Catatan dari Realisasi Investasi yang Tinggi

Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada triwulan III-2025, realisasi investasi mencapai Rp491,4 triliun, naik 13,9% YoY.

Catatan dari Realisasi Investasi yang Tinggi
Foto udara kendaraan melintas di dekat pembangunan akses Jalan Tol Yogyakarta-Bawen Seksi 6, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (24/9/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar/nz)

Indonesia mencatat tonggak baru dalam kinerja investasinya. Tak hanya mencatat pertumbuhan tinggi, namun kontribusi investor dalam negeri terus meningkat.

Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada triwulan III-2025, realisasi investasi mencapai Rp491,4 triliun, naik 13,9% YoY. Dari jumlah itu, 56,86% berasal dari penanaman modal dalam negeri (PMDN), cetak rekor tertinggi sejak 2007.

Untuk pertama kalinya sejak satu dekade terakhir, lebih dari separuh investasi nasional mengalir ke luar Pulau Jawa. Dari total Rp491,4 triliun, sekitar Rp256,8 triliun atau 54,09 persen direalisasikan di luar Jawa, angka tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.

Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Kalimantan Timur menjadi magnet baru berkat derasnya investasi di sektor pertambangan dan pengolahan mineral. Di Sulawesi Tengah, misalnya, proyek pengolahan nikel dan logam dasar menyumbang hampir Rp30 triliun investasi baru sepanjang kuartal ketiga tahun ini.

“Ini menunjukkan bahwa strategi hilirisasi mulai menghasilkan efek berganda bagi daerah,” ujar Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani dalam paparan Konferensi Persnya di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

“Kita tidak lagi bicara ekspor bahan mentah, tapi pembangunan ekosistem industri yang memicu pertumbuhan lokal.”

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani. (Foto: Dokumentasi BKPM)

Kebijakan hilirisasi kembali menjadi motor utama pencapaian target investasi nasional. Pada triwulan III 2025, realisasi investasi di sektor ini mencapai Rp150,6 triliun atau 30,6% dari total investasi, naik 64,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini menegaskan peran hilirisasi sebagai pilar penting dalam memperkuat nilai tambah di dalam negeri.

Rosan menyampaikan bahwa sektor mineral menjadi penyumbang terbesar penghiliran dengan total investasi Rp97,8 triliun. Dari jumlah itu, nikel mendominasi dengan Rp42 triliun, disusul tembaga Rp21,2 triliun. Ia juga menyoroti kontribusi sektor perkebunan dan kehutanan, seperti kelapa sawit senilai Rp21 triliun, kayu log Rp11,7 triliun, dan karet Rp1,6 triliun

Pemerataan investasi juga semakin terlihat. Nilai investasi di luar Jawa mencapai Rp265,8 triliun (54,1%), melampaui Jawa yang mencatat Rp225,6 triliun (45,9%). Lima provinsi dengan realisasi tertinggi yaitu Jawa Barat (Rp77,1 triliun), DKI Jakarta (Rp63,3 triliun), Sulawesi Tengah (Rp33,4 triliun), Banten (Rp30,8 triliun), dan Jawa Timur (Rp30,4 triliun).

“Yang terpenting, investasi yang masuk harus berkelanjutan agar memberi dampak nyata,” ujarnya.

Meski begitu, belum semua daerah merasakan dampak yang sama. Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten masih menempati tiga besar penerima investasi tertinggi. Infrastruktur dasar yang belum merata, keterbatasan energi, dan ketersediaan SDM terampil masih menjadi penghambat utama bagi pemerataan investasi.

Bagi Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, capaian ini bukan sekadar angka. Ia menandai perubahan arah ekonomi Indonesia, dari yang selama ini didominasi modal asing, kini lebih bertumpu pada kekuatan domestik.

“Peran investor dalam negeri ini adalah pencapaian tertinggi dalam 18 tahun terakhir,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (18/10). “Modalnya ditanam di sini, dan belanjanya pun cenderung dilakukan di dalam negeri. Artinya, perputaran uangnya tetap di Indonesia.”

Menurutnya, kenaikan PMDN ini menunjukkan tumbuhnya kepercayaan pelaku usaha lokal terhadap stabilitas ekonomi nasional. Program hilirisasi industri, penyederhanaan perizinan, dan insentif fiskal dinilai menjadi kombinasi yang membuat investor domestik lebih berani menanamkan modal.

