Pilih Investasi Besar atau Upah Tinggi (2)

Kenaikan upah menjadi isu bagi para buruh yang mulai didera kebutuhan hidup layak. Bisa mengusir investasi yang mau datang. Pengusaha juga masih keberatan.

Pilih Investasi Besar atau Upah Tinggi (2)
Photo by Kenny Eliason / Unsplash
Daftar Isi

Persoalan sulit kini dihadapi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sebagai wilayah dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah dibanding wilayah lain di Indonesia, Jawa Tengah memang memikat banyak investor berdatangan. Beberapa diantaranya merupakan relokasi pabrik dari wilayah di Jawa Barat.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pernah mengungkap, jika  produsen pembuat pakaian olahraga merek Adidas dan Nike akan pindah ke kabupaten Brebes dan Kabupaten Pekalongan di Jawa Tengah. Saat ini, Upah Minuimum Kabupaten/Kota (UMK) 2025 di Kabupaten Tangerang adalah Rp4.901.117, sementara di Brebes masih sebesar Rp2.239.801,50, dan Pekalongan sebesar Rp2.486.653.

Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten juga dilirik sejumlah pembuat merek sepatu ternama lain seperti Reebok, Onitsuka, Hoka, dan Converse. Mereka disebut juga berencana menanamkan modal dan membangun pabrik produksi di Jawa Tengah. UMK 2025 di Kabupaten Boyolali sebesar Rp2.396.598. Sementara di Kabupaten Klaten sebesar Rp2.389.872,78.

Mantan buruh dan karyawan Sritex melakukan aksi unjuk rasa di depan Pabrik PT. Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (10/11/2025).ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah, Sakina Rosellasari mengakui para investor asal Cina, Taiwan, dan Inggris telah melirik lokasi potensial di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.

Meski masih dalam tahap penjajakan, pihaknya optimistis Jawa Tengah mampu meyakinkan para investor agar menetapkan lokasi pabrik di wilayah tersebut. “Kami berharap mereka tidak pindah dan bisa segera fixed. Biar produk-produk tadi bisa Made in Indonesia, yaitu di Jawa Tengah,” kata Sakina.

Buruh menggugat upah murah

Rezim upah murah di Jawa Tengah yang ditengarai sebagai penarik investasi ini mulai digugat para buruh. Tahun depan, mereka meminta agar UMP di Jawa Tengah ditetapkan sebesar Rp3.070.000. Angka ini dinilai sesuai dengan perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

“Kementerian Tenaga Kerja mengatur UMP Jawa Tengah seharusnya mencapai minimal 72% dari perhitungan KHL. Saat ini yang kami minta adalah 100% KHL untuk Jawa Tengah. Nilainya Rp3.070.000,” tegas pengurus DPD Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSP KEP) Jateng, Sodikin.

lustrasi pabrik sepatu

Sedangkan Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jawa Tengah Karmanto meminta UMK 2026 naik sebesara 10,5%. Dia menegaskan, hal itu penting untuk menekan disparitas upah antara Jateng dengan provinsi tetangga seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. “Karena upah di tahun 2025 baru naik sekitar 6%, dengan naik 10,5% di 2026, kita ingin disparitas upah ini semakin tidak terasa,” imbuhnya.

Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah 2025 sebesar Rp2.169.349. Angka itu naik 6,5% atau Rp132.402 dari 2024 sebesar Rp2.036.947.

Di Jawa Tengah, UMP lebih bersifat sebagai jaring pengaman untuk memastikan pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun menerima penghasilan yang layak, dan tidak dibayar di bawah standar minimum yang ditetapkan.

Selain UMP, setiap tahun juga ditetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di 35 daerah yang ada di provinsi ini. Nilai UMK 2025 tertinggi adalah Kota Semarang dengan angka Rp3.454.827. Kemudian apabila pada 2026 naik 10,5% maka UMK Kota Semarang akan menjadi Rp3.817.583. Adapun UMK terendah adalah Kabupaten Banjarnegara dengan angka Rp2.170.475. Bila naik 10,5%, maka Banjarnegara akan memiliki UMK sebesar Rp2.398.374.

