Rojali Rohana Bukan Sekadar Daya Beli Lesu, tapi Perbaruan Strategi

Merosotnya jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat membuat pusat perbelanjaan pun turun omzetnya. Ini memunculkan fenomena Rojali (Rombangan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya)

Rojali Rohana Bukan Sekadar Daya Beli Lesu, tapi Perbaruan Strategi
Ilustrasi warga tengah berbelanja di Pasar Baru, Jakarta, Kamis (31/7/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/sgd

Ia tak selalu berniat membeli. Tapi saat ke mal, langkah Kustina Rani, 24 tahun, nyaris selalu berakhir di lorong-lorong toko buku, deretan rak pakaian, atau etalase gerai kopi yang memajang barang-barang lucu berlogo BTS alias Bangtan Sonyeondan (방탄소년단), boyband asal Korea yang sejak lama menjadi kesukaannya.

“Menyenangkan lihat-lihat tren terbaru, barang apa saja yang lagi ada di pasaran. Cuci mata aja, kan kita enggak selalu punya uang,” kata Kustina pada SUAR (31/7/2025).

Bagi Gen Z kelas menengah, yang lahir dan tumbuh bersama gempuran diskon daring dan kilau pusat perbelanjaan, belanja bukan sekadar soal membawa pulang barang. Ia juga soal membandingkan harga asli dengan yang terpampang di layar ponsel, atau sekadar merasakan tekstur kain dan aroma kertas buku baru.

“Kadang pernah lihat barang cakep, akhirnya beli di online store karena lebih murah,” ujarnya. “Tapi kalau butuh cepat, ya tetap beli di offline.”

Ada pula yang tetap ia relakan lebih mahal. Buku di Gramedia, misalnya, meski bisa diperoleh lebih murah secara daring, “kalau bukunya valuable, aku beli di Gramedia juga,” kata Kustina.

Begitu juga ketika matanya tertumbuk pada tumbler edisi terbatas bergambar BTS di gerai kopi, ia merogoh kocek lebih dalam, bukan demi sekadar fungsi, tapi karena nilai emosional yang dikandungnya.

Fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) yang kian sering muncul di pusat perbelanjaan belakangan ini, bukan semata tentang kantong tipis.

Cerita Kustina hanyalah satu potongan dari lanskap lebih luas: kisah generasi yang menjadikan belanja sebagai pengalaman, bukan hanya transaksi. Di balik etalase yang penuh pengunjung, para pedagang dan pengelola retail berupaya membaca ulang keinginan konsumen, mencari celah antara hiburan, nilai, harga, dan loyalitas yang kian cair.

Lebih dari sekadar promo

“Dulu konsumen brand-oriented, sekarang lebih realistis,” kata Solihin, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), asosiasi yang menaungi pelaku ritel di Indonesia.

Ia menjelaskan bagaimana masa “festive” seperti Lebaran dan Natal, yang biasanya jadi andalan penjualan, sekarang durasinya makin pendek. Sementara jarak antar-festive justru panjang. Dari Mei hingga Oktober, misalnya, praktis tanpa momen belanja nasional besar.

Menjawab itu, peritel mencoba berbagai program: holiday sale, festival belanja, hingga event hiburan. Tapi sekadar diskon tak cukup. Ada tren “shifting”: konsumen lebih memilih barang low-price, atau datang ke toko hanya untuk melihat lalu membeli di e-commerce yang menawarkan promo tambahan.

“Yang menang ke depan adalah yang bisa melayani lebih baik dengan biaya lebih efisien,” jelas Solihin kepada SUAR (31/7/2025).

Solihin menceritakan tak sedikit ritel besar mengecilkan ukuran toko fisik untuk menekan biaya sewa, sambil memperkuat kanal daring. Gerai yang dulu menempati satu lantai, kini hanya seperempatnya. Namun, mereka tetap menjaga kehadirannya secara luring, demi menjaga kedekatan dan membangun pengalaman langsung bagi konsumen.

Mindful buying

Tak hanya di kalangan Gen Z seperti Kustina, perubahan pola belanja juga terbaca di data dan pengamatan pelaku usaha. Alphonzus Widjaja, Ketua Umum Perhimpunan Pusat Belanja Indonesia (PPBI), melihat bagaimana konsumen kini makin selektif dalam membelanjakan uangnya. 

