Kecenderungan membesarnya jumlah angkatan kerja Generasi Z (yang lahir antara 1997-2012) selama 5 tahun terakhir telah menciptakan dinamika akibat ketidaksiapan para pemimpin perusahaan dan karyawan senior beradaptasi dengan ritme dan budaya kerja mereka. Mengomunikasikan nilai secara sehat, membuka ruang konsultasi, dan memberikan tujuan (sense of purpose) jelas kepada pekerja Generasi Z terbukti ampuh sebagai strategi meningkatkan retensi, di samping memacu kontribusi riil pekerja muda bagi perusahaan.
Pendiri dan CEO SMITH Men Supply Muhammad Emyranza berbagi kisah memimpin perusahaan yang didominasi Gen Z dalam diskusi panel Future Dialogue 2025 yang diselenggarakan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) di Jakarta, Jumat (05/12/2025).
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang retail dengan spesialisasi produk perawatan diri pria, Emyr mengungkap bahwa 70% demografi pegawainya saat ini terkategori Gen Z. Namun, berbeda dengan pengalaman perusahaan lain yang acap menghadapi kendala dengan pekerja Gen Z, SMITH terbukti mampu berkiprah menembus pasar Singapura dan Vietnam dengan perusahaan yang didominasi karyawan Gen Z.
Kejelasan visi, menurut Emyr, adalah bagian dari keterbukaan yang sangat dikehendaki Gen Z dalam mencari tempat kerja. Berterus-terang, dia mengungkapkan bahwa belum lama ini, SMITH baru menerima karyawan Gen Z yang sangat berterus-terang dan terbuka saat mengikuti proses wawancara.
"Di saat sesi wawancara, dia cerita sudah ditolak 30 perusahaan. Lalu dia katakan, 'Kak, I'll do anything di sini. Apapun saya lakukan.' Saya kaget kenapa dia jujur seperti itu, dan ketika saya lihat pekerjaannya, dia berhasil membuktikan apa yang dia janjikan. Saya takjub melihat 1 skill yang tidak dimiliki calon lain, yaitu kejujuran yang sangat manusiawi," kisahnya.
Dalam lingkup pekerjaan, menurut Emyr, Gen Z memiliki penguasaan tools dan kecakapan mempergunakan beragam instrumen produktivitas di atas rata-rata. Namun, dia mengakui, tidak semua pekerja Gen Z bersedia memaksimalkan kecakapan itu di kantor, terutama apabila mereka menemukan ketidakcocokan nilai dan tujuan dalam pekerjaan.
"Gen Z itu mau kerja bukan cuma karena uang, tetapi karena dia tahu arahnya ke mana dan dia merasa bisa memberikan dampak di sana. Kalau dia tahu arah perusahaan secara jelas, dia pasti mau memberikan effort lebih karena punya sense of belonging dan menemukan ruang bertumbuh di sana," jelas Emyr.
Tiga karakteristik
Pengusaha muda alumnus Universitas Prasetiya Mulya itu menengarai ketidakmampuan pemimpin perusahaan mengomunikasikan nilai dan visi perusahaan secara jernih dan mudah ditangkap kepada Gen Z merupakan penyebab pertama dan terutama tingginya tingkat turnover pekerja Gen Z.
Dia pun tidak menampik bahwa perbedaan gaya kerja membuat pemimpin dari Generasi X dan Baby Boomers menganggap pekerja Gen Z lemah dan tidak malas.
"Kalau perusahaan itu tidak memberikan clear path, Gen Z akan berpikir, 'Untuk apa saya di sini?' Itu yang membuat mereka bekerja setengah hati. Padahal, dengan potensi mereka yang tech-driven, perusahaan dapat masuk dengan memberikan purpose-driven yang mendorong produktivitas Gen Z memuncak," cetus Emyr.
Merefleksikan pengalamannya merintis dan memimpin SMITH selama lebih dari satu dekade, terdapat tiga karakteristik potensial Gen Z yang menurut Emyr dapat menjadi jalan masuk perusahaan dalam menangani pekerja dari generasi yang belum genap berumur tiga dasawarsa ini.
Pertama, daya adaptasi, bukan hanya terhadap budaya kerja, melainkan juga terhadap tools yang digunakan perusahaan, termasuk instrumen berbasis artifial intelligence. Sekalipun banyak pekerja entry-level yang takut pada kemampuan agentic AI, apabila perusahaan menjadikan AI sebagai instrumen, Gen Z adalah generasi yang paling siap beradaptasi menggunakannya.