Sementara itu, Sekretaris DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Tengah, Tabi’in mengingatkan Gubernur agar kebijakan upah murah tidak dijadikan variabel utama untuk menarik investor ke Jawa Tengah.

Daya tarik Jawa Tengah bagi investor bukan soal upah murah, namun karena tenaga kerja yang sangat inovatif dan terampil.

Menurutnya, daya tarik Jawa Tengah bagi investor bukan soal upah murah, namun berkat faktor lain. “Jawa Tengah ini punya keunikan tersendiri. Tenaga kerja di Jawa Tengah sangat inovatif dan terampil,” sebut Tabi'in.

Kondisi dunia usaha masih labil

Berbeda dengan usulan buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah menyebut, kenaikan UMK 2026 baiknya maksimal di angka 5%. Alasannya, kinerja dunia usaha saat ini belum baik. Ketua Apindo Jateng Frans Kongi mengatakan usulan kenaikan upah di atas 10% terlalu tinggi dan berpotensi membebani dunia usaha.

Menurutnya, penentuan upah sebaiknya mengikuti aturan pemerintah yang segera diterbitkan dalam waktu dekat.  “Kami semua sudah sepakat, kenaikan upah minimum itu ada peraturan dari pemerintah. Buruh boleh saja mengusulkan, tetapi sebaiknya berpegang pada aturan itu,” kata Frans.

Frans berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi, daya saing industri, dan lapangan kerja sebelum menetapkan kebijakan upah minimum. “Sebab kami mau jaga perusahaan tetap jalan. Karyawan tetap kerja. Itu selalu yang kami pikirkan. Jangan sampai karyawan kehilangan pekerjaan, itu jangan sampai. Itu tidak dikehendaki juga oleh kami ya,” ungkapnya.

Sedangkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng Ahmad Aziz mengatakan, UMP Jateng 2026 dijadwalkan ditetapkan pada 21 November 2025. Sementara UMK 2026 pada 30 November 2025. Namun jadwal tersebut tergantung pada terbitnya peraturan pemerintah (PP).

“Formula landasan hukum nanti ada di PP, ada upah minimum provinsi, upah minimum sektoral provinsi, upah minimum kabupaten/kota. Ada apa tidaknya (UMSK) nanti kita mengikuti perjalanannya di dewan pengupahannya,” terang Aziz.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi menyatakan telah mengumpulkan Dewan Pengupahan, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit, dan Satuan Tugas (Satgas) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kedua kiri) menemui demonstran usai melakukan pertemuan dengan perwakilan PT Multistrada Arah Sarana Tbk di Cikarang, Jawa Barat, Senin (3/11/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Pertemuan tersebut untuk melakukan dialog, konsolidasi, serta menyerap aspirasi dari buruh dan pengusaha, sebelum pembahasan dan penetapan UMP. Dialog ini merupakan komunikasi dari berbagai arah, mulai dari buruh, pengusaha, akademisi, dan pemerintah, agar memiliki pemahaman yang sama.

Dengan begitu, tidak ada sumbatan-sumbatan informasi. “Jadi perlu menyamakan persepsi. Jangan sampai buruh, pengusaha, dan pemerintah, ada dikotomi yang merugikan kedua belah pihak, buruh dan pengusaha,” ungkap Luthfi.

Luthfi membeberkan, investasi di Jateng hingga kini terus menggeliat. Realisasi investasi di Jawa Tengah sampai triwulan III 2025 sudah menyentuh Rp66 triliun. Di mana 65% merupakan penanaman modal asing (PMA), sisanya adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN). “Iklim investasi di Jateng ini golnya adalah kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.