Bagi pelaku usaha, ketimpangan ini justru membuka peluang. Daerah-daerah di luar Jawa yang sedang tumbuh menjadi lahan baru bagi ekspansi sektor logistik, energi bersih, dan manufaktur ringan. “Pemerataan investasi bukan sekadar tanggung jawab pemerintah,” kata Christiantoko. “Pelaku usaha juga perlu melihat potensi di luar pasar yang selama ini dianggap mapan.”

Momentum Pemerataan dan Ekonomi Hijau

Kementerian Investasi mencatat, sepanjang 2025, investasi telah menyerap hampir 1,95 juta tenaga kerja baru, dengan 696 ribu di antaranya tercipta hanya dari proyek-proyek kuartal ketiga. Angka itu menunjukkan peran investasi sebagai salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, setelah konsumsi rumah tangga.

Namun, di tengah perlombaan mengejar angka, pemerintah menekankan pentingnya investasi berkualitas, yang tidak hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga berdampak sosial dan lingkungan. “Investasi yang baik bukan hanya yang besar, tapi yang memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat,” ujar Rosan.

Langkah ke arah itu mulai terlihat. Sejumlah proyek di sektor energi terbarukan dan pengolahan limbah mulai tumbuh di luar Jawa, seperti investasi pembangkit listrik tenaga surya di Nusa Tenggara Timur dan proyek bioenergi di Kalimantan Barat. Pemerintah juga tengah menyiapkan insentif pajak hijau untuk mendorong lebih banyak investor masuk ke sektor energi bersih.

Kebijakan ini sejalan dengan tren global. Dunia usaha kini tak hanya dituntut menciptakan keuntungan, tapi juga menjalankan prinsip ESG (environmental, social, governance). Dengan kontribusi investasi terhadap PDB yang kini mencapai 29 persen, penguatan investasi hijau bisa menjadi salah satu cara paling efektif untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Menjaga kepercayaan dan kepastian

Meski data menunjukkan arah positif, banyak ekonom menilai pemerintah masih punya pekerjaan rumah besar dalam menjaga kepercayaan investor. Stabilitas politik, efisiensi birokrasi, dan konsistensi kebijakan menjadi kunci.

“Semakin berbelit perizinan, semakin mahal biaya regulasi, dan semakin kecil minat investor untuk bertahan,” ujar Christiantoko. Karena itu, peningkatan kualitas layanan perizinan, terutama di daerah, menjadi indikator penting dalam memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business).

Jawa Barat, misalnya. Pentingnya menjaga kepercayaan dan kepastian hukum ini juga diungkapkan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Barat Dedi Taufik. Dedi mengatakan capaian itu menunjukkan daya tarik Jawa Barat sebagai tujuan investasi masih sangat kuat bagi penanaman modal dalam negeri (PMDA) ataupun asing (PMA).

“Kepercayaan investor kepada Jawa Barat masih tinggi. Iklim usaha yang kondusif, dukungan infrastruktur, dan percepatan layanan perizinan terus menjadi faktor utama yang menjaga momentum positif ini,” kata Dedi melansir Antara pada Sabtu (18/10).

Dedi Taufik menyebut, kenaikan investasi di Jawa Barat menyerap 303.469 tenaga kerja, naik 4,45 persen dari tahun lalu (290.545 orang). Dari jumlah itu, 175.385 berasal dari PMDN dan 128.084 dari PMA. Investasi asing banyak datang dari Jepang, Singapura, dan Hongkong, dengan minat terbesar di sektor industri pengolahan, perdagangan, komunikasi, dan real estat.

"Angka investasi ini diharapkan terus meningkat seiring masuknya investasi baru di berbagai kawasan industri seperti Rebana, Bekasi, dan Bandung Raya," ucapnya.

Baca juga:

Tingkatkan Efisiensi Investasi untuk Menarik Investor
Merealisasikan investasi di Indonesia membutuhkan modal yang tidak sedikit dilihat dari indikator ICOR yang masih tinggi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,3% pada tahun 2026, dibutuhkan investasi masif sebesar Rp 8.297,8 triliun.

Pemerintah sendiri menargetkan kontribusi investasi terhadap PDB bisa melampaui 30 persen per tahun. Jika tercapai, peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk menembus angka 5 persen atau lebih akan semakin besar, seperti yang dialami India dan Tiongkok.