Kedua, keingintahuan yang besar, ditandai dengan pertanyaan yang sangat banyak terkait sistem, budaya kerja, dan keseimbangan pribadi-pekerjaan (work-life balance). Melalui jalur komunikasi terbuka dan iklim kantor yang dapat memberikan ruang bertumbuh, Emyr memastikan pekerja Gen Z memiliki etos kerja yang ingin mengeksplorasi lebih jika mereka memahami tujuan perusahaan secara jelas.
Ketiga, keserupaan beban finansial, khususnya bagi underpriviledged. Dengan karakteristik tanggungan keuangan yang harus membiayai orang tua dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga, pekerja Gen Z umumnya memiliki dua atau lebih pekerjaan untuk menambah sumber pendapatan, tanpa membagi kesetiaan dan loyalitas.
"Gen Z itu pada dasarnya punya pemahaman dan daya tangkap informasi yang sangat bagus. Pemikiran mereka canggih, tetapi tergantung bagaimana perusahaan bisa mendorong mereka berinovasi dan memastikan bahwa pekerjaan mereka memberikan impact lebih besar bagi orang banyak," pungkasnya.
Dorong inovasi, jaga mental
Memahami kebutuhan ruang bertumbuh yang besar bagi Gen Z dalam merintis pengalaman kerja, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka ruang seluas-luasnya untuk setiap inovasi dan kewirausahaan sosial oleh orang muda yang dapat berkontribusi bagi pembangunan kota dalam jangka menengah dan panjang.
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi DKI Jakarta Andri Yansyah menyatakan, dalam menjawab penguatan ketenagakerjaan layak dan wirausaha muda demi meningkatkan produktivitas, Pemerintah DKI Jakarta mengubah desain pelatihan ketenagakerjaan menjadi inkubator kewirausahaan baru.
"Mengapa? Karena dampaknya lebih cepat mengurangi pengangguran. Kalau diklat untuk mendapatkan pekerjaan, pengangguran kurang 1, kalau wirausaha pengangguran kurang 10, 100, bahkan 1.000. Dengan demikian, ilmu, pendidikan, dan keterampilan itu bisa langsung terjun di dunia usaha dan mendapatkan pengalaman," cetus Andri.
Meski demikian, praktisi kesehatan mental dan kreator Mental Health Doodles Irwan Tja mengingatkan, selain membuka ruang bertumbuh, perhatian terhadap pekerja Gen Z juga harus diseimbangkan dengan menyediakan saluran menjaga kesehatan mental di lingkungan kerja.
Bertolak dari pengalaman memproduksi konten tentang kesehatan mental di Instagram dan terlibat dalam advokasi pencegahan bunuh diri, Irwan menemukan keterkaitan erat performa Gen Z di lingkungan kerja dengan persoalan sistemik yang memicu masalah kesehatan mental, mulai dari ekonomi, gaya hidup, lingkungan, keluarga, hingga masa depan.
"Dari pengalaman saya berjumpa dengan orang-orang yang memiliki isu seperti self-harm dan memiliki kecenderungan suicidal, saya memahami kesehatan mental di lingkungan kerja mengakar pada hal-hal yang lebih luas. Kementerian Kesehatan sudah coba menangani ini, tetapi saya merasa masih kurang karena persoalannya sendiri benar-benar sistemik," ucap Irwan.
Baca juga:
Direktur Operasional Kimia Farma Purwanti Aminingsih mengonfirmasi pandangan tersebut. Menurutnya, kesadaran berbagai perusahaan tentang isu kesehatan mental telah mendorong diikutsertakannya pemeriksaan kesehatan mental hingga MPI Test dalam proses rekrutmen. Salah satu klien terbaru Kimia Farma adalah seleksi 3.000 karyawan PT. PLN, yang juga mengikuti jejak BUMN lain.
"Data WHO menunjukkan 1 dari 4 penduduk dunia terdampak mental health, sehingga harus hati-hati. Tingkat stress harus dicek ke dalam diri sendiri secara berkala, apa yang membuat diri tertekan. Kekuatan itu harus terjaga, terutama dari segi spiritual dan kemampuan bersosialisasi dan menemukan jati diri," tegas Purwanti.