Gejolak buruh di daerah

Seperti juga di Jawa tengah, organisasi buruh di beberapa daerah lain juga mulai bereaksi terkait isu penetapan UMP 2026 6,5%. Serikat Pekerja Nasional (SPN) Provinsi Banten misalnya, dalam  pernyataannya, meminta agar Pemerintah setempat menaikkan UMP tahun 2026 yang disesuaikan dengan beban biaya hidup yang kini dirasakan semakin berat oleh para buruh. “Beban hidup naik, namun penghasilan tetap. Ini membuat buruh berada dalam kondisi serba terdesak,” ujar Ketua SPN Banten, Intan Indria Dewi, Senin 10 November 2025 seperti dikutip dari Radar Banten.

SPN Banten mengusulkan agar UMP 2026 dinaikkan di kisaran 8,5% hingga 10%. Menurut Intan, besaran tersebut merupakan angka realistis yang memperhatikan situasi ekonomi daerah sekaligus mempertahankan daya beli buruh.

Sebagai informasi, UMP Banten tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp2.905.199,90 naik 6,5 persen dari tahun sebelumnya Rp2.727.712. Di luar persoalan kenaikan harga kebutuhan pokok, serikat juga menyoroti masih adanya perusahaan yang menggaji karyawannya di bawah UMP/UMK. “Buruh sudah bekerja penuh, tetapi upah yang diterima tidak sesuai ketentuan. Ini persoalan serius dan harus ditertibkan,” ungkapnya.

FPSBI-KSN saat menggelar aksi unjuk rasa di Tugu Adipura menuju halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung, Selasa (11/11/2025). Mereka mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 sebesar 15 persen. Dok. FPSBI-KSN

Sedangkan di kota Bandar Lampung, Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia-Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI-KSN) menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Lampung, Selasa 11 November 2025 lalu. Dalam aksi tersebut, massa buruh mendesak pemerintah daerah menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung tahun 2026 hingga 15 persen.

Ketua Umum FPSBI-KSN, Yohanes Joko Purwanto menilai, sistem pengupahan di Indonesia belum berpihak pada kesejahteraan buruh. Ia menyebut, kebijakan upah yang cenderung menguntungkan pemilik modal membuat banyak pekerja hidup dalam kondisi serba terbatas.

Ia menegaskan, usulan kenaikan 15 persen didasarkan pada hasil perhitungan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). “Jika dihitung rata-rata dari Januari hingga November, seharusnya kenaikan berada di atas 8,5 persen. Jadi wajar kalau kami mengusulkan 15 persen agar ada ruang peningkatan kesejahteraan,” jelasnya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Lampung, Agus Nompitu, menyatakan pemerintah daerah masih menunggu formula resmi dari pemerintah pusat melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker).

Menurutnya, pihak Pemda Lampung juga tengah mempersiapkan pembahasan mengenai Upah Minimum Sektoral (UMS) sebagai langkah untuk memberikan keadilan yang lebih proporsional bagi pekerja di berbagai sektor.

“Kami sudah menerima sejumlah usulan dari serikat pekerja, mulai dari 8,3 persen, 8,5 persen hingga 15 persen. Semua aspirasi kami tampung, namun keputusan akhir tetap akan mengikuti ketentuan pusat,” ujarnya.

Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Bali yang menaungi pekerja di sektor Hotel, Restoran, Plaza, Apartemen, Retail, Katering, Pariwisata,  berharap kenaikan upah untuk tahun 2026 dapat berkisar antara 10–15 persen. Menurut Agung Rai dari FSPM Bali, selama sepuluh tahun terakhir, kenaikan upah relatif sangat rendah, sementara harga-harga kebutuhan pokok rakyat sudah sangat tinggi.

“Kami berharap kenaikan upah untuk tahun 2026 berkisar dari 10%–15%, karena selama 10 tahun terakhir upah kenaikannya sangat rendah, harga-harga kebutuhan pokok rakyat sudah sangat tinggi,” katanya.

Agung juga mendorong agar pemerintah memiliki kepekaan terhadap kesejahteraan buruh. “Kami juga mendesak pemerintah untuk segera membuat formula kenaikan upah yang layak bagi buruh,” tuturnya.

Dampak relokasi industri dunia

Relokasi industri lokal yang kini terjadi di Jawa Tengah, juga terjadi dalam sekala global. Awalnya negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman mulai memindahkan industri padat karya ke negara berkembang untuk menekan biaya tenaga kerja.

Sedangkan negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Meksiko menjadi tujuan awal karena stabilitas politik dan infrastruktur yang mulai berkembang.

Sering waktu, Cina pun menjadi pusat manufaktur global, diikuti oleh Vietnam, Bangladesh, dan negara Asean lainnya. Maka relokasi industri  pun berlanjut, tidak hanya terjadi pada industri tekstil, tetapi juga elektronik, otomotif, dan komponen teknologi.

Cina yang sebelumnya menjadi pusat industri manufaktur, karena adanya hambatan seperti tarif di pasar terbesar Amerika Serikat juga mulai memindahkan pabrik-pabriknya ke negara Asean terutama Vietnam, India dan Indonesia.

Selain alasan geopotik, tenaga kerja murah, dan pasar yang besar, menjadi alasan terjadi pergeseran pusat perkembangan industri dunia. Fokus bergeser dari sekadar efisiensi biaya ke strategi diversifikasi rantai pasok dan ketahanan logistik.

Namun, relokasi industri dari negara maju ke negara berkembang menyebabkan pengangguran struktural di negara maju, terutama di sektor manufaktur, karena pekerja kehilangan pekerjaan karena upah yang lebih rendah di negara tujuan. Para pekerja tersebut umumnya kesulitan mendapatkan pekerjaan baru karena keterampilan mereka hanya relevan untuk industri yang telah berkurang di negara asal.

Selain itu, relokasi ini didorong oleh tujuan untuk menekan biaya tenaga kerja, mematuhi peraturan yang lebih longgar, serta memaksimalkan keuntungan melalui biaya produksi yang lebih rendah di negara tujuan

Di negara tempat investasi ditanamkan, selain mendapatkan berkah, juga mengalami dampak negatif akibat masifnya pembangunan pabrik dan operasional industri yang mengganggu lingkungan. Terserapnya tenaga kerja ke sektor industri ini juga memicu kebutuhan untuk pengaturan pengupahan yang adil.

Ini juga yang menyebabkan rezim upah murah tetap bertahan, demi menjaga investasi datang. Namun lama kelamaan, kebutuhan untuk meningkatkan upah juga tak bisa dibendung lagi. Akibatnya investasi dari relokasi bisa terhenti, dan bagi pabrik yang sudah ada, karena dampak kenaikan upah bisa menghentikan operasional di negara tujuaninvestasi.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, untuk menekan risiko penutupan pabrik, AGTI dan APINDO mendorong sinergi kebijakan lintas sektor. “Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, seperti pemberian insentif ketenagakerjaan dan fiskal bagi industri padat karya, penurunan biaya energi (listrik, gas, dan logistik), serta percepatan deregulasi dan simplifikasi perizinan yang masih berlapis,” katanya. .

Dengan dukungan kebijakan semacam itu, Anne optimistis industri manufaktur seperti sektor  tekstil dan garmen nasional mampu bertahan bahkan tumbuh lebih kuat. “Indonesia dinilai masih memiliki keunggulan fundamental, mulai dari ekosistem industri yang lengkap, tenaga kerja terampil, hingga potensi pasar domestik yang besar,” ujar Anne.

Mukhlison, Dian Amalia, Gemas Dzikri dan M. Slamet (Semarang)


Perlu Upah yang Tidak Buta Gender

Urusan upah, memang tak hanya dominasi para buruh pria, kaum buruh perempuan juga ikut bersuara. Elza Yulianti, Departemen Buruh Perempuan, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Sekretaris Bidang Kesejahteraan dan Penggalangan Perempuan Partai Buruh  menilai kebijakan kenaikan UMP 2026 belum mencerminkan kebutuhan nyata buruh perempuan di lapangan.

