Paul Krugman Nilai Kebijakan Tarif Trump sebagai Kesepakatan yang Bodoh

Ekonom Paul Krugman menyebut kebijakan tarif Presiden Donald Trump sebagai seni membuat kesepakatan yang sungguh bodoh. Ia heran, apa yang dipikirkan para pendukung Trump?

Paul Krugman Nilai Kebijakan Tarif Trump sebagai Kesepakatan yang Bodoh
Photo by Igor Omilaev / Unsplash

Ekonom Paul Krugman, dalam kolom situs webnya, mengkritik keras kebijakan tarif yang dijalankan Presiden AS Donald Trump.

Ia tidak habis pikir bahwa di awal pekan ini, pemerintahan Trump dengan bangga mengumumkan kesepakatan dagang besar dengan Jepang. “Kini, tanggapan mulai bermunculan—dan nilainya 0% di Rotten Tomatoes,” tukasnya.

Menurut Krugman, penilaian ini bukan sekadar pendapat ekonom, melainkan reaksi dari sektor manufaktur (baik pemilik bisnis maupun buruh) yang seharusnya diuntungkan oleh tarif Trump.

Mengapa begitu negatif? Krugman mengajak kita melihat kondisi perang dagang Trump secara keseluruhan.

Di bawah Presiden Trump, AS berubah drastis menjadi proteksionis. Dalam hitungan bulan, negara yang dulu punya hambatan dagang sangat rendah—berkat negosiasi internasional selama puluhan tahun—kini memberlakukan tarif setinggi era Smoot-Hawley (UU Kenaikan Tarif Bea Masuk di tahun 1930, yang malah memperburuk kondisi Depresi Besar).

Banyak pebisnis berharap tarif tinggi ini hanya sementara dan akan turun setelah kesepakatan dengan negara lain tercapai.

Tapi hasilnya: Jepang justru dikenai tarif 15%, padahal sebelumnya hanya 1.6% (Before Trump/BT). Kabarnya, Uni Eropa mungkin menyusul. Jadi, menurut Krugman, tarif 15% untuk sebagian besar impor (bahkan lebih tinggi untuk beberapa produk) tampaknya akan menjadi new normal.

Trump bilang, pihak asing yang akan membayar tarif ini, dan pendukungnya mengutip harga konsumen yang belum naik sebagai bukti. Tapi mereka salah melihat metrik. Yang harus diperhatikan adalah harga impor—harga yang dibayar AS ke produsen luar negeri—seperti data dari Bureau of Labor Statistics.

“Jika Trump benar, seharusnya harga impor turun drastis untuk mengimbangi kenaikan tarif. Nyatanya? Tidak terjadi,” kata Krugman.

Lalu siapa yang membayar kenaikan tarif impor?

“Sejauh ini, beban utama jatuh pada bisnis AS yang menghadapi kenaikan biaya signifikan,” kata Krugman.

Survei Institute for Supply Management menunjukkan inflasi biaya produksi tertinggi sejak 2022. Selama ini, bisnis menahan kenaikan harga ke konsumen karena berharap tarif akan turun. Tapi begitu mereka sadar tarif untuk Jepang dan Eropa tetap tinggi setelah kesepakatan, harga konsumen pasti melambung.

Mengapa manufaktur AS marah? “Karena kombinasi tarif Trump justru merugikan mereka,” kata Krugman.

Ia mencontohkan otomotif. Trump mengenakan tarif 25% untuk semua impor mobil (termasuk dari Kanada dan Meksiko) dengan alasan keamanan nasional. Padahal, mobil Kanada dan Meksiko banyak mengandung komponen buatan AS. Sementara mobil Jepang tidak.

Tapi kini, mobil Jepang hanya kena tarif 15%. Tarif ini lebih rendah daripada mobil dari Kanada dan Meksiko yang justru menciptakan lapangan kerja AS.

Belum lagi tarif 50% untuk baja dan aluminium (bahan baku mobil) yang tidak berlaku untuk produsen Jepang. Hasilnya? “Kesepakatan ini malah menguntungkan Jepang,” ulas Krugman.

Krugman juga menyoroti tim negosiasi dengan mitra dagang penting, yang harusnya melibatkan tim ahli. “Nyatanya, ini seperti kerja amatir,” tudingnya.

Ia menunjukkan bukti foto yang memperlihatkan Trump memegang kartu berisi klaim investasi Jepang senilai $400 miliar, yang dicoret tangan dan diganti $500 miliar. Lalu, jadi $550 miliar di pengumuman resmi.

“Jelas, tim Trump tidak paham apa yang mereka lakukan. Mereka buru-buru membuat kesepakatan tanpa menyadari tarifnya merugikan manufaktur AS,” ujar Krugman.

Krugman menduga Trump dan timnya ingin cepat-cepat mengumumkan "kesuksesan" sebelum batas waktu 1 Agustus. “Saking buru-buru sampai tidak memerhatikan detail,” ujarnya.

“Saking buru-buru sampai tidak memerhatikan detail,” ujar Krugman.

Krugman menduga, bisa jadi, mereka juga ingin mengalihkan perhatian dari kasus Jeffrey Epstein.

“Kini, setelah negara lain melihat kelonggaran yang didapat Jepang, jangan heran jika akan ada lebih banyak ‘kesepakatan bodoh’ seperti ini,” pungkas Krugman.