Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurahman mengusulkan agar pengemudi ojek online (ojol) dimasukkan ke dalam kategori pelaku UMKM. Menurutnya, para pengemudi merupakan bagian dari ekosistem digital yang tumbuh pesat bersama pedagang daring dan layanan pemesanan makanan. Pemerintah menilai perlu adanya dasar hukum yang memberikan perlindungan bagi para pelaku usaha di sektor digital.
Maman mengusulkan agar kebijakan itu dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. “Kita sekarang melihat perlunya aturan yang bisa menjaga atau melindungi para pelaku usaha yang bergerak di sektor pasar digital. Dan ini luar biasa banyak. Salah satunya dari ojol. Di ekosistem pasar digital itu kan ada transporter, aplikator, dan juga UMKM atau merchant-nya,” katanya, dikutip detikFinance, Senin (27/10/2025).
Kementerian UMKM telah membahas rencana ini sejak Juni bersama beberapa kementerian lain, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Komunikasi dan Digital. Pembahasan dilakukan untuk mencari bentuk regulasi yang memungkinkan pengemudi ojol diakui sebagai pelaku usaha mandiri. Rencana itu disebut akan dituangkan dalam peraturan menteri sebagai langkah awal.
Usulan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Pemerintah menilai dasar hukum itu sudah memadai untuk memperluas cakupan pelaku usaha ke sektor digital. Pengakuan ini diharapkan dapat membuka akses perlindungan dan pembiayaan bagi pengemudi ojol.
Jika kebijakan tersebut diterapkan, pengemudi ojol berpeluang memperoleh sejumlah fasilitas seperti subsidi bahan bakar minyak, LPG tiga kilogram, serta akses Kredit Usaha Rakyat dengan bunga ringan. Pemerintah juga menyiapkan program pelatihan sumber daya manusia dan insentif pajak untuk usaha mikro dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun.
Sambutan hangat pengemudi ojol
Ketua Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyambut positif rencana pemerintah untuk memasukkan pengemudi ojol ke dalam kategori pelaku usaha mikro. Menurutnya rencana kebijakan itu dapat memberi dasar hukum yang lebih jelas bagi para pengemudi yang selama ini belum memiliki perlindungan dalam hubungan kemitraan dengan perusahaan aplikasi.
Menurut Igun, pengakuan itu dapat menjadi langkah awal bagi negara untuk memberikan perlindungan yang selama ini belum diatur secara tegas. Igun berharap pemerintah tidak hanya menetapkan status baru, tetapi juga memastikan ada payung hukum yang kuat dalam revisi undang-undang tentang UMKM agar posisi pengemudi ojol diakui secara resmi.
Igun menilai kebijakan ini juga membuka peluang bagi pengemudi untuk memperoleh akses terhadap berbagai program peningkatan kesejahteraan. Igun menekankan perlunya jaminan sosial yang lebih baik, termasuk perlindungan kesehatan dan asuransi kerja yang selama ini belum sepenuhnya tersedia bagi pengemudi ojol.
Selain itu, Igun menilai proses penyusunan regulasi perlu melibatkan pengemudi agar kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. “Kami berharap pemerintah dan DPR melibatkan kami dalam pembahasan revisi undang-undang agar keputusan yang lahir berpihak kepada pengemudi,” kata Igun. Dengan pelibatan seperti itu, kata Igun, perlindungan bagi pekerja transportasi daring dapat berjalan lebih adil dan menyeluruh.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai permasalahan utama dalam sektor transportasi daring adalah ketiadaan regulasi yang secara utuh mengatur hubungan antara pengemudi dan platform.
Menurutnya, aturan yang ada saat ini masih tersebar di beberapa kementerian dengan porsi yang tidak seimbang. “Regulasi tentang tarif ada di Kementerian Perhubungan, bentuk kemitraan di Kementerian UMKM, sementara Kementerian Ketenagakerjaan belum mengatur karena sifatnya dianggap kemitraan,” katanya.
Menurut Huda, dalam kondisi saat ini, Kementerian UMKM menjadi lembaga yang paling tepat untuk memayungi pengaturan sektor transportasi daring. Peraturan yang dibuat, menurutnya, harus menegaskan bahwa kemitraan berbeda dengan hubungan kerja formal yang menetapkan jam kerja tertentu.
Huda juga menekankan pentingnya keterlibatan asosiasi pengemudi agar aturan yang disusun seimbang dan berpihak pada kedua belah pihak, termasuk dalam hal tarif dan jaminan kesehatan.
Ia menambahkan, pengakuan pengemudi sebagai pelaku usaha mikro akan membawa konsekuensi ganda. Di satu sisi, pengemudi tidak dapat menuntut tunjangan hari raya atau upah minimum seperti pekerja formal karena pendapatan bergantung pada kinerja.
“Tapi ini menurut saya cukup fair mengingat perjanjiannya berbentuk kemitraan, bukan hubungan kerja langsung,” ujarnya.
Fleksibilitas memang jadi ciri utama pekerjaan di sektor gig economy. Dalam sistem ini, pengemudi dapat bekerja untuk lebih dari satu pemberi kerja, baik di industri yang sama maupun berbeda.
“Ketika pekerjaan bersifat fleksibel, driver bisa mengambil sumber pendapatan lebih dari satu tempat dan memperoleh manfaat yang lebih besar,” kata Huda.
Huda menilai, setiap pilihan status membawa keuntungan dan risiko masing-masing. Jika pengemudi berstatus pekerja, maka akan ada kewajiban jam kerja tetap serta potensi pemutusan hubungan kerja seperti pekerja pada umumnya. Sebaliknya, dengan status kemitraan di bawah payung UMKM, pengemudi memang tidak memiliki perlindungan penuh seperti karyawan, tetapi mendapatkan keleluasaan untuk mengatur waktu dan menentukan pemberi kerja.
Suar sudah menghubungi GoTo dan Grab untuk meminta tanggapan aplikator atas rencana kebijakan ini. Namun, hingga berita ini terbit, belum ada pernyataan resmi yang diberikan.
Status hukum, tarif layak, dan transparansi algoritma
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafariel menilai rencana pemerintah untuk mengategorikan pengemudi transportasi daring sebagai pelaku UMKM sah-sah saja dan tidak bertentangan dengan hukum.
Kebijakan itu dapat membantu pengemudi jika dijalankan dengan tepat. Namun, Taha menekankan sebelum membahas soal UMKM, pemerintah perlu memastikan kejelasan status hukum para pengemudi sebagai pekerja transportasi berbasis aplikasi.
Baca juga:

Menurut Taha, para pengemudi selama ini berada dalam posisi ganda. “Disebut mitra sama aplikator, tetapi pada praktiknya kita sebagai penyedia jasa transportasi,” katanya.
Situasi itu menimbulkan ketidakjelasan hukum karena belum ada regulasi yang secara tegas menetapkan posisi pengemudi di sistem ketenagakerjaan nasional. Maka, bagi Taha, jika langsung diklasifikasikan sebagai pelaku UMKM tanpa kejelasan status pekerja, pemerintah justru memperluas area abu-abu yang selama ini dihindari.
Taha juga mempertanyakan sejauh mana Kementerian UMKM memiliki kapasitas untuk menjamin perlindungan kerja bagi pengemudi. “Apakah UMKM bisa menjamin soal kecelakaan, asuransi cacat permanen, atau pemutusan hubungan kerja? Itu bukan kewenangan mereka,” katanya.
Tanpa jaminan semacam itu, Taha menilai pengakuan sebagai UMKM hanya akan menambah beban administrasi tanpa memperbaiki posisi hukum pengemudi ojol.
Maka, bagi Taha, pembahasan kebijakan transportasi daring tidak boleh berhenti pada penetapan status usaha semata. Taha menyebut ada tiga hal pokok yang perlu dijamin negara, yakni kepastian status hukum pengemudi, penetapan tarif yang layak, dan transparansi algoritma dalam sistem kerja aplikasi.
Ketiga aspek itu harus diatur lintas kementerian agar perlindungan terhadap pengemudi ojol benar-benar efektif dan menyentuh akar persoalan di lapangan.