Menjelang paruh kedua 2025, perhatian pasar dan pelaku usaha kembali tertuju pada stabilitas sistem keuangan nasional. Kebijakan kenaikan tarif oleh Presiden AS, Donald Trump, serta pergolakan geopolitik dan militer di sejumlah negara, dinilai bisa menjadi dua faktor eksternal yang berpotensi menggoyahkan fondasi keuangan global, termasuk Indonesia.
Namun, di balik ketidakpastian itu, pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tetap optimistis fundamental ekonomi domestik cukup kuat untuk meredam tekanan dan menjaga pertumbuhan hingga akhir tahun.
Dalam konferensi pers KSSK yang digelar Senin kemarin sore (28/07) di Pacific Century Place, Jakarta Selatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa stabilitas sistem keuangan atau SSK pada tiga bulan kedua 2025 tetap terjaga meski diwarnai ketidakpastian global yang tinggi.
Ia menegaskan, kondisi global saat ini banyak dipengaruhi oleh dinamika negosiasi tarif resiprokal Amerika Serikat, serta eskalasi ketegangan geopolitik dan militer, khususnya di Timur Tengah.
“Kita terus memperkuat sinergi kebijakan fiskal, moneter, makroprudensial, serta sektor keuangan, agar bukan hanya stabilitas terjaga, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Sri Mulyani.
Menjaga stabilitas di tengah badai tarif dan gejolak global
Sejak April lalu, tensi dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali naik. Kebijakan tarif balasan yang diberlakukan kedua negara memicu ketidakpastian global. Dampaknya cepat terasa: Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 dari 3,2% menjadi 2,9%. OECD juga merevisi proyeksi serupa ke angka 2,9%.
Di tengah situasi ini, pemerintah Indonesia tetap berupaya menjaga optimisme, meski dengan sikap waspada. “Ini adalah lingkungan yang kami amati dan kita waspadai,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Secara domestik, sejumlah indikator memberi alasan untuk tetap optimistis. Hingga akhir Juni, inflasi IHK tercatat hanya 1,80% secara tahunan, jauh di bawah target. Inflasi inti pun turun menjadi 2,37%.
Sementara itu, nilai tukar rupiah, yang sempat melemah hingga Rp16.865 per dolar AS pada April, berhasil menguat ke sekitar Rp16.235 pada akhir Juni dan relatif stabil di kisaran Rp16.315 per 25 Juli. Tren penguatan ini didukung intervensi Bank Indonesia, termasuk di pasar valuta asing global dan domestik.
Di pasar surat utang, yield SBN tenor 10 tahun turun dari 6,62% menjadi 6,51% per akhir Juli. Ini menunjukkan minat investor yang tetap baik, dengan net buy asing sebesar Rp58,29 triliun sepanjang tahun. Posisi cadangan devisa Indonesia pun tetap tinggi, setara lebih dari dua kali standar kecukupan internasional.
Peran stimulus dan APBN sebagai peredam kejut
Selain kebijakan moneter, pemerintah memanfaatkan APBN sebagai shock absorber. Sampai semester I, realisasi belanja negara mencapai Rp1.406 triliun, atau 38,8% dari pagu, dengan defisit tetap terjaga di 0,84% PDB. Pendapatan negara pun sudah mengumpulkan 40% dari target.
Fokus belanja pemerintah tetap pada program perlindungan sosial dan stimulus konsumsi. Antara lain: subsidi dan diskon transportasi, bantuan pangan untuk 18,3 juta keluarga, serta subsidi upah bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp3,5 juta.
Pemerintah juga meluncurkan paket stimulus Rp24,4 triliun di semester II, termasuk diskon tiket pesawat, kereta, dan kapal laut untuk mendongkrak pariwisata dan belanja domestik.
Langkah-langkah ini diharapkan menjaga daya beli, menopang sektor padat karya, seperti tekstil dan alas kaki, serta mempertahankan pertumbuhan di kisaran 5% hingga akhir 2025. “Tren penguatan rupiah dan inflasi rendah menjadi bukti fundamental kita cukup kuat meski tekanan global tinggi,” tegas Sri Mulyani.
Di tengah perang tarif, pemerintah juga bergerak cepat lewat jalur diplomasi. Tarif impor AS untuk produk Indonesia berhasil ditekan menjadi 19%, lebih rendah dibanding rumor awal 32%. Ini penting untuk sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.
Sebaliknya, kebijakan tarif 0% Indonesia untuk sejumlah produk AS diperkirakan akan membantu menekan harga pangan dan energi, menahan inflasi.
Namun, tantangan tetap nyata. PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur per Juni masih kontraksi di angka 46,9, menandakan sektor industri belum sepenuhnya pulih. Perlambatan global juga menekan ekspor, meski neraca perdagangan masih surplus US$15,39 miliar per Mei.
