Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang untuk menjadikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final bagi pelaku UMKM sebesar 0,5% sebagai kebijakan permanen. Saat ini, tarif PPh final 0,5% sudah diperpanjang hingga 2029 bagi UMKM dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun. PPh yang kecil dibutuhkan pelaku UMKM untuk meringankan beban.
Dalam jumpa pers dengan wartawan di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (14/11/2025), Purbaya menegaskan peluang itu hanya dapat dipertimbangkan jika pelaku usaha menunjukkan kepatuhan penuh dalam melaporkan omzet.
Pemerintah tidak akan mempertahankan insentif ini bila masih terjadi upaya menghindari kewajiban pajak. Purbaya menekankan disiplin pelaporan menjadi syarat utama sebelum keputusan diambil.
Purbaya menyoroti praktik memecah usaha agar omzet tetap berada di bawah batas Rp4,8 miliar per tahun. Dia mengingatkan agar tidak ada manipulasi omzet demi mendapatkan beban pajak yang lebih ringan.
Tarif 0,5% ini, kata dia, hanya layak diterapkan pada UMKM yang benar-benar berada dalam kategori tersebut.
“Kalau betul-betul mereka enggak ngibul-ngibul, harusnya sih enggak apa-apa dipermanenkan,” ucapnya.
Pemerintah akan memantau perkembangan selama dua tahun ke depan untuk melihat bagaimana aturan ini berjalan di lapangan. Purbaya menilai evaluasi ini penting untuk memastikan insentif tidak dipakai oleh usaha yang sebenarnya sudah masuk kategori lebih besar.
Dia juga ingin memastikan skema tarif final tidak membuat pelaku usaha enggan berkembang. Keputusan lebih lanjut baru akan dipertimbangkan setelah proses penilaian selesai.
Saat ini, tarif PPh final 0,5% sudah diperpanjang hingga 2029 bagi UMKM dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun. Purbaya menyampaikan aturan teknis terkait kebijakan ini masih dirapikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Proses penyempurnaan itu belum selesai dan akan mendorong percepatannya. Pemerintah berharap aturan yang lebih jelas dapat memudahkan pelaksanaan di lapangan.
Purbaya juga membuka kemungkinan perpanjangan insentif bagi wajib pajak orang pribadi setelah 2029. Dia mengatakan kajian internal mengenai hal itu masih berlangsung dan belum memiliki target waktu penyelesaian. Menurutnya, peluang perpanjangan tetap terbuka selama tidak ada upaya pelaku usaha untuk mengakali batas omzet. Pemerintah ingin memastikan fasilitas pajak ini diterima oleh mereka yang benar-benar berhak.
Pajak ringan masih dibutuhkan
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menilai kebijakan PPh final 0,5% masih dibutuhkan oleh pelaku UMKM. Menurutnya keputusan pemerintah mempertahankan tarif tersebut hingga 2029 memberikan kepastian bagi usaha kecil dalam kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Seluruh pelaku usaha tetap memiliki kewajiban berkontribusi bagi negara, tetapi tarif 0,5% merupakan bentuk keringanan yang tepat untuk saat ini. “Kita harus bersyukur,” ujarnya.
Edy juga mengingatkan kebijakan pajak pada dasarnya tidak bersifat tetap. Dia menjelaskan besaran tarif akan kembali dievaluasi sesuai situasi dan kemampuan negara setelah 2029. Menurutnya, tarif bisa naik atau turun tergantung perkembangan ekonomi sehingga wacana permanen belum perlu disimpulkan sekarang. “Tidak ada kebijakan pemerintah yang selamanya,” katanya.
Terkait kekhawatiran pemerintah soal praktik memecah usaha untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi, Edy mengakui hal itu memang terjadi tetapi hanya dilakukan oleh sebagian kecil pelaku usaha.
Dia meminta agar kasus itu tidak dijadikan gambaran umum perilaku UMKM secara keseluruhan. Menurutnya, pelaku usaha yang terbukti memanipulasi omzet harus ditindak sesuai aturan. “Ada datanya tidak? Jangan digeneralisasi,” ujarnya.
Baca juga:

Edy menegaskan pengawasan terhadap kepatuhan pajak berada di tangan pemerintah sebagai otoritas yang memiliki perangkat dan sumber daya untuk melakukannya. Dia mencontohkan Akumindo tidak memiliki aparat pengawas sehingga peran asosiasi difokuskan pada edukasi dan pendampingan kepada para pelaku UMKM.
Edy mendorong pelaku usaha untuk memahami risiko dan konsekuensi hukum jika mengakali aturan perpajakan. Sikap jujur dan bertanggung jawab, kata Edy, menjadi kunci agar kebijakan PPh final 0,5% tetap bermanfaat bagi UMKM yang berhak.
Pajak ringan
Sementara itu, ketua umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny menilai wacana permanennya tarif PPh final 0,5% harus dibarengi dengan sosialisasi yang jelas kepada pelaku usaha. Hermawati mengungkapkan banyak pelaku mikro belum memahami tarif itu hanya berlaku bagi omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Menurutnya, penegasan batas omzet penting agar pelaku mikro tidak panik atau salah menangkap informasi. Dia meminta pemerintah memastikan komunikasi berjalan terbuka dan tidak menimbulkan ketakutan baru di kalangan usaha kecil.
Hermawati menilai beban terbesar bagi pelaku UMKM justru berasal dari PPN yang memengaruhi biaya produksi dan konsumsi sehari-hari. Pelaku usaha menanggung PPN pada berbagai lini pengeluaran, termasuk pembelian bahan baku dan kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, kenaikan harga yang terus terjadi membuat tekanan itu semakin berat dibanding tarif PPh final. “PPN di Indonesia itu paling tinggi dibandingkan negara lain,” ujarnya.
Hermawati mengingatkan agar wacana perpajakan tidak berhenti sebagai pernyataan yang bersifat menarik sentimen positif. Hermawati mengatakan pelaku UMKM ingin melihat implementasi nyata dari pemerintah, bukan sekadar wacana yang berubah-ubah.
Hermawati menambahkan, pelaku usaha kecil selama ini sering terkena dampak penegakan aturan, sementara pelaku besar yang melanggar cenderung tidak tersorot. Dia berharap konsistensi kebijakan dapat diperkuat agar UMKM tidak selalu menjadi pihak yang paling rentan dalam penegakan pajak.
Terkait praktik pengaturan omzet, Hermawati menyampaikan pelaku usaha kecil sangat jarang melakukan hal itu. Kondisi persaingan yang semakin ketat membuat pelaku mikro sulit memanipulasi omzet untuk menghindari tarif pajak.
Menurutnya, tindakan seperti itu lebih sering dilakukan oleh pelaku usaha besar yang mencoba turun kelas agar mendapat tarif lebih ringan. “Justru itu yang biasa ngakalin itu pengusaha besar,” katanya.
“Kalau mau mewajibkan pelaku usaha, harus diimbangi dengan edukasi, pengembangan SDM, dan peluang pasar domestik yang lebih besar. Jangan hanya mengejar target pajaknya, tetapi hal lain di ekosistem usaha juga perlu dibenahi. Harga bahan pokok naik terus, jadi pelaku usaha kecil butuh dukungan yang konkret dari pemerintah,” ujar Hermawati.
Perlu pembinaan
Guru Besar Ilmu Ekonomi Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Mudrajad Kuncoro, menilai tarif PPh final 0,5% merupakan insentif fiskal yang sangat berarti bagi usaha mikro dan kecil.
Menurutnya, kebijakan ini membantu meringankan beban pajak sehingga pelaku usaha lebih mudah bertahan dan berkembang di tengah tekanan ekonomi. Insentif itu juga mendorong pelaku usaha informal untuk masuk ke sektor formal yang saat ini jumlahnya masih mencapai sekitar 60%. “Itu sangat bagus untuk meringankan beban usaha mikro dan kecil,” ujarnya.
Mudrajad mengatakan pemberlakuan tarif rendah secara permanen dapat meningkatkan stabilitas perencanaan usaha karena UMKM dapat memproyeksikan kewajiban pajaknya dengan lebih pasti. Namun, dia mengingatkan bahwa penetapan tarif ini juga menimbulkan konsekuensi hilangnya potensi penerimaan negara. “UMKM itu harus jujur dalam melaporkan omset, jangan sampai usahanya dibuat lebih kecil untuk menghindari pajak,” ujarnya. Kepatuhan pelaporan menjadi sangat penting agar insentif ini tidak disalahgunakan oleh pelaku usaha yang mencoba menghindari tarif lebih tinggi.
Ihwal rencana kebijakan dibikin permanen, Mudrajad menekankan pentingnya adanya pembinaan kepada UMKM dari berbagai kementerian terkait. Dia menilai pendampingan, pelatihan, dan edukasi pembukuan perlu diperluas agar usaha mikro tidak stagnan dalam kelompok yang sama. Menurutnya, dukungan lintas sektor akan membantu UMKM meningkatkan kapasitas manajerial dan membuka peluang untuk naik kelas.
“Usaha mikro jangan kecil terus, tetapi harus bisa graduate menjadi usaha yang miliaran. Kementerian UMKM dan kementerian terkait harus benar-benar mendampingi pelaku usaha, termasuk melalui edukasi cara mencatat omzet dan mengelola usaha dengan baik. Pendampingan dan pelatihan itu penting agar pelaku UMKM bisa berkembang dan tidak berhenti sebagai usaha mikro,” ujarnya.