Pemimpin yang Punya Intensi Lebih Siap Hadapi Ketidakpastian Bisnis

"Investasi terbesar adalah menciptakan lingkungan belajar yang tidak pernah berhenti, sebagai survival currency di dunia yang terus berubah,"

Daftar Isi

Ketidakpastian dunia masa kini menuntut setiap organisasi tidak hanya dipimpin oleh orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas, melainkan juga sadar arah dan tujuan lembaga.

Tanpa visi dan misi yang rumit, pemimpin yang memberi contoh dan mau mendengar bisa membantu tim tetap berjalan ke arah yang benar menuju target, demikian hasil seminar International Test Center (ITC) Leadership Conclave 2025, Kamis (16/10/2025).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menjelaskan, kepemimpinan intensional (intentional leadership) adalah jenis kepemimpinan yang mampu menavigasi ketidakpastian dengan kesadaran nilai, arah, dan tujuan strategis, bukan sekadar intuisi. Ketiganya harus lengkap, sebab tanpa kompas nilai, arah itu bisa saja menyesatkan.

"Pemimpin yang sadar arah tidak hanya mengandalkan kesigapan reaksi, tetapi juga memiliki north star, panduan yang menentukan arah ketika visibilitas turun. Nilai-nilai tersebut membantu pemimpin untuk menentukan: apakah keputusan itu memperkuat dalam jangka panjang, strategis, atau hanya memadamkan kebakaran," ucap Shinta dalam pidatonya.

CEO Sintesa Group itu menyatakan, dengan prinsip kepemimpinan intensional, organisasi apapun akan memiliki resiliensi by design, bukan sekadar kebetulan. Pemimpin intensional mengetahui ketegasan arah lebih penting daripada kecepatan reaksi, mampu membangun sistem yang mencegah krisis dan bukan hanya mengaturnya, serta memiliki kejelasan strategis (strategic clarity), bukan hanya stabilitas.

Praktik kepemimpinan modern, menurut Shinta, akan fokus berinvestasi pada modal manusia yang produktif, serta menyadari bahwa di balik setiap mesin dan algoritma, ada manusia yang jangan sampai dilupakan. Karenanya, kepemimpinan intensional juga bermakna sebagai kepemimpinan yang memahami bahwa bisnis tidak hanya harus profitable, tetapi juga bertanggung jawab atas nilai-nilai yang diciptakannya.

"Dalam turbulensi saat ini, krisis sesungguhnya adalah panggilan kesadaran dari reaction menuju redirection. Gangguan merupakan navigasi mencapai makna yang lebih besar. Dunia usaha tidak akan pernah kembali stabil, tetapi di tengah ketidakpastian, kita menemukan stabilitas baru yang lahir dari kejelasan purpose, bukan hanya predictability," ujar dia.

Tak terhindarkan

Kualifikasi seorang pemimpin yang memiliki intensi tidak pertama-tama diukur dari kemampuannya untuk mengambil keputusan di tengah krisis semata, melainkan juga memahami hakikat transformasi secara terus-menerus. Dalam dunia yang semakin kehilangan makna, kepemimpinan intensional akan memastikan transformasi tak terhindarkan.

"Selama 34 tahun saya berbisnis, saya bertransformasi minimum 34 kali. Apakah bisnis saya sekarang sama dengan 34 tahun lalu, jelas tidak. Uncertainty adalah formula dasar leadership. Kalau semua certain, Anda tidak perlu leader, Anda hanya perlu manager," ujar Sakti Makki, co-founder MakkiMakki dan konsultan transformasi strategis.

Berkaca dari pengalamannya membantu berbagai perusahaan untuk bertransformasi, dia menemukan hanya 1% perusahaan yang berhasil melakukan transformasi secara holistik. Sementara itu, 99% perusahaan lain hanya menyusun berlembar-lembar dokumen strategi yang kemudian masuk laci dan hanya dikeluarkan jika perlu.

Padahal, alih-alih dokumen strategi panjang-lebar dan visi-misi yang terlalu rumit, kepemimpinan intensional dapat mendorong transformasi dengan kesadaran pada tiga aspek: jurusan (direction), disrupsi, dan komunikasi. Aspek terpenting, menurut Makki, adalah disrupsi yang membuat sebuah organisasi berjalan secara dinamis.

