Penurunan Ekspor Tak Pengaruhi Cemerlang Surplus Neraca Dagang

Pada Oktober 2025, ekspor alami penurunan sementara impor alami kenaikan. Namun, neraca perdagangan masih tetap surplus, melanjutkan tren surplus 66 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Penurunan Ekspor Tak Pengaruhi Cemerlang Surplus Neraca Dagang
Foto udara areal Pelabuhan Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (4/11/2025). Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah/bar

Ekspor Oktober 2025 tercatat sebesar USD24,23 miliar menurun dibandingkan ekspor September 2025 USD24,67 miliar, sementara impor Oktober 2025 sebesar USD21,84 miliar meningkat dibandingkan September yang sebesar USD20,33 miliar. Surplus neraca perdagangan pun menurun menjadi USD2,39 miliar pada Oktober dari September yang sebesar USD 4,34 miliar. Namun kinerja ekspor-impor masih surplus untuk ke-66 kalinya secara berturut-turut sejak Mei 2020.

Namun, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2025 yang tetap naik 6,96% year-on-year (YoY) mencapai USD 234,03 miliar. Dengan, impor Januari-Oktober 2025 sebesar USD 198,16 miliar membuat neraca dagang tetap surplus.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini mencatat, sekalipun nilai ekspor migas tercatat turun 16,11% YyY menjadi Rp10,93 miliar, nilai ekspor nonmigas Indonesia mengalami kenaikan 8,42% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, mencapai USD 223,12 miliar. Peningkatan kumulatif di sektor pengolahan menjadi pendorong utama, dengan andil signifikan hingga 11,68% dari keseluruhan nilai ekspor nonmigas.

"Ekspor sektor industri pengolahan yang naik cukup besar antara lain minyak kelapa sawit, logam berat bukan besi, perhiasan, kimia dasar organik, serta semikonduktor dan komponen elektronik lainnya," jelas Pudji dalam Rilis Berita Resmi Statistik di Jakarta, Senin (01/12/2025).

Kecuali ekspor batubara yang turun 20,25% secara kumulatif, nilai ekspor komoditas besi dan baja serta crude palm oil sebagai komoditas unggulan nonmigas Indonesia mengalami kenaikan, masing-masing 12,12% dan 25,73%.

Tiga negara yang menjadi tujuan ekspor nonmigas utama Indonesia adalah Tiongkok sebesar USD 52,45 miliar dengan komoditas dominan besi dan baja; Amerika Serikat sebesar USD 25,56 miliar dengan mesin dan perlengkapan elektrik; serta India sebesar USD 15,32 miliar dengan bahan bakar mineral.

Sementara penurunan ekspor berhasil ditopang komoditas nonmigas, impor Indonesia tetap terkendali dengan prioritas pada barang modal. Dengan nilai total USD 171,61 miliar, impor barang modal menjadi penyumbang terbesar mencapai USD 40,55 miliar atau naik 18,67% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Barang modal impor tersebut mencakup impor mesin mekanik, mesin elektrik, serta kendaraan dan bagian-bagiannya.

"Perkembangan nilai impor komoditas utama memiliki andil 37,84% terhadap impor nonmigas. Impor mesin mekanik naik 7,43% menjadi USD 30,10 miliar, mesin elektrik naik 13,4% menjadi USD 25,73 miliar, dan kendaraan dan bagian-bagiannya naik 15,39% menjadi USD 9,10 miliar," jelas Pudji.

Dengan ekspor yang tetap ditopang dan impor yang terjaga, surplus neraca perdagangan terbesar terjadi dalam perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat, India, dan Filipina.

Sementara itu, defisit perdagangan terdalam terjadi dengan Tiongkok, Australia, dan Singapura. Komoditas penyumbang surplus mencakup lemak/minyak hewani dan nabati, bahan bakar mineral, serta besi dan baja, sedangkan komoditas penyumbang defisit adalah mesin mekanis, mesin elektrik, dan barang plastik.

"Komoditas ekspor dengan penurunan terbesar adalah bahan bakar mineral, yakni 19,04% dan komoditas biji logam serta tembaga nilainya turun 43,72%. Ekspor konsentrat biji tembaga mengalami penurunan signifikan, baik secara tahunan maupun kumulatif karena pelarangan sejak awal tahun ini. Tercatat tidak ada ekspor biji tembaga, sementara secara kumulatif, nilainya turun 39,44% dan volumenya turun 41,67%," ucapnya.

Dengan kenaikan surplus USD 10,98 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Pudji menegaskan, variasi harga komoditas menjelang akhir tahun akan terus memengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia. Kenaikan ekspor dari sektor pengolahan menegaskan, industri manufaktur tetap memegang peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk Indonesia.

Kebijakan menentukan

Terlepas dari faktor fluktuasi harga yang menentukan kinerja ekspor Indonesia, kebijakan pemerintah khususnya di bidang distribusi dan logistik juga sangat menentukan keberlanjutan ekspor dan arus barang keluar dari Indonesia. Pelaku ekspor memerlukan dukungan penuh pemerintah agar di tengah upaya bertahan, kebijakan pemerintah dapat memudahkan, bukan menghambat, kerja-kerja ekspor komoditas ke luar negeri.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Benny Soetrisno menegaskan, berbeda dengan pengiriman barang domestik yang dapat ditunda, kinerja produk ekspor dalam menembus pasar mancanegara ditentukan jadwal keberangkatan kapal dan ketentuan kontrak dagang yang ketat. Apabila barang terlambat masuk ke pelabuhan, eksportir menghadapi risiko biaya tambahan hingga pembatalan transaksi.

"Kita menyesuaikan jadwal kapal laut yang akan mengangkut barang kita. Kalau ditimbul di pelabuhan, kita bisa kena biaya demurrage, harus mengurus perubahan letter of credit, bahkan buyer bisa menolak memperpanjang kontrak karena harga barang yang dipesan telah merosot," ujar Benny.

Baca juga:

Peta Perdagangan 2026 Masih Dibayangi Tarif Trump
Kinerja perdagangan Indonesia tahun 2026 masih akan dibayangi tarif Trump, atau dikenal dengan istilah ‘Trump2.0’

Untuk memastikan kinerja ekspor Indonesia tetap dapat bertahan di tengah perdagangan internasional yang kompetitif, Benny mengharapkan agar pemerintah menerapkan pengaturan yang lebih fleksibel, antara lain dengan memperolehkan pengoperasian truk di jalan arteri atau hanya pada malam hari di saat jadwal mudik Natal dan Tahun Baru.

"Keterlambatan pengiriman barang industri tidak hanya berdampak pda eksportir, tetapi juga kinerja ekonomi nasional keseluruhan. Kapal tetap berjalan sesuai schedule mereka, tidak menghitung ada liburan di Indonesia atau tidak," tegasnya.

Di samping dukungan kebijakan pemerintah yang sangat menentukan, kinerja ekspor Indonesia juga sangat dipengaruhi kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat yang masih bertahan.

Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan, ekspor nonmigas yang meningkat ke AS hanyalah efek sesaat dari aktivitas front-loading dan merupakan gambaran artifisial ketimbang dorongan fundamental.

"Selain dampak penurunan ekspor, kebijakan tarif sudah terlihat juga membawa efek kenaikan impor, terutama impor dari Tiongkok yang diperkirakan semakin tinggi seiring upaya diversifikasi pasar keluar dari AS. Tiongkok juga berkepentingan menyelesaikan masalah kelebihan output industri manufaktur yang tidak terserap karena melemahnya konsumsi rumah tangga domestik," jelas Faisal.

Dengan memperhatikan kenaikan ekspor dari industri pengolahan, naiknya harga kelapa sawit dan minyak kelapa, Faisal menekankan bahwa kinerja ekspor keduanya perlu dipertahankan seiring naiknya permintaan, meski Indonesia juga perlu memperhatikan keterpenuhan pasokan domestik.

"Pertumbuhan ekspor akan sedikit tertahan akibat implementasi penuh kebijakan tarif resiprokal. Di sisi lain, harga komoditas sawit berpotensi naik, sekalipun Indonesia tidak akan sepenuhnya melepas sawit ke pasar global untuk mendukung kebijakan B50 di dalam negeri. Surplus tetap ada, tetapi akan menyempit di tahun depan," pungkasnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional