Pemerintah Indonesia pada Selasa (23/12/2025) mengungkapkan telah menyepakati substansi yang diatur dalam perundingan resiprokal atau Agreement on Reciprocal Trade (ART) kedua negara, ditargetkan selesai dan diteken pada akhir Januari 2025.
Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat (AS) Indroyono Soesilo usai bertemu dengan United States Trade Representative (USTR) Ambassador Jamieson Greer di Washington DC, Senin (22/12) waktu setempat.
Pertemuan dilakukan kembali sejak tanggal 17 hingga 22 Desember waktu setempat di Washington D.C. dengan United States Trade Representative (USTR) Ambassador Jamieson Greer untuk membicarakan isu-isu utama dan teknis dari perjanjian tersebut demi mendorong percepatan penyelesaian dokumen ART.
Indonesia dan AS juga telah menyepakati timetable dari substansi perjanjian ART, di mana tim teknis dari kedua negara pada pertengahan bulan Januari 2026 mendatang akan kembali melakukan pertemuan.
"Setelah seluruh proses teknis diselesaikan, maka diharapkan sebelum akhir bulan Januari ini akan disiapkan dokumen untuk dapat ditandatangani secara resmi oleh Bapak Presiden Prabowo dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan saat ini pihak Amerika sedang mengatur waktu yang tepat untuk rencana pertemuan antara kedua pemimpin tersebut," kata Airlangga dalam press conference daring.
Selain itu, AS juga memberikan pengecualian tarif terhadap produk-produk ekspor unggulan Indonesia seperti kakao, minyak kelapa sawit, kopi, dan lain sebagainya. Sementara itu, Amerika Serikat sangat berharap untuk mendapatkan akses terhadap kritikal mineral.
Indonesia dikenal sebagai pengekspor minyak sawit terbesar di dunia dan pemasok utama biji kopi robusta di dunia.
Sebelumnya pada 22 Juli 2025, berdasarkan Joint Statement yang diterbitkan, Indonesia mendapatkan penurunan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19%.
Pertemuan tersebut terjadi menyusul laporan dari kantor berita Reuters negosiasi yang dicapai bulan Juli tersebut berpotensi batal karena Indonesia telah menarik kembali beberapa komitmen yang dibuat sebagai bagian dari kesepakatan tersebut.
"Perjanjian ini adalah perjanjian yang melanjutkan pada tanggal 22 Juli yang lalu, kesepakatan antara kedua pemimpin di mana tarif Indonesia diturunkan dari 32% menjadi 19%. Dan Indonesia juga mendapatkan pengecualian tarif khusus untuk produk-produk unggulan ekspor Indonesia," kata Airlangga.
Penandatanganan dipastikan oleh Airlangga akan terjadi dan tidak ada lagi faktor yang bisa menghambat penandatanganan ART tersebut, lantaran kedua negara sudah melakukan kesepakatan.
"Tenggat waktu itu adalah waktu yang kita sepakati bersama. Terkait dengan konten ataupun materi itu dalam pembahasan sejak 17 sampai tanggal 22 hari ini, seluruhnya sudah dibahas dan seluruhnya sudah disetujui oleh kedua belah pihak. Jadi, tidak ada lagi faktor yang bisa menghambat penandatanganan daripada ART ini," tegasnya.
Airlangga pun menegaskan bahwa kesepakatan ini merupakan kabar baik untuk Indonesia. Dengan adanya perjanjian ini, akses pasar kedua negara terbuka lebar sehingga mampu mendorong perekonomian Indonesia.
“Tentu ini menjadi kabar baik terutama bagi industri Indonesia yang terdampak langsung kebijakan tarif di mana sektor-sektor yang terkena tarif tersebut terutama padat karya mempekerjakan 5 juta pekerja dan tentunya ini sangat strategis bagi Indonesia,” ucapnya.
Daya saing
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, menilai penurunan tarif resiprokal ini merupakan keberhasilan diplomasi ekonomi Indonesia dalam menjaga kepentingan ekonomi bersama dengan AS. Penurunan tarif disebut memberikan perkembangan terhadap cost competitiveness produk Indonesia di pasar AS di tengah ketatnya persaingan global.
“Bagi dunia usaha, ini menjadi sinyal positif atas predictability dan policy certainty dalam hubungan dagang bilateral. Hal ini penting untuk mendorong keputusan investasi, kontrak jangka panjang, serta integrasi Indonesia dalam global value chains yang lebih dalam,” jelas Shinta kepada SUAR di Jakarta, Selasa (23/12).
