Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati, memiliki potensi besar dalam mengembangkan bahan alam untuk menjadi bahan baku produk obat herbal yang memiliki standar dan kualitas internasional.
Pengembangan obat herbal modern di Indonesia juga telah mendapatkan dukungan dari World Health Organization (WHO).
Salah satu perusahaan di Indonesia yang kini tengah mengembangkan obat herbal modern, adalah PT Bintang Toedjoe yang merupakan anak perusahaan dari PT Kalbe Farma Tbk.
PT Bintang Toedjoe pada Senin (20/7/2025) lalu juga telah menerima kunjungan dari International Regulatory Cooperation for Herbal Medicines (WHO-IRCH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, lantaran perusahaan tersebut terlihat dengan nyata telah berkomitmen untuk meningkatkan pengembangan obat berbahan alam di Indonesia.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma TBK, Irawati Setiady, mengatakan saat ini pihaknya dengan semangat “From Nature to Science” telah menghadirkan produk-produk hasil inovasi terkini seperti Bejo Jahe Merah dan Komix Herbal yang telah mendapatkan pengakuan dunia.
“Kunjungan ini menjadi bagian penting dari komitmen kita bersama untuk memperkuat kolaborasi internasional dalam pengembangan dan standarisasi obat bahan alam yang berbasis riset ilmiah. Sebagai bagian dari Kalbe Group, PT Bintang Toedjoe senantiasa berkomitmen untuk menjalankan praktik produksi yang memenuhi standar nasional dan internasional,” kata Irawati melalui keterangan tertulisnya.
Baca juga:
Salah satu upaya yang dilakukan, adalah dengan memastikan seluruh fasilitas PT Kalbe Farma telah tersertifikasi dengan seperti Cara Pembuatan Obat Bahan Alam yang Baik (CPOBAB), Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), ISO 9001, ISO 14001, dan juga ISO 45001.
PT Bintang Toedjoe pun kini telah bertransformasi menjadi salah satu industri herbal terdepan di Indonesia yang berfokus dalam pengembangan produk berbasis bahan alam, yang pastinya sudah teruji secara ilmiah dan aman untuk dikonsumsi masyarakat.
“Kami juga mengembangkan ekosistem herbal jahe merah yang terintegrasi dari hulu ke hilir, mulai dari perbenihan, budi daya bersama petani binaan, proses pascapanen, ekstraksi dan destilasi, hingga riset dan komersialisasi produk,” jelasnya.
Langkah tersebut dilakukan juga dengan tujuan untuk mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal.
Hal–hal yang dilakukan oleh Bintang Toedjoe dalam mengembangkan obat herbal di Indonesia ini pun mendapatkan dukungan penuh dari BPOM, seperti yang diungkapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, Mohammad Kashuri.
“Kami menyampaikan apresiasi yang tulus kepada PT Bintang Toedjoe atas terobosan dalam membangun ekosistem jahe merah yang komprehensif, menampilkan komoditas herbal asli Indonesia," jelas Kashuri.
PT Kalbe Farma dan juga Bintang Toedjoe dalam mengembangkan obat herbal modern ini juga terus berkoordinasi dan menjalin kerja sama dengan pemerintah, industri, lembaga penelitian, akademisi, hingga organisasi internasional seperti WHO.
"Inisiatif ini melibatkan kolaborasi aktif antara petani, sektor swasta, lembaga pendidikan, dan instansi pemerintah. Perusahaan telah berhasil melakukan pengembangan inovatif produk berbasis jahe merah yang kini telah dipasarkan secara global," lanjutnya.
WHO-IRCH sebagai wadah kerja sama internasional juga dinilai memiliki peran penting dalam penguatan kapasitas otoritas regulatori nasional di bidang obat herbal. Kunjungan ini pun diharapkan menjadi momentum penting dalam memperkuat Indonesia sebagai salah satu pusat pengembangan dan produksi obat herbal berstandar internasional.
Di kesempatan yang sama, Kepala WHO-IRCH, Kim Sungchoi, turut mengapresiasi seluruh pihak terkait di Indonesia yang bersama-sama membangun ekosistem pengembangan obat herbal.
"WHO-IRCH berperan sebagai platform global untuk memperkuat kolaborasi dan konvergensi regulasi di bidang obat herbal. Kami sangat mengapresiasi kepemimpinan Indonesia dan komitmen industrinya, khususnya PT Bintang Toedjoe, dalam memajukan produk herbal yang berkualitas tinggi," tambah Kim.
Misi menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat pengembangan obat herbal di dunia juga mendapatkan sambutan yang baik dari Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O).