"Disrupsi memastikan organisasi Anda tidak melakukan hal yang sama berulang-ulang. Jika Anda tidak mendisrupsi sendiri, maka perusahaan kompetitorlah yang akan mendisrupsi bisnis Anda," tegasnya.

Di samping itu, komunikasi menjadi aspek yang memungkinkan kedua aspek sebelumnya tersampaikan. Walau sederhana, tidak banyak pemimpin yang menyadari bahwa komunikasi memiliki tiga tingkatan: komunikasi informatif yang menyampaikan satu arah; komunikasi dialogis yang memastikan lawan bicara mendengarkan; dan komunikasi engagement yang mencapai tukar pikiran.

"Dari ketiga tingkat itu, yang dibutuhkan adalah engagement, tetapi yang selalu dilaksanakan justru hanya informative, kasih instruksi, selesai. Padahal, kalau kita hanya mengomunikasikan satu arah, tidak ada kultur yang dibangun, padahal panduan dasar komunikasi adalah kesamaan nilai dan kultur," ujar Makki.

Melewati krisis, terus belajar

Pengalaman menempa dan membentuk kepemimpinan intensional merupakan tantangan tersendiri. Tidak hanya memiliki kecakapan untuk melaksanakan tugas-tugasnya sendiri, melainkan juga harus memastikan bahwa latar belakang budaya yang dimilikinya tidak menghambat kemajuan.

Direktur Sumber Daya Manusia Pertamina International Shipping (PIS) Dewi Kurnia Salwa mengungkapkan, di perusahaannya, pembentukan kepemimpinan intensional dapat dilihat dari setiap krisis yang dialami.

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang transportasi migas, PIS menyadari bahwa masalah teknis maupun nonteknis dapat muncul sewaktu-waktu. Itu sebabnya, setiap unit PIS mempunyai crisis center dipastikan tersedia untuk diaktifkan setiap kali timbul masalah.

Salah satu pengalaman empiris Dewi adalah saat harga minyak dan gas bumi melonjak pada awal 2022 sewaktu Perang Rusia-Ukraina baru saja pecah. Perang tersebut terjadi ketika seluruh dunia baru saja memasuki awal pemulihan pandemi, termasuk Indonesia. Di saat-saat genting seperti itu, Dewi menyaksikan kepemimpinan yang solid membantu PIS tetap bertahan.

"Belakangan saya menemukan suatu penelitian yang membandingkan kepemimpinan sebelum dan sesudah pandemi, performa leader setelah pandemi terbukti lebih bagus. Bisa jadi ini membuktikan keunggulan intentional leadership, yaitu pemimpin membaca data sebelum mengambil keputusan sehingga dia tahu tujuan dan akibatnya," kisah Dewi.

Di samping kecakapan dan kemampuan memimpin di tengah krisis, seorang pemimpin perlu memiliki kompetensi teknis tentang seluruh bidang yang dikerjakannya. Kecakapan kepemimpinan tidak akan berarti jika pemimpin itu tidak memahami seluk-beluk paling detail dan rumit sebelum mengambil keputusan.

"Pelatihan kepemimpinan dan kompetensi teknis itu ditanamkan bersamaan agar keduanya saling melengkapi," cetusnya.

Shinta W. Kamdani mengapresiasi cara kerja PIS itu. Menurutnya, membentuk suatu ekosistem upskilling yang memastikan setiap pekerja memiliki kapasitas kepemimpinan di dalam dirinya. Dengan itu, setiap pekerjaan tidak hanya dipegang oleh orang-orang yang terlatih dan siap kerja, tetapi juga tangguh dan memiliki kontribusi yang jelas.

"Investasi terbesar adalah menciptakan lingkungan belajar yang tidak pernah berhenti, sebagai survival currency di dunia yang terus berubah. Kita ingin melahirkan pekerja yang memberikan makna bahwa profesi bukan sekadar posisi, tetapi kontribusi. Teknologi mampu menggantikan pekerjaan, tetapi tidak akan pernah menggantikan tujuan," ungkapnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional