Pengaturan Kerja Leluasa Tingkatkan Produktivitas Orang Tua Bekerja

Institute for Fiscal Studies (IFS) tahun 2023 yang mengungkapkan hilangnya rata-rata 4 hari per pekerja per tahun karena tanggung jawab merawat keluarga memiliki kerugian setara 1,7% total beban penggajian perusahaan.

Daftar Isi

Di antara berbagai faktor yang memengaruhi produktivitas pekerja, kewajiban mengurus dan merawat anggota keluarga rentan, baik anak-anak maupun lansia, merupakan salah satunya. Untuk itu, pengaturan kerja leluasa dapat menjadi salah satu kiat, di samping penyediaan sarana penitipan anak (daycare). Keberhasilan SMBC Indonesia menciptakan pengaturan kerja leluasa menjadi contoh sukses peningkatan produktivitas yang selaras dengan kesejahteraan pekerja.

Kiat-kiat tersebut terungkap dalam dialog publik "Flexible Working Arrangement untuk Mendukung Produktivitas Orang Tua Bekerja" memperingati International Day of Care and Support 2025 yang diselenggarakan Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Rabu (29/10/2025).

Wakil Ketua Bidang Pembangunan Berkelanjutan Apindo Nurdiana Darus menegaskan, diskusi tentang orang tua bekerja (working parent) sangat relevan dalam konteks Indonesia, mengingat tanggung jawab perawatan keluarga saat ini menjadi faktor yang membatasi mobilitas dan produktivitas pekerja, khususnya perempuan. Ini terlihat dari tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja yang masih berada di angka 56,7% menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2025.

Menurut Nurdiana, dampak berkurangnya produktivitas pekerja dengan tanggung jawab perawatan keluarga sangat nyata bagi pekerja, perusahaan, bahkan negara. Head of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia itu melansir penelitian Institute for Fiscal Studies (IFS) tahun 2023 yang mengungkapkan hilangnya rata-rata 4 hari per pekerja per tahun karena tanggung jawab merawat keluarga memiliki kerugian setara 1,7% total beban penggajian perusahaan.

"Jika 1,7% ini dikalikan PDB, ini adalah loss opportunity juga untuk negara kita. Dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang masih stagnan, Indonesia kehilangan potensi separuh populasi produktifnya," ucap Nurdiana.

Pengaturan kerja leluasa, menurut Nurdiana, menjadi salah satu kunci menjawab tantangan menyeimbangkan tanggung jawab keluarga dan karier tanpa mengorbankan produktivitas, terutama dengan ketersediaan sejumlah kerangka legal-normatif yang memberikan dukungan untuk kebijakan tersebut.

"Sudah ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mengharuskan perusahaan memiliki daycare, tetapi implementasinya di lapangan membutuhkan kolaborasi lebih lanjut agar perusahaan dari berbagai skala dapat berkontribusi secara optimal, menciptakan ekosistem kerja yang inklusif, produktif, dan meningkatkan daya saing kita," tutupnya.

Landasan kuat

Celah-celah dalam regulasi ketenagakerjaan dapat ditengarai sebagai salah satu penyebab ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajiban penyediaan prasarana daycare lingkungan kantor. Karena itu, selain menutup celah untuk mangkir, pengkinian aturan menjadi faktor krusial agar pengaturan kerja leluasa memiliki dasar hukum eksplisit.

Staf Ahli Direktorat Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Angga Yudha Zunivar menyatakan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tentang fasilitas kesejahteraan berupa tempat penitipan anak. Adapun UU mengatur tempat itu menyesuaikan kemampuan perusahaan dan kebutuhan pekerja. Hal ini menjadi celah perusahaan untuk mengabaikan aturan tersebut.

"Saat ini, kami bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO) untuk menyempurnakan panduan standar fasilitas tempat penitipan anak, dengan memberikan alternatif tidak hanya sarana fisik, tetapi juga kebijakan atau program yang dapat dipilih berdasarkan kemampuan dan kebutuhan pekerja, termasuk pengaturan kerja leluasa," ujar Angga.

Selain fasilitas penitipan anak, terdapat sejumlah dasar hukum sebagai landasan proposal pengaturan kerja leluasa, mulai dari Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan lbu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

"Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024, setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan waktu yang cukup untuk kepentingan terbaik bagi anak dengan fleksibilitas untuk bisa mendapatkan kebebasan dan keleluasaan, dengan penyesuaian tetap memperhatikan capaian kinerjanya. Waktu yang cukup ini dapat diatur di dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan," jelasnya.

Diskresi, bukan manfaat

Dengan landasan hukum yang kuat, pengalaman menyusun pengaturan kerja leluasa merupakan eksperimen yang menggabungkan kiat menciptakan suasana kerja yang produktif seraya mempertahankan retensi pegawai. Strategic Human Resource Manager Bank SMBC Indonesia Denty Avianty menjelaskan, fleksibilitas merupakan salah satu daya tarik yang ditawarkan SMBC untuk karyawan muda.

"Kami menciptakan program Flexi-Style dan membentuk divisi Diversity and Inclusion (D&I) untuk menghadirkan suasana kerja yang inklusif. Yang terpenting adalah trust dari manajemen untuk memulai pengaturan kerja leluasa yang kami namakan Flexi-Hours, Flexi-Style, dan Flexi-Location," ujar Denty.

Dengan meluncurkan proyek Digital Working Life and Flexi-Office in New Normal pada 2020, SMBC Indonesia menggunakan tools khusus untuk mengatur sistem check-in dan check-out pegawai, mengatur sistem yang dapat diakses dari rumah, serta bekerja sama erat dengan divisi manajemen risiko sehingga proyek tersebut menjadi tanggung jawab korporasi, bukan hanya Departemen SDM.

Selain mengatur presensi karyawan dengan aplikasi khusus, SMBC juga menetapkan aturan response time ketika ditelepon dan menerima surel maksimal 30 menit setelah diterima. Menurut Denty, ketentuan ini kemudian dihilangkan karena kesadaran bahwa tanpa kepercayaan manajemen terhadap performa karyawan di luar kantor, sistem fleksibel tidak akan berjalan secara optimal.

"Selain komunikasi, kami juga melakukan banyak kampanye untuk mengingatkan karyawan soal do's and dont's, membuat survei secara verbal maupun sistemik secara tahunan untuk memastikan teknologi berjalan sesuai, fleksibilitas tidak memengaruhi performa, dan pegawai tetap on-track," cetusnya.

Denty mengungkapkan, formula 1+4, yaitu 1 hari work from office (WFO) dan 4 hari work from home memiliki dampak turunnya turnover rate secara signifikan, meningkatkan retensi karyawan, menjaga work-life balance, serta menekan emisi dari operasional kantor. Dengan pemantauan terukur, Flexi-Location memungkinkan karyawan bekerja dari rumah dengan indikator khusus untuk memastikan efektivitasnya.

"Untuk mengatur pekerjaan fleksibel butuh mekanisme yang sangat rinci. Di SMBC, Flexi-Work tetap formal, disetujui, dan merupakan diskresi dari manajemen yang bisa dicabut sewaktu-waktu. Atasan tetap memiliki otoritas untuk meminta anak buahnya datang ke kantor. Ketika karyawan WFH, bukan berarti dia bisa semau-maunya dan pergi ke mana-mana," tegas Denty.

Baca juga:

Menengahi Aspirasi Buruh dan Dunia Usaha di Rencana Revisi UU Ketenagakerjaan
Rapat panja RUU Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, Selasa (23/9/2025) membuka peluang revisi Undang-Undang terkait Ketenagakerjaan. Bagaimana aspirasi kalangan buruh dan pengusaha?

Betapapun kebijakan tersebut menjadi idaman yang membuat karyawan bank lain cemburu, Denty tidak memungkiri adanya berbagai tantangan yang harus dihadapi bagian SDM dalam menyusun mekanisme kerja fleksibel tersebut, mulai dari keputusan yang tertunda, perbedaan standar dan jadwal kerja antardepartemen, hingga karyawan yang kurang bertanggung jawab.

"Berulang kali kami menegaskan kepada karyawan untuk selalu stand by dan siap datang ke kantor, karena ini bukan benefit, melainkan privilese dan diskresi manajemen, serta tidak ada dalam perjanjian kerja, sehingga fleksibilitas juga perlu dimonitor secara ketat," tukasnya.

Batas yang jelas

Selain mekanisme internal, dampak pengaturan kerja leluasa bagi karyawan adalah kebutuhan untuk memberikan batasan jelas antara pekerjaan dan keluarga dalam arti ruang maupun waktu. Sebagai seorang ibu bekerja, Benefits and Performance Manager SMBC Indonesia Tiara Ardwi Saputri menganggap hal tersebut sebagai sisi lain dari privilese yang dia peroleh sebagai karyawan.

"Tanpa fasilitas daycare atau tunjangan, pengaturan kerja leluasa pun sudah menjadi privilese yang cukup besar. Teman-teman saya yang mengurus rumah tangga pun heran bagaimana saya bisa tetap bekerja dari rumah, sambil mengurus anak dan mertua. Walau juga ada tantangan kalau orang rumah bertanya, apakah kita benar-benar kerja," kisah Tiara dengan tawa berderai.

Sisi lain pengaturan kerja leluasa itu adalah jam kerja yang dapat menjadi lebih panjang dan online meeting yang dapat berlangsung terus-menerus, selain juga anak-anak yang bisa menginterupsi di tengah pekerjaan yang mendesak atau rapat penting. Menyekolahkan anak ke PAUD menjadi siasat Tiara dan pasangan untuk memberikan waktu pagi dan siang hari bekerja secara optimal dari rumah.

"Karena tidak semua perusahaan menerapkan kebijakan sama, apalagi suami bekerja WFO, semua yang terjadi di rumah tetap harus saya urus. Semuanya dibebankan ke saya karena saya punya privilese kerja dari rumah. Sisi tidak enaknya harus bolak-balik izin atau merelakan hari-hari tertentu untuk bekerja," ungkapnya.

Memahami kebutuhan seperti itu, Denty Avianty menambahkan bahwa SMBC menyediakan parenting club yang melaksanakan seminar sesi kesehatan anak dan Mother Support Group yang berkumpul secara reguler untuk memfasilitasi ibu-ibu muda berbagi kisah dan pengalaman.

"Selain keleluasaan kerja, kami juga menyediakan banyak support system untuk membantu karyawan agar tidak hanya produktif, tetapi juga memiliki ruang aman berbagi cerita dan memperoleh pengayaan psikologis, sosial, maupun ekonomis melalui employee assistance program," pungkas Denty.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional