Perkembangan teknologi digital mengubah gaya hidup sehingga menuntut akses internet yang berkualitas. Kualitas internet rumah kini bukan lagi sekadar urusan hiburan, melainkan fondasi ekonomi dari para UMKM digital hingga pekerja jarak jauh. Lantas siapakah penyedia jasa internet yang paling bisa diandalkan dan disukai pelanggan?
Laporan Opensignal yang berjudul "Laporan Pengalaman Fixed Broadband November 2025", menganalisis data riil dari pengguna broadband fixed-line di Indonesia selama 1 Agustus–30 Oktober 2025, mencakup delapan ISP besar: Biznet Home, CBN, Icon Plus, IndiHome/Telkomsel, Indosat HiFi, MyRepublic, Oxygen.id, dan XL Home.
Lima indikator utama dipakai, yaitu Konsistensi Kualitas, Kecepatan Unduh, Kecepatan Unggah, Pengalaman Video, dan Keandalan Pengalaman, untuk menangkap cara rumah tangga Indonesia menggunakan internet: dari kerja dan sekolah daring, streaming, hingga gim.
Hasil yang muncul bukan hanya ranking, melainkan peta kompetisi yang menghubungkan performa jaringan, strategi bisnis para pemainnya dan perebutan dominasi pasar broadband yang semakin ketat menjelang 2026.
Konsistensi kualitas
Di indikator Konsistensi Kualitas, Indosat HiFi dan XL Home tampil jadi jawara. Indosat HiFi dipilih oleh 68,9% responden dan XL Home mengikuti tipis di belakangnya dengan nilai 68,7%. Angka ini menggambarkan persentase pengujian pengguna yang memenuhi ambang minimum untuk aktivitas berat seperti menonton video HD, konferensi video, dan gaming.
Kecepatan unduh
Dari sisi kecepatan, persaingan semakin menarik. Biznet Home memimpin Kecepatan Unduh dengan skor 37,8 Megabyte per seconds (Mbps). Ini meninggalkan pesaing terdekatnya yakni XL Home dengan kecepatan 34,6 Mbps.
Kecepatan unggah
Pemenang pada kategori kecepatan unggah jatuh pada Oxygen.id dengan kecepatan 26,1 Mbps, unggul 0,6 Mbps dari pesaing terdekatnya yakni Biznet Home.
Pengalaman video
Dari kategori pengalaman menonton video, ada empat pemenang bersama dengan selisih skor yang tipis. Mereka adalah Indosat HiFi dan Oxygen.id dengan nilai sama yakni 69,3. Mengikuti di belakang mereka ada Biznet Home dengan nilai 69,2 dan XL Home dengan nilai 69,0.
Skor penilaian berada dalam rentang 0-100. Semakin besar nilainya makin menunjukkan kepuasan pelanggan.
Keandalan pengalaman
Pada kategori ini, posisi juara dipegang oleh XL Home dengan nilai 463. Adapun di posisi kedua dan ketiga diraih oleh Indosat HiFi dengan nilai 448 dan 445.

Pandangan ahli
Membahas indikator teknis OpenSignal, Teguh Prasetya, Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menegaskan dua hal: harga dan keandalan. “Kalau cocok dengan kantong dan kebutuhannya konsumen, pasti laris,” ujarnya dalam sambungan telepon dengan Suar (1/12/2025). Ia menyebut rehabilitas internet Indonesia masih kalah dibanding negara tetangga seperti Vietnam.
Dalam konteks bisnis broadband, keandalan kian menjadi “mata uang baru”. Semakin stabil jaringan suatu ISP, semakin kecil risiko pelanggan berpindah (churn), semakin kecil biaya penanganan komplain, dan semakin kuat reputasi untuk ekspansi ke wilayah baru.
Kecepatan unggah dan unduh, kata Teguh, kini tidak bisa dianggap remeh. “UMKM mengunggah katalog, video besar. Kalau lama, ya tidak menarik,” jelasnya. Infrastruktur pita lebar menentukan apakah pengguna bisa bekerja, belajar, dan berkarya dengan stabil.
Fenomena ini menunjukkan ‘medan perang baru’ industri broadband. Jika dulu ISP berlomba-lomba menawarkan unduhan tercepat untuk streaming, kini unggahan semakin penting, seiring melonjaknya ekosistem kreator, penjual online, hingga pekerja remote yang membutuhkan kualitas unggah stabil untuk video call dan kolaborasi daring.
Di atas kertas, dominasi IndiHome masih tetap jadi raksasa. Dengan sekitar 67 persen pangsa pasar broadband nasional, Telkomsel, melalui layanan fixed-line IndiHome, memiliki jangkauan terluas dan basis pelanggan terbesar di Indonesia. Namun menariknya, menurut Nailul Huda, peneliti ekonomi digital Center of Economics and Law Studies (CELIOS), keunggulan pasar ini tidak berbanding lurus dengan kualitas layanan.
“IndiHome itu menguasai pasar, tapi dari sisi kualitas mereka justru tidak unggul. Kecepatan unduh dan unggah kalah dari pesaingnya, harga juga relatif lebih mahal,” ujar Huda kepada Suar, Senin (1/12/2025). Meski begitu, permintaan layanan IndiHome tetap tinggi, terutama di Indonesia Timur, di mana pilihan ISP jauh lebih terbatas dan cakupan jaringan IndiHome masih menjadi andalan.
Menurutnya, kondisi ini berbeda dengan kota-kota besar di Jawa, di mana konsumen memiliki lebih banyak pilihan dan mulai memilih berdasarkan kualitas, bukan sekadar ketersediaan. Para pesaing IndiHome diperkirakan akan memaksimalkan momentum ini. “Dengan pendapatan yang besar, mereka seharusnya bisa ekspansi ke luar Jawa, entah melalui capex sendiri atau menggandeng pihak lain.”
Di luar Jawa, pasar broadband masih didominasi oleh IndiHome, bukan karena performa terbaik, tetapi karena infrastruktur mereka paling siap. Namun pemain baru mulai ikut masuk, mengubah peta persaingan secara perlahan. Starlink masuk dengan harga perangkat yang tinggi, sementara Surge menarik perhatian karena masih berada di fase promo.
Huda menilai pasar luar Jawa masih dikuasai IndiHome, sementara pesaing yang paling memungkinkan adalah Starlink dan Surge, meski keduanya memiliki tantangan: Starlink mahal di perangkat, Surge masih dalam masa promo.
Namun ekspansi dianggap wajib. “Kalau tidak segera diperluas, pembangunan digital di luar Jawa akan makin tertinggal. Pemerintah harus cepat dan tepat menutup jurang digital divide ini.”
Apa Artinya untuk Industri Broadband?
Temuan Opensignal ini pada dasarnya membuka peta baru industri broadband Indonesia. Bukan hanya soal siapa tercepat atau siapa paling stabil, tetapi siapa yang paling siap menjawab kebutuhan pengguna yang semakin kompleks, dari rumah tangga biasa sampai bisnis rintisan berbasis digital.
Menurut Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute sekaligus pengamat telekomunikasi, pasar internet Indonesia masih “sangat dinamis”. Ia menilai menilai bahwa kompetisi di sektor ini masih terbuka lebar bagi siapa pun yang ingin masuk dan berkembang. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan ada sekitar 1.400 penyelenggara layanan internet (ISP) yang saat ini beroperasi, angka yang mencerminkan betapa padat dan cairnya pasar.
Menurut Heru, penyedia internet ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. “APJII mencatat mereka sudah berada di 38 provinsi,” ujarnya melalui pesan suara, Senin (1/12/2025). Meski begitu, peta pemainnya tetap berlapis: ada pemain besar, menengah, hingga kecil, termasuk RT/RW-net yang bertahan dengan jumlah pelanggan yang tidak banyak, tetapi stabil.
Ia menjelaskan bahwa harga masih menjadi arena persaingan utama. Pengguna memilih ISP pertama-tama karena tarif. Namun, ketika harga relatif seragam di suatu wilayah, persaingan meningkat ke aspek kualitas, kecepatan unduh dan unggah, stabilitas koneksi, hingga respons tim teknis ketika terjadi gangguan.