Menurutnya, formula yang digunakan pemerintah masih buta gender dan gagal mengakomodasi beban ganda yang ditanggung perempuan pekerja. “Kalau dari sisi kelayakan, kebijakan upah sekarang itu sangat belum mampu menjawab kebutuhan buruh perempuan, terutama di sektor padat karya dan digital,” ujarnya.

Ilustrasi buruh wanita

Elza menilai kenaikan yang diajukan pemerintah, di bawah 8,5 persen, belum cukup layak. “Kita di KPBI mendorong kenaikan antara 8,5 sampai 10 persen. Kalau di bawah itu, berat. Karena biaya hidup sudah naik jauh, terutama kebutuhan pokok,” ungkapnya.

Elza menjelaskan bahwa perempuan pekerja di sektor tekstil dan digital menghadapi tekanan berlapis. Di satu sisi, mereka dituntut bersaing dalam sistem produksi global yang menekan biaya tenaga kerja serendah mungkin. Di sisi lain, mereka tetap menanggung pekerjaan domestik di rumah.

Buruh perempuan itu kan punya beban ganda. Setelah bekerja di pabrik, mereka masih harus merawat anak, mengurus rumah

“Buruh perempuan itu kan punya beban ganda. Setelah bekerja di pabrik, mereka masih harus merawat anak, mengurus rumah. Itu kerja-kerja yang enggak dibayar, tapi menguras tenaga,” katanya.

Ia menyoroti bahwa konsep Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar penetapan UMP selama ini tidak mempertimbangkan realitas tersebut. “KHL itu seringkali buta gender. Biasanya hanya menghitung kebutuhan individu buruh tunggal, bukan perempuan yang menanggung anak dan keluarga. Tidak ada biaya penitipan anak, tidak ada fasilitas daycare dari pemerintah,” ujar Elza.

Padahal, lanjutnya, ketiadaan dukungan terhadap kerja reproduksi sosial ini justru mengurangi produktivitas buruh perempuan. “Kalau ada fasilitas daycare yang aman dan terjangkau, produktivitas mereka pasti meningkat.”

Selain itu, Elza juga menyinggung kebutuhan spesifik perempuan yang kerap terabaikan. “Kebutuhan harian seperti pembalut, kontrol kehamilan, biaya kesehatan reproduksi itu nggak pernah jadi acuan dalam KHL. Jadi kebijakan upahnya masih sangat bias gender,” tegasnya.

Minimnya perspektif perempuan juga tampak di proses pengambilan keputusan. Dalam struktur tripartit, suara perempuan masih jarang terdengar. “Keterlibatan perempuan di forum penetapan upah itu sangat minim. Mayoritas pemimpinnya laki-laki, baik di serikat maupun di forum tripartit. Itu yang jadi PR kami, bagaimana perempuan bisa lebih banyak duduk di posisi pengambilan keputusan,” kata Elza.

Elza menekankan pentingnya reformasi komponen KHL agar lebih progresif dan responsif gender. Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. “Itu penting untuk melindungi buruh perempuan, termasuk dalam konteks negosiasi upah dan akses terhadap kebutuhan reproduktif.”

Elza berharap, kebijakan upah tahun depan lebih berpihak pada pekerja, khususnya perempuan. “Kalau masih di bawah 8,5 persen, itu belum layak. Harga cabe, telur, beras naiknya aja udah lebih dari itu,” katanya. Menurutnya, pemerintah harus mulai melihat kebijakan upah bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari keadilan sosial dan kesetaraan gender. “Kalau buruh perempuan terus dipinggirkan, ya kesenjangan itu enggak akan pernah selesai.”

Dian Amalia