atau disebut kaigo dalam bahasa Jepang. 

Baru pada tahun 2019, pemerintah Jepang mulai membuat program baru yang ditawarkan kepada negara-negara yang melakukan kerjasama melalui program Specified Skilled Workers (SSW). “Jadi ini penempatan pekerja migran semi-skilled yang bisa tinggal lama di Jepang, berbeda dengan magang yang jangka waktunya singkat,” kata Gina.

Untuk program ini, tenaga kerja migran yang ingin mengikuti, sudah disyaratkan untuk memiliki kemampuan terlebih dahulu sesuai lowongan pekerjaannya, termasuk bahasa Jepang. Ada 16 bidang pekerjaan yang jadi target pemenuhan pekerja migran ini. Seperti pertanian, konstruksi, dan perawatan lansia. 

Selama 3 tahun pertama pengiriman lewat program SSW ini, Indonesia memang belum optimal mengirimkan PMI dengan keterampilan seperti yang dipersyaratkan. Yaitu baru sekitar 10 ribu PMI yang ditempatkan. “Angka 10 ribu itu masih kecil ya kalau dibandingkan negara lain,” kata Gina. 

Baru tahun 2022 ada peningkatan signifikan dari jumlah PMI yang ditempatkan di Jepang. Hingga Oktober tahun 2024 itu PMI SSW Indonesia berjumlah sekitar 43.723 orang. Sementara program SSW ini, Jepang butuh sekitar 820.000 tenaga kerja asing hingga Maret 2029. Dan itu ditawarkan kepada sekitar 18 negara yang bekerjasama dalam program ini. Setiap negara bisa menempatkan berapapun yang bisa, hingga kuota total secara nasional terpenuhi. 

Kebutuhan pekerja asing di Jepang memang sangat besar. Untuk sektor keperawatan saja, Jepang butuh sampai Maret 2029, sekitar 135.000 tenaga asing. Yang baru terisi diperkirakan baru sekitar 30.000. “Jadi memang kebutuhannya sangat tinggi. Bisa jadi mereka akan tetap membuka kesempatan lapangan pekerjaan tersebut sampai 135.000 tercapai untuk perawat ini,” kata Gina.  

Muhammad Hanri, Head of Social Protection and Labor Research Group Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), menyarankan, sebelum pemerintah benar-benar menggenjot penempatan besar-besaran pekerja migran kompeten ke negara lain, perlu disiapkan pula market intelligence terkait kebutuhan negara tujuan penempatan.

Ini bertujuan untuk melatih calon PMI secara tepat. “Jangan sampai kita melatih pekerja migran yang skill-nya tidak dibutuhkan di negara tujuan. Mubazir uangnya,” kata Hanri. Penetapan negara tujuan dan pelatihan yang tepat, lanjutnya, juga mencegah pekerja migran terlatih tidak terserap pasar kerja.

Lebih lanjut, Hanri mengingatkan pentingnya memperhatikan aspek sosial keluarga yang ditinggalkan. Hanri menuturkan pentingnya melihat kondisi keluarga pekerja migran. “Misalnya yang berangkat seorang perempuan yang sudah punya anak. Nah anaknya itu harus dipastikan edukasi dan tumbuh-kembangnya. Jangan sampai itu malah jadi masalah baru,” kata Hanri.

Hanri memandang perubahan regulasi ini sebagai sinyal positif dari pemerintah. Kenaikan status BP2MI jadi kementerian dianggap sebagai bentuk perhatian yang lebih serius terhadap isu pekerja migran. Meskipun penambahan kementerian menimbulkan perdebatan dari sisi anggaran, Hanri melihat langkah ini sebagai itikad baik pemerintah dalam memperkuat perlindungan dan pengakuan terhadap peran pekerja migran.

Mukhlison, Harits Arrazie, Rohman Wibowo dan Tria Dianti