Langkah BI: jaga stabilitas, dorong pertumbuhan
Selain stimulus fiskal, Bank Indonesia memegang peran penting menjaga stabilitas sistem keuangan nasional hingga akhir 2025. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, respons kebijakan BI dijalankan melalui empat pilar utama: penurunan suku bunga, stabilisasi nilai tukar, ekspansi likuiditas, dan pemberian Surat Berharga Negara (SPN) di pasar sekunder.
Sejak Mei 2025, BI memangkas suku bunga acuan menjadi 5,25% untuk menjaga daya beli dan mendorong pertumbuhan. Penurunan suku bunga ini juga tercermin pada instrumen tenor lebih panjang, seperti SRBI 12 bulan yang turun sekitar 40–50 basis poin.
“Total posisi SRBI per 23 Juli tercatat Rp754,1 triliun, turun dari Rp923,5 triliun di Januari,” kata Perry Warjiyo. Dengan begitu, likuiditas di pasar diharapkan meningkat dan memudahkan penyaluran kredit.
Untuk menjaga nilai tukar, BI aktif berintervensi, termasuk lewat non-delivery forward (NDF) di luar negeri. Hasilnya, rupiah relatif stabil meski ada tekanan eksternal. “Kami arahkan agar non-delivery forward tetap stabil dan sesuai dengan kondisi kita,” ujarnya.
Di sektor perbankan, BI memberi insentif likuiditas bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor strategis, seperti pertanian, konstruksi, dan UMKM. Total insentif yang disalurkan hingga awal Juli mencapai Rp376 triliun.
Selain itu, BI memperlonggar batas pendanaan luar negeri bank, serta memperkuat digitalisasi transaksi melalui QRIS. Termasuk, uji coba ke Tiongkok, Arab Saudi, dan India.
"Kebijakan ini tetap dijaga dalam koridor stabilitas,” ujarnya.
Dari kacamata pakar: stabilitas terjaga, tapi pertumbuhan tetap berat
Bicara soal tekanan eksternal, Deni Priawan, peneliti ekonomi internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS), punya sudut pandang menarik. Ia menyoroti bagaimana awalnya banyak pihak sempat khawatir kebijakan proteksionis Amerika, termasuk tarif tinggi ala “America First” Donald Trump, bakal memicu inflasi di Negeri Paman Sam.
“Yang ditakutkan orang pada awalnya, ketika Trump bikin kebijakan tarif, inflasi di sana akan tinggi. Karena barang impor jadi mahal, suplai sedikit, harga naik,” jelas Deni.
Biasanya, lanjutnya, inflasi yang naik akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga demi mendinginkan ekonomi. Jika itu terjadi, efeknya sampai ke Indonesia: arus modal keluar, rupiah tertekan, dan mau tak mau Bank Indonesia juga harus mempertahankan suku bunga tinggi untuk melindungi nilai tukar.
“Tapi ternyata, setelah Trump deal sama beberapa negara kayak Indonesia, Vietnam, Inggris, inflasinya nggak setinggi yang ditakutkan,” ungkapnya.
Karena inflasi AS relatif stabil, analis kini memprediksi The Fed justru bisa menurunkan suku bunga. “Kalau The Fed turunkan suku bunga, tekanannya ke rupiah juga nggak ada. Bahkan rupiahnya malah sempat menguat,” kata Deni. Hal itu juga memberi ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga demi mendorong ekonomi domestik.
Tapi Deni mengingatkan, stabil bukan berarti pertumbuhan akan tinggi. Kekhawatiran terbesar justru di sektor riil. “Growth-nya nggak akan tinggi. Permintaan luar negeri menurun, terutama komoditas kayak batubara karena permintaan China dan India juga turun. Mereka kan mau beralih ke energi lebih hijau,” jelasnya.
"Permintaan luar negeri menurun, terutama komoditas kayak batubara karena permintaan China dan India juga turun. Mereka kan mau beralih ke energi lebih hijau,” jelas Deni.
Di dalam negeri, daya beli juga masih terbatas, terlihat dari data konsumsi rumah tangga yang masih lesu.
Secara keseluruhan, kata Deni, kondisi makro kita aman: inflasi rendah, rupiah stabil, cadangan devisa cukup, dan capital inflow masuk. “Nggak ada tekanan besar yang bikin khawatir. Tapi kalau mau growth lebih tinggi, problemnya struktural,” tegasnya.
Menurutnya, pertumbuhan tinggi butuh reformasi mendalam: kepastian hukum, birokrasi yang efisien, infrastruktur logistik yang lebih baik. “Kalau dipaksa tumbuh tinggi pakai stimulus fiskal dan moneter doang, bisa overheat: inflasi naik, rupiah melemah. Jadi harus ada reformasi struktural,” jelasnya. Tanpa itu, pertumbuhan hanya tinggi sesaat, tidak berkelanjutan.
“Fundamentalnya sekarang baik, stabil, manageable. Tapi untuk naik ke 7%–8%, ya perlu reformasi yang nyata. Fiskal dan moneter sekarang saling tarik-menarik biar enggak lepas kendali. Dan setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir, walau tumbuhnya enggak tinggi, stabilitasnya tetap terjaga,” ungkap Deni.