Namun, lebih dari sekadar mengejar angka, keberhasilan investasi kini diukur dari sejauh mana modal bisa membuka lapangan kerja, mengurangi kesenjangan, dan memperkuat daya saing daerah.

“Yang dibutuhkan bukan hanya investor yang percaya,” kata Christiantoko menutup pernyataannya, “tetapi juga sistem yang bisa memastikan kepercayaan itu bertahan lama.”

Hilirisasi Dorong Investasi di Luar Jawa, tapi Manfaatnya Belum Merata

Lonjakan investasi di luar Pulau Jawa dalam beberapa tahun terakhir tak lepas dari kebijakan hilirisasi yang dijalankan pemerintah. Program ini menjadi motor utama penggerak investasi, khususnya di sektor pengolahan sumber daya alam. Menurut peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Manilet, hilirisasi berhasil menciptakan aktivitas ekonomi baru di berbagai daerah, membuka lapangan kerja, dan menyesuaikan jenis pekerjaan dengan karakteristik tenaga kerja lokal.

“Daerah-daerah yang menjalankan program hilirisasi umumnya tumbuh lebih cepat dibanding wilayah lain. Artinya, hilirisasi memang berperan sebagai katalis pertumbuhan ekonomi daerah,” kata Yusuf.

Namun, ia menilai geliat investasi tersebut masih sangat bergantung pada sektor hilirisasi, sementara sektor lain belum tumbuh signifikan. “Investasi di luar sektor hilirisasi memang ada, tapi porsinya masih jauh lebih kecil,” ujarnya. Kondisi ini membuat struktur ekonomi daerah tetap sempit dan rawan ketimpangan.

Dari sisi sosial-ekonomi, Yusuf juga menyoroti bahwa peningkatan investasi belum sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meski lapangan kerja bertambah, kualitas pekerjaan yang tercipta belum cukup untuk mengangkat taraf hidup warga sekitar kawasan industri. Tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah industri hilirisasi masih relatif tinggi. 

“Distribusi manfaat ekonomi juga belum merata. Dana transfer pemerintah ke daerah belum cukup kuat untuk memperluas efek berganda dari investasi,” tambahnya. Yusuf menilai, dana transfer pemerintah ke daerah belum cukup kuat untuk memperluas efek berganda dari investasi yang masuk, sehingga keuntungan ekonomi masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan memperkuat pandangan tersebut. Ia menilai peningkatan investasi di luar Jawa masih terkonsentrasi di sektor-sektor ekstraktif, terutama hilirisasi mineral seperti nikel dan tembaga. “Jadi ini bukan pertumbuhan yang menyeluruh. Investasi memang besar, tapi masih terkumpul di sektor-sektor capital intensive,” ujarnya.

Deni mencontohkan, wilayah seperti Sulawesi dan Maluku mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi berkat hilirisasi nikel, namun dampaknya terhadap tenaga kerja masih terbatas. “Karena sifat industrinya padat modal, bukan padat karya, jadi penyerapan tenaga kerja tetap kecil,” katanya. Selain itu, sebagian besar pekerjaan berkeahlian tinggi justru diisi tenaga kerja dari luar daerah, sementara masyarakat lokal lebih banyak terlibat di sektor pendukung seperti perdagangan kecil dan jasa harian.

Kedua pakar sepakat, agar hilirisasi tidak hanya menghasilkan pertumbuhan di atas kertas, pemerintah perlu memperkuat fondasi iklim usaha di daerah. Deni menekankan pentingnya infrastruktur logistik yang memadai, kepastian regulasi, dan konektivitas antarwilayah agar manfaat investasi bisa menyebar lebih luas. “Investasi jangan berhenti di enclave industri. Ia harus bisa menumbuhkan sektor-sektor lain di sekitarnya,” ujarnya.

Tantangan lain yang patut diperhatikan diutarakan Yusuf, soal aspek keberlanjutan lingkungan. Di beberapa wilayah, kegiatan hilirisasi justru menimbulkan tekanan terhadap ekosistem, mulai dari pencemaran hingga perubahan fungsi lahan. Yusuf menekankan pentingnya perencanaan yang lebih berkelanjutan agar manfaat ekonomi tidak datang dengan biaya lingkungan yang mahal. “Ke depan, pemerintah perlu memastikan bahwa peningkatan nilai tambah ekonomi berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat,” tutupnya.

Baca selengkapnya