Sejumlah pengusaha dan pakar mengingatkan pemerintah agar rencana redenominasi rupiah tidak sampai memicu inflasi, menandai babak baru isu redenominasi yang kembali muncul dalam beberapa hari belakangan ini.
Kementerian Keuangan Indonesia pada Sabtu (8/11) menyatakan sedang merencanakan Rancangan Undang-Undang (RUU) baru untuk redenominasi rupiah dalam upaya meningkatkan efisiensi ekonomi, menjaga stabilitas, dan meningkatkan kredibilitas mata uang.
Penyusunan RUU Redenominasi ditargetkan rampung pada 2027 di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb).
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono Prijosoesilo menekankan agar pemerintah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan tersebut, karena adanya potensi para pengusaha untuk menaikkan harga produk eceran maupun grosir dengan pembulatan ke atas.
"Contoh, apabila harga produk minuman nilainya Rp4.500, maka kemungkinan akan ada pembulatan ke atas, menjadi Rp5. Secara esensi, ini berpotensi menimbulkan inflasi, sehingga malah menurunkan daya beli masyarakat," ucap Triyono saat dihubungi SUAR, Senin (10/11/2025).
Agenda tersebut termaktub sebagai Rancangan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029 yang ditetapkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 10 Oktober 2025.
Kementerian Keuangan mengemukakan empat pertimbangan sebagai urgensi redenominasi. Pertama, efisiensi perekonomian melalui peningkatan daya saing nasional. Kedua, menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional. Ketiga, menjaga stabilitas nilai rupiah sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat. Keempat, meningkatkan kredibilitas rupiah.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menyatakan, redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit rupiah tanpa mengurangi daya beli dan nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Selain efisiensi dan kredibilitas, Denny menegaskan bahwa redenominasi merupakan upaya mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional.
Denny menyatakan, Bank Indonesia menjamin proses redenominasi direncanakan secara matang dan melibatkan koordinasi erat seluruh pemangku kepentingan, khususnya sesudah agenda ini memasuki Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah Tahun 2025-2029.

Bank Indonesia bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya akan melakukan pembahasan tentang proses redenominasi beserta pelaksanaannya di lapangan.
"Implementasi redenominasi tetap mempertimbangkan waktu yang tepat, dengan memperhatikan stabilitas politik, ekonomi, sosial, serta kesiapan teknis termasuk hukum, logistik, dan teknologi informasi. BI akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi selama redenominasi berlangsung," jelas Denny dalam pernyataan tertulis, Senin (10/11/2025).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan redenominasi rupiah akan berdampak pada inflasi sehingga diperlukan pembahasan lebih lanjut.
“Pastinya akan berdampak pada inflasi, dan perlu pembahasan lebih lanjut mengenai redenominasi rupiah ini,” ujar dia ketika ditemui di kantornya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta (10/11).
Nilai sen
Triyono Prijosusilo dari ASRIM menambahkan, terlepas dari klaim efisiensi dan modernisasi sistem pembayaran yang disampaikan pemerintah, terdapat sejumlah dampak redenominasi rupiah yang dapat berpengaruh terhadap dunia usaha, khususnya pengusaha ritel.
Pelaku usaha perlu berjaga-jaga untuk menghadapi kemungkinan terjadinya inflasi yang tidak diperlukan akibat terjadinya pembulatan harga ke atas, hingga dampak terhadap daya beli.
"Salah satu kemungkinan yang dapat diantisipasi pemerintah untuk mencegah terjadinya pembulatan harga ke atas adalah dengan penetapan nilai sen (per seratus), yang memungkinkan uang rupiah memiliki pecahan untuk membayar desimal," kata dia.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, yang melihat kebijakan ini tetap memiliki dampak positif.
"Redenominasi ini sesuatu yang positif, hanya saja keperluan teknis seperti pembulatan perlu dipikirkan, apakah di harga barang nanti, nolanya hanya hilang dua, satu, atau hilang semua. Artinya, dari Rp1.000 yang jadi Rp1, misalnya, harus ada pecahan untuk untuk 10, 20, dan 50 sen," cetus Budihardjo saat dihubungi.

Rencana pengurangan angka nol pada mata uang rupiah sejatinya telah dibahas dalam beberapa tahun terakhir.
Terakhir kali, pada tahun 2013, pemerintah mengajukan rancangan undang-undang ke DPR . Pemerintah mengusulkan pengurangan tiga angka nol pada uang kertas rupiah, tetapi rancangan tersebut ditangguhkan.
Di luar persoalan teknis tersebut, Presiden Direktur Marco Group tersebut menilai redenominasi mempunyai dampak signifikan yang mampu meningkatkan kepercayaan diri bangsa Indonesia terhadap rupiah yang tidak memiliki nol terlalu banyak.
Sebagai pengusaha ritel, Budihardjo justru merasa redenominasi akan membantu pencatatan harga ritel, terutama berkaitan price tag yang terbatas.
"Kami di ritel juga kesulitan kalau menjual barang dengan harga Rp10.000.000, itu seringkali kekurangan price tag. Nah, selama ini kami seringkali tidak mencantumkan harga sepuluh juta rupiah, tetapi Rp10.000K, dengan tiga nol terakhir di belakang terpaksa dihilangkan," ungkapnya.

Ekstra hati-hati
Dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi akibat redenominasi, pemerintah tak hanya perlu mempersiapkan rencana secara matang dan terukur, melainkan juga memperhitungkan peluang kegagalan dan keberhasilan, serta memitigasi risiko tersebut dengan memperpanjang jangka waktu implementasi. Redenominasi bukanlah sesuatu yang amat mendesak, betapapun momentum yang tersedia memungkinkan hal tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengingatkan, Indonesia perlu melihat pengalaman redenominasi yang berujung kegagalan, seperti pernah terjadi di Brasil pada 1986, 1989, dan 1993 dan di Ghana pada 2007.
Di negeri Samba, sosialisasi redenominasi yang kurang matang menyebabkan inflasi melonjak hingga 48% per bulan pada Juni 1994, sementara di Ghana, inflasi naik hingga 5% pada 2008 setelah redenominasi.
"Persiapan tidak bisa 2-3 tahun, tetapi 8-10 tahun, yang berarti 2035 adalah waktu minimum implementasi redenominasi. Perlu masa transisi persiapan nominal uang baru, hingga penukaran uang lama di BI atau kantor-kantor cabang pembantu bank umum. Kalau pembahasan RUU ditargetkan selesai 2027, itu terlalu singkat dan bukan waktu yang tepat," jelas Bhima kepada SUAR, Senin (10/11/2025).
Praktik pembulatan ke atas, menurut Bhima, akan menjadi hal yang pasti akan terjadi pertama-tama. Sebagai contoh, sebagai efek redenominasi barang seharga Rp9.000, maka barang tersebut akan dijual Rp10, alih-alih Rp9. Secara teoretis, praktik opportunistic rounding ini menjadi langkah untuk mempertahankan margin saat proses transisi menuju harga uang baru.
Namun, saat praktik itu terjadi jamak, maka inflasi dapat melemahkan daya beli masyarakat, padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang konsumsi rumah tangga sebagai motor utama, dan pemerintah menetapkan target pertumbuhan ambisius mencapai 8% pada 2029, atau dua tahun setelah RUU redenominasi rampung. Tingginya risiko akibat redenominasi yang tergesa-gesa dapat memicu efek samping yang tidak dikehendaki.
"Penguatan rupiah bukan dengan redenominasi, tetapi dengan perbaikan faktor fundamental seperti peningkatan kinerja ekspor nonkomoditas, menurunkan biaya logistik, meningkatkan daya saing SDM dan inovasi, serta kebijakan pajak yang berpihak terhadap kelas menengah," tegas Bhima.
Di samping langkah-langkah makroekonomi tersebut, Bhima menambahkan, sosialisasi menjadi aspek yang sangat menentukan keberhasilan redenominasi, terutama karena lebih dari 90% transaksi di Indonesia masih menggunakan uang tunai, meski pemanfaatan QRIS dan transaksi digital meningkat. Belum lagi memperhitungkan tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia yang perlu dioptimalkan.
"Celah-celah sosialisasi yang tidak berhasil bisa menyebabkan kebingungan administrasi, terutama pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang harus disesuaikan pembukuannya. Belum lagi penukaran uang tunai dengan nominal baru yang juga kompleks dan menyebabkan orang harus antre di bank," tutupnya.
Pengamat Ekonomi Indef Eko Listiyanto menuturkan beberapa manfaat dari redenominasi rupiah adalah meredam inflasi yang tinggi. Jika inflasi terlalu tinggi, maka nilai mata uang akan terus menurun dan menyebabkan harga barang dan jasa yang terus naik. Dengan redenominasi, nilai mata uang dapat dikurangi sehingga inflasi dapat ditekan.
“Nilai mata uang yang terlalu tinggi dapat membuat transaksi menjadi rumit karena harus menggunakan pecahan yang kecil. Dengan redenominasi, nilai mata uang akan lebih kecil sehingga lebih mudah untuk melakukan transaksi,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (10/11).
Di Indonesia, inflasi sudah terkendali dan tidak terlalu tinggi, sehingga tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan redenominasi rupiah. "Selain itu, redenominasi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, terutama untuk mencetak uang baru dan menyesuaikan sistem keuangan dan bisnis yang ada," kata dia.