“Kalau enggak perlu, ya, enggak dibeli, atau beli barang yang harga satuannya murah,” ujarnya usai menghadiri acara kick-off 100 lisensi merek dan produk UMKM lokal di Pusat Grosir Cililitan (23/07).

Kondisi ini, kata Alphonzus, tak sepenuhnya soal keengganan, melainkan cerminan daya beli masyarakat yang memang belum sepenuhnya pulih, khususnya di kelas menengah bawah. Mereka menahan diri, bahkan saat sedang berada di pusat perbelanjaan, demi menjaga kestabilan keuangan rumah tangga di tengah ketidakpastian ekonomi global, fluktuasi nilai tukar, hingga harga emas.

Sementara untuk kalangan menengah atas, kehati-hatian justru lahir dari faktor yang berbeda: mereka punya daya beli, namun kini lebih bijak mengatur prioritas, antara belanja, menabung, atau investasi.

“Dibanding tahun lalu, pertumbuhan kunjungan ke pusat belanja kurang dari 10%,” tutur Alphonzus. “Padahal target kita bisa naik 20%–30%.”

person leaning on wall while holding gray hat
Foto: Clark Street Mercantile / Unsplash

Hal senada juga disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi persnya mengenai kemiskinan pada pekan lalu (25/07). Ateng Hartono, Deputi Statistik Sosial BPS RI, berkomentar bahwa fenomena Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan, karena banyak yang terjadi di kelas menengah atau atas.

“Tapi ini sinyal penting. Kebijakan jangan hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tapi juga menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga kelas menengah bawah,” kata Ateng. 

Barangnya kurang lengkap

Tapi soal harga dan promo bukan satu-satunya persoalan. “Bukan cuma daya beli turun, tapi juga barangnya nggak lengkap, ukuran nggak ada, atau telat masuk ke Indonesia,” jelas Budihardjo Iduansjah dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan di Indonesia (Hippindo) kepada Suar (31/07).

Akibatnya, meski pengunjung datang ke mal, mereka pulang tanpa belanja. Mereka akhirnya beli di online, atau bahkan belanja di luar negeri saat liburan.

Menurut Budihardjo, retail resmi di Indonesia terbebani banyak regulasi: impor resmi bayar pajak, standar SNI, BPOM, halal. Sementara toko daring kadang menjual barang impor tidak resmi, tanpa pajak, dengan harga lebih murah. “Kami mau barang murah, tapi proses impor rumit, biayanya tinggi,” katanya. Padahal, 52% perputaran uang di ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi.

Hippindo mendorong gerakan Belanja di Indonesia Aja (BINA) untuk menahan belanja domestik, sekaligus meminta pemerintah mempermudah perizinan dan membuka akses impor resmi. Ini bukan soal menutup pasar, tapi soal memastikan konsumen bisa menemukan barang yang lengkap dan harga yang kompetitif di dalam negeri.

“Jangan sampai uang rakyat malah belanja di Malaysia, Singapura, atau Thailand,” kata Budiharjo.

Dari sustain hingga experience

Fenomena Rojali juga menantang ritel untuk tak hanya menjual barang, tapi juga cerita. “Konsumen sekarang beli bukan cuma barang, tapi cerita di baliknya,” kata Solihin.

Inilah kenapa muncul tren produk berkelanjutan atau berkonsep ramah lingkungan meski lebih mahal. Bagi sebagian konsumen, harga lebih tinggi tak masalah, asalkan ada nilai lebih: mendukung petani lokal, mengurangi plastik, atau program sosial.

Pengalaman belanja juga berubah jadi pengalaman sosial. Launching produk baru kini selalu diwarnai antrean, unggahan media sosial, dan rasa eksklusivitas. Mall berubah fungsi: bukan hanya tempat belanja, tetapi juga arena rekreasi keluarga, tempat selfie, dan ruang untuk merasa “update”.

Begitu pula hasil pengamatan Alphonzus. Fenomena Rojali bukan barang baru. Sejak dulu, kata Alphonzus, pusat belanja memang tidak hanya berfungsi sebagai tempat transaksi, tetapi juga ruang interaksi sosial, hiburan, hingga edukasi. Orang datang, melihat, menimbang, bertanya harga, kadang membeli, kadang tidak.

Inilah mengapa meski jumlah “rombongan yang cuma nanya” meningkat, bagi pelaku pusat belanja hal itu bukan selalu pertanda buruk. Malah, ia mencerminkan fungsi pusat belanja sebagai ruang publik yang hidup, bukan sekadar deretan toko.

“Hal seperti tanya-tanya harga, banding-bandingin, itu wajar. Justru kalau tempat belanja sepi, itu yang bahaya.” kata Alphonzus.

Budiharjo menambahkan, mal dan tenant juga sudah menerapkan program hijau: kantong plastik berbayar, tukar sampah elektronik dengan voucher, hingga distribusi makanan sisa. “Pasarnya masih kecil, tapi penting,” katanya. Retail juga ikut tren experience: festival bakmi, festival pempek, musik live di atrium mal, hingga kolaborasi budaya untuk menarik turis.

Tujuannya: belanja tak sekadar transaksi, tapi rekreasi, hiburan, bahkan bentuk identitas. Loyalitas konsumen tak lagi soal harga saja, tapi juga soal nilai dan pengalaman.

Meski begitu, shifting perilaku tetap terjadi. Barang-barang primer seperti sampo atau kebutuhan rumah tangga, konsumen semakin tak fanatik merek. “Yang penting bersih, ada busa, merek belakangan,” tambah Solihin. Artinya, loyalitas lama terkikis, dan ritel harus lebih adaptif membaca tren.

Digital tak lagi lawan

Pergeseran besar lain adalah digitalisasi. Dulu banyak yang ragu belanja online, takut barang tak sesuai foto, atau khawatir penipuan. Kini, kepercayaan itu tumbuh. Sektor fesyen dan elektronik bahkan mulai seimbang antara penjualan daring dan luring, sementara kebutuhan harian masih lebih dominan luring.

Solihin dari Aprindo melihat tren ini sebagai tantangan sekaligus peluang. Mau tak mau, penting untuk mempunyai toko daring.

pile of grocery items
Foto: Fikri Rasyid / Unsplash

“Peritel juga sudah mulai membangun kanal daring sendiri, bahkan untuk brand yang dulunya sangat konvensional,” ujar Solihin. Kolaborasi dengan platform e-commerce, kampanye digital interaktif, dan promo personalisasi jadi kunci baru menarik konsumen.

Tentu tak semua segmen merespons sama. Generasi muda lebih cepat beralih ke digital, sedangkan konsumen di luar kota besar tetap setia ke toko fisik. Karena itu, peritel memilih jalur “physidal”: menggabungkan physical dan digital, demi menjangkau lebih banyak segmen.

Bukan hanya diskon

Pemerintah sebenarnya sudah mencoba berbagai upaya: festival diskon, holiday sale, dan kampanye belanja nasional. Tapi menurut Hippindo, sektor retail masih butuh lebih. “Karyawan kami belum dapat stimulus seperti industri manufaktur,” kata Budiharjo.

Ia mengusulkan beberapa solusi konkret: misalnya keringanan pajak karyawan, atau voucher belanja langsung ke masyarakat.

Budiharjo mencontohkan Malaysia: pemerintahnya memberi voucher belanja kepada warga, agar belanja tetap hidup dan ekonomi bergerak. “Kalau dikasih uang tunai takutnya malah jadi depo judi online (judol). Tapi kalau voucher belanja kan mereka akan langsung membelanjakan,” katanya.

Uang itu tak hilang; justru masuk ke pajak PPN dan menggairahkan sektor retail.

Selain itu, kolaborasi pemerintah dan peritel juga penting: promosi wisata belanja, festival budaya yang mendatangkan turis, dan kampanye nasional untuk bangga belanja produk resmi. “Kalau barang kita lengkap dan harga bersaing, turis pun bisa belanja ke Indonesia,” kata Budiharjo.

Demikian juga yang ditekankan Alphonzus, ia optimistis fenomena Rojali tidak akan menetap selamanya jika didukung kebijakan stimulus dan langkah pemerintah menahan inflasi. Ia meyakini perilaku konsumen pun akan kembali seimbang: lebih berani belanja, bukan sekadar bertanya.

“Kalau daya belinya pulih, rojali pasti akan berkurang,” ujarnya.  “Fenomena ini hanya sementara.”

Meski demikian, ia menegaskan pentingnya upaya kolaborasi: pusat belanja perlu terus berbenah menghadirkan pengalaman baru; sementara pemerintah dapat membantu lewat insentif, promosi wisata belanja, atau stimulus langsung untuk menjaga denyut konsumsi – motor penting ekonomi Indonesia.

Baca selengkapnya