Sekretaris Jenderal AB3O, Irfat Hista Saputra, menjelaskan bahwa pihaknya sangat mendukung misi tersebut. Sejumlah perusahaan farmasi di Indonesia juga telah mengembangkan obat herbal, dan melakukan inovasi demi meningkatkan daya saing.
"Tentu itu harapan kami, bahwa digadang-gadang sebagai pusat pengembangan bahan baku obat herbal, obat kimia, obat biologi, tentu harapan kami. Dan memang ekosistemnya sudah ada ya, ada obat-obat yang sudah jadi," kata Irfat saat dihubungi, Minggu (26/10/2025).
Meski begitu, terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi oleh para produsen obat mulai dari ekspor ke luar negeri hingga pengakuan dari dunia kedokteran soal obat herbal tersebut. Setiap obat-obatan dari Indonesia yang hendak diekspor ke luar negeri, disebut harus melalui tahap uji dan mendapatkan izin dari lembaga pemerintah negara setempat terlebih dahulu.
"Katakanlah di Indonesia ini ada nomor izin edar dari Badan POM untuk obat, maka prosedur di pabrik-pabrik farmasi secara umum dia harus mendaftarkan dulu ke Badan POM-nya di negara tersebut. Yang jadi persoalan, Badan POM di negara-negara tersebut mengakui atau tidak," ucapnya.

Perusahaan farmasi harus melalui tahap uji seperti uji stabilitas, validasi proses, penyembuhan, dan uji lainnya yang sudah diakui. Maka dari itu, untuk mempermudah ekspor dan mengenalkan produk berkualitas milik Indonesia, diharapkan seluruh pihak terkait dapat saling bekerja sama dengan lebih baik lagi.
"Kendalanya saya pikir business to business aja sama government to government. Kecuali nanti obat-obat tersebut yang sifatnya herbal atau fitofarmaka, apabila telah diakui di Indonesia oleh Badan POM dan memiliki nomor izin edar, maka otomatis boleh diedarkan di luar negeri, itu kan harus ada pengakuan ASEAN, WHO, dan lain-lain semuanya," ujarnya.
Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai penguatan riset menjadi faktor utama agar industri herbal Indonesia mampu bersaing di tingkat global. Menurutnya, kekayaan bahan alam tidak otomatis menjadikan Indonesia unggul jika tidak diikuti penelitian yang sistematis dan berbasis sains. “Banyak ramuan diklaim berkhasiat, tetapi belum ditindaklanjuti menjadi produk yang melalui proses riset serius,” ujarnya.
Yusuf menjelaskan potensi bahan baku yang besar baru akan berdampak ekonomi jika diolah menjadi inovasi yang siap masuk industri. Selama dana riset dan kapasitas penelitian masih terbatas, banyak formula herbal akan berhenti pada klaim tradisional. Investasi di bidang penelitian merupakan prasyarat agar bahan alam bisa naik kelas menjadi produk herbal modern yang teruji dan memenuhi standar internasional.
Menurut Yusuf, rasio pendanaan riset terhadap PDB Indonesia juga masih kecil, sementara pelaku swasta yang aktif melakukan penelitian masih terbatas. Yusuf membandingkan dengan Tiongkok yang memiliki pendanaan riset besar dan ekosistem penelitian kuat, sehingga mendorong tumbuhnya industri herbal berbasis bukti ilmiah.
Selain riset, dia menyoroti perlunya integrasi antara pelaku usaha kecil dengan industri besar agar rantai pasok herbal lebih efisien. Standar kualitas dan sertifikasi menjadi kendala utama bagi pelaku mikro untuk masuk ke industri besar. Menurut Yusuf, kolaborasi dengan kampus dan laboratorium farmasi juga penting untuk memperkuat validasi ilmiah produk herbal, sekaligus membangun kepercayaan konsumen terhadap keamanan dan khasiatnya.
Yusuf menilai laboratorium di berbagai universitas sebenarnya sudah tersedia dan bisa dioptimalkan jika ada dukungan kebijakan dan pendanaan yang memadai. “Laboratoriumnya sudah ada sebenarnya yang bisa dimanfaatkan, tinggal dikasih dana untuk mengkaji secara lebih serius,” kata Yusuf.
Selain itu, peningkatan riset juga perlu dibarengi dengan edukasi publik agar konsumen lebih sadar terhadap manfaat dan keamanan produk herbal. Menurutnya, kesadaran konsumen terhadap produk herbal masih rendah karena informasi yang beredar terbatas dan sebagian besar hanya diperoleh dari mulut ke mulut. “Jika berambisi jadi sentra industri, awareness masyarakat harus ditingkatkan,” katanya.