“Percuma kecepatannya tinggi kalau dua hari kemudian mati dan perbaikannya lama,” kata Heru. Stabilitas dan layanan purnajual kini menjadi faktor yang menentukan loyalitas pelanggan.
Baca juga:

Ekspansi jaringan broadband ke rumah (fixed broadband) juga sedang berlangsung. Banyak ISP kecil diakuisisi pemain lebih besar, tetapi secara umum ekosistemnya belum menunjukkan tanda-tanda konsolidasi besar. Justru sebaliknya: jumlah ISP terus bertambah dari 1.200 menjadi 1.400 dalam beberapa tahun terakhir.
Heru menyebut fenomena ini sebagai sesuatu yang menarik. “Kita belum tahu titik tertingginya akan berhenti di mana. Pada satu titik, tentu konsolidasi akan terjadi, pemain besar akan menyerap menengah dan kecil. Tapi sekarang trennya masih naik,” ujarnya.
Pada akhirnya, menurutnya, keputusan pelanggan tidak hanya ditentukan paket harga dan kecepatan. Ketersediaan jaringan di wilayah tertentu, stabilitas koneksi, dan kecepatan penanganan keluhan menjadi faktor yang membuat pengguna bertahan, atau justru berpindah ke ISP lain. Dalam pasar yang sangat cair seperti ini, perpindahan tersebut bisa terjadi kapan saja.
Menuju 2026: Konsolidasi, Ekspansi, dan Perebutan Pelanggan
Membaca gambaran awal untuk 2026 melalui laporan Opensignal menandai tahun persaingan besar, dengan beberapa pola yang mulai terlihat jelas.
ISP kecil berada dalam posisi paling rentan. Tanpa perbaikan kualitas atau perluasan jangkauan, mereka bisa kehilangan pangsa pasar secara signifikan. Biznet dan XL Home, dua pemain yang kini sama-sama ingin keluar dari zona nyaman, kemungkinan akan berhadapan langsung di luar Jawa, terutama di kota-kota urban baru.
Indosat HiFi juga mulai menampakkan diri sebagai penantang serius, terutama di segmen kualitas konsisten. Sementara itu, Oxygen.id punya peluang besar untuk naik kelas, asalkan bisa mengubah keunggulan upload menjadi strategi bisnis, bukan sekadar statistik teknis.
Selain itu, Teguh dari ATSI juga menyoroti dua pemenang lelang frekuensi 1,4 Ghz oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Oktober lalu, Yaitu PT Telemedia Komunikasi Pratama yang merupakan anak perusahaan Surge (WIFI) serta Eka Mas Republik pemilik MyRepublic.
“Yang aneh itu Telkom. Mereka punya duit, punya jaringan, punya pasar. Kok malah ngalah?” katanya. Ia menyebut keputusan Telkom mundur dari kompetisi ini membuka ruang bagi swasta menawarkan paket baru yang disebut sebagai “internet rakyat” dengan harga sekitar Rp100 ribu per bulan.
“Ini akan jadi peta persaingan baru. Tapi catatan kritis saya: kenapa Telkom tidak main di sini? Apa strateginya? Mau ke seluler saja? Saya tidak tahu,” tambahnya.
Meski demikian, Teguh mengatakan bahwa kedepannya bergerak ke arah konsolidasi. “Kita belum tahu arahnya bagaimana, tapi dengan masuknya pemain-pemain baru yang menawarkan harga murah dan kualitas bagus, pasar 2026 bisa bergerak ke konsolidasi. Apalagi kalau teknologi seperti direct-to-cell Starlink dibuka, industri telekomunikasi kita bisa terguncang besar.”
Tanpa kebutuhan BTS, biaya operasional Starlink jauh lebih murah. Namun saat ini pemerintah belum membuka izin tersebut. Ia juga menyinggung rencana Presiden Prabowo yang sempat menyebut akan membangun internet lebih canggih dari Starlink melalui kerja sama Jepang. “Tapi itu juga belum direct-to-cell,” tambahnya.