Para pelaku usaha terutama di sektor padat karya dan komoditas juga disebut siap merespons peluang ini dalam waktu dekat. Apalagi sebelumnya, banyak eksportir Indonesia yang selama ini tetap mempertahankan pasar AS meskipun terjadi dinamika tarif resiprokal. Pemerintah juga diharapkan mendorong langkah lebih lanjut lainnya untuk memaksimalkan peluang dari kesepakatan ini.
“Namun demikian, kesiapan ini tidak sepenuhnya homogen. Perusahaan besar relatif lebih siap dari sisi compliance, standardization, dan supply reliability, sementara UMKM dan eksportir baru masih membutuhkan pendampingan, terutama terkait standar teknis, sertifikasi, dan logistic readiness,” lanjutnya.
Shinta menilai daftar produk yang mendapatkan pengecualian tarif dari AS ini sudah tepat lantaran menyasar sektor dengan keunggulan komparatif dan dampak penciptaan lapangan kerja yang tinggi untuk Indonesia.
Apindo juga mendorong agar cakupan produk ini bisa diperluas ke depannya secara bertahap sehingga semakin memperkuat pertumbuhan ekonomi dan industri dalam negeri.
“Kami mendorong agar cakupan produk terus diperluas secara bertahap, khususnya untuk produk manufaktur bernilai tambah, tujuannya agar perjanjian ini tidak hanya memperkuat ekspor komoditas, tetapi juga mendorong industrial upgrading dan export diversification,” katanya.
Meskipun tarif resiprokal telah diturunkan dan sejumlah produk ekspor unggulan Indonesia mendapatkan pengecualian, para pelaku usaha di Indonesia juga masih menghadapi sejumlah tantangan untuk menembus pasar AS.
Sementara itu di sisi domestik, para pelaku usaha juga dihadapi dengan tantangan terkait dengan efisiensi logistik, pasokan bahan baku, serta kecepatan perizinan. Makanya, Shinta menilai reformasi struktural dan deregulasi berkelanjutan perlu dilakukan agar dunia usaha bisa benar-benar mengkonversi peluang kesepakatan tarif ini menjadi keuntungan riil dari perdagangan atau real trade gains.
“Tantangan utama masih terletak pada Non Tariff Measures (NTMs), terutama standar teknis sustainability requirements, hingga regulasi lingkungan yang semakin ketat di pasar AS. Selain itu, isu traceability, ESG compliance, dan product liability menjadi faktor penentu daya saing,” ungkap Shinta.

Diapresiasi
Senada dengannya, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai penurunan tarif ini juga merupakan kabar positif lantaran memperkecil ketidakpastian kebijakan dagang yang pada akhirnya membantu menjaga produksi serta lapangan pekerjaan di sektor-sektor yang berorientasi pada ekspor.
Namun, impor dari AS yang masuk ke Indonesia juga berpotensi meningkat sehingga industri dalam negeri menghadapi persaingan yang lebih ketat.
“Manfaat bersihnya tetap bergantung pada isi kesepakatan yang menyertai, karena Indonesia juga berkomitmen memperluas akses pasar bagi produk AS serta merapikan hambatan dagang di luar tarif, termasuk isu perdagangan berbasis teknologi dan kerja sama lain,” kata Josua.
Peningkatan potensi ekspor ke AS paling cepat terlihat pada komoditas yang mendapatkan pengecualian tarif karena harga yang turun dan ruang kontrak baru bisa lebih cepat terbuka pada barang yang pasokannya tidak bisa dipenuhi oleh AS. Untuk produk lain, daya saing harga akan membaik dan peluang volume ekspor disebut akan semakin bertambah dalam beberapa waktu ke depan, akibat beban tarif pada harga masuk turun dibanding dengan skenario sebelumnya.
Penurunan tarif resiprokal ini juga tidak serta-merta langsung meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS. Masih terdapat sejumlah faktor lain yang perlu diperhatikan oleh dunia usaha.
“Kenaikannya tidak otomatis meningkat, karena tarif 19% dinilai kurang lebih selevel dengan banyak negara pesaing sehingga keunggulan relatif Indonesia tidak besar. Faktor kualitas, kepastian pasokan, dan ketepatan pengiriman akan lebih menentukan siapa yang merebut pesanan,” jelasnya.
Maka dari itu agar memaksimalkan manfaat dari peluang tersebut, menurut Josua ada sejumlah langkah yang perlu diambil pemerintah dan para pihak terkait lainnya demi meningkatkan daya saing di pasar AS.
“Indonesia perlu memastikan pelaksanaan kesepakatan berjalan rapi dan konsisten agar tidak memunculkan sengketa baru, mempercepat perbaikan hambatan dagang di luar tarif, dan kepastian layanan perizinan ekspor,” sambung Josua.