Suasana rapat Dewan Pengupahan Nasional pada Senin, 3 November lalu memanas, jelang penetapan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2026 yang sedianya diumumkan pada 21 November 2025. Adu argumen antara elemen anggota Dewan Pengupahan Nasional, yaitu pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh, belum menemukan titik temu.
Ketua Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyebut perdebatan ini akan menentukan arah kebijakan ekonomi dan keberpihakan pemerintah terhadap buruh.

Menurutnya, mekanisme baku yang telah diatur dalam undang-undang terkait penetapan UMP, sudah mulai berjalan. Urutannya dimulai dari rekomendasi Dewan Pengupahan Nasional, kemudian diserahkan kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), lalu diturunkan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebelum akhirnya diputuskan oleh gubernur.
Namun ada satu hal saja yang belum disepakati. “Perbedaannya hanya di satu variabel, indeks tertentu,” ujarnya. Variabel indeks tertentu merupakan satu dari beberapa variabel penentu UMP.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2024, formula penetapan upah minimum harus mempertimbangkan tiga faktor: inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, dengan tetap mengacu pada kebutuhan hidup layak. Masalahnya, MK tidak menjelaskan bagaimana nilai indeks tertentu itu dihitung.
“Kalau inflasi dan pertumbuhan ekonomi datanya dari BPS, jelas. Tapi indeks tertentu itu yang diperdebatkan. Tahun lalu Presiden menetapkan indeks sekitar 0,9, tapi sekarang Menaker justru menurunkan usulannya jadi 0,2 sampai 0,7. Itu artinya melawan Presiden,” kata Said.
Dalam rapat itu, masing-masing perwakilan mengajukan angka indeks tertentu yang dilambangkan dengan simbol alpha atau (ɑ).
Dalam rapat itu, masing-masing perwakilan mengajukan angka indeks tertentu yang dilambangkan dengan simbol alpha atau (ɑ). Serikat pekerja mengajukan besaran alpha 0,9–1. untuk sektoral alpha 1–1,5; sedangkan pengusaha besaran alpha antara 0,1 hingga 0,5 dan sektoral alpha 0,1–0,7.
Pemerintah mengusulkan alpha berada 0,2–0,7 dan sektoral maksimum alpha 1. Dalam rapat itu juga diketahui jika pemerintah sudah membuat draf rancangan peraturan pemerintahan (RPP) tentang pengupahan.
Said menegaskan, bila ingin menetapkan besaran indeks tertentu, maka perlu disesuaikan dengan kondisi makroekonomi yang tidak banyak berubah. Inflasi periode Oktober 2024–September 2025 sebesar 2,65%, sedangkan pertumbuhan ekonomi 5,12%. “Kalau ekonominya stabil, kenapa indeksnya diturunkan?” ujarnya.
Dengan perhitungan sederhana, Said menyebut kenaikan upah yang layak berada di kisaran 7,2%, berdasarkan formula: inflasi (2,65%) + alpha (0,9) x pertumbuhan ekonomi (5,12%).
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di sela acara konferensi pers peluncuran Layanan Lapor Menaker di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Rabu 12 November 2025 lalu, menegaskan pembahasan UMP 2026 masih terus dilakukan oleh Dewan Pengupahan Nasional dan juga Provinsi. “UMP belum, sedang kita bahas. Fasenya kan sedang berjalan di Depenas dan Dewan Pengupahan Provinsi,” katanya.

Yassierli juga meminta kepada seluruh pihak untuk menunggu pengumuman UMP 2026 yang rencananya diumumkan beberapa waktu mendekat. Saat ini, pihak Kemnaker juga masih terus melakukan dialog dengan para pelaku usaha hingga serikat pekerja terkait dengan UMP. “Kita terus melakukan dialog sosial, mendapatkan masukan dari teman-teman serikat pekerja serikat buruh dan teman-teman pengusaha Apindo, tunggu saja,” katanya.
Perundingan dengan banyak kepentingan
Bagi Said Iqbal, perdebatan ini bukan semata hitung-hitungan angka, melainkan persoalan politik. Ia mengaku, tahun lalu dirinya sempat bertemu langsung dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana. “Presiden bilang, salah satu cara meningkatkan daya beli masyarakat adalah dengan menaikkan upah yang layak, bukan tinggi, tapi layak,” tuturnya.
Namun, menurutnya, sejumlah menteri justru lebih mendengarkan suara pengusaha ketimbang mandat presiden. “Dalam politik, banyak yang mencari strategi pendekatan ke menteri sebelum ke presiden. Menteri-menteri itu dilobi oleh pengusaha,” kata Said.
Ia menuding kelompok pengusaha mempengaruhi kebijakan dengan argumen klasik: kenaikan upah menambah beban perusahaan dan menyebabkan PHK. Said juga menyoroti siapa yang sebenarnya duduk di balik meja pengusaha. “Coba lihat pengurus inti Apindo, 80% berasal dari sektor tekstil dan garmen,” katanya.
Ia menyebut, dominasi ini berpengaruh besar terhadap cara pandang asosiasi terhadap upah minimum. “Kenapa ada yang mau repot-repot jadi ketua, padahal perusahaannya sudah besar dan mapan? Karena dia ingin mengamankan kepentingan sektor tekstil dan garmen,” ujarnya.
Bagi Said, kondisi ini membuat diskusi tentang upah minimum sektoral kerap dihindari. “Mereka tidak mau membahas upah sektoral karena tahu, di sektor lain seperti otomotif atau elektronik, buruhnya lebih produktif dan layak dapat upah lebih tinggi,” katanya.
Said membantah keras anggapan soal tingginya tingkat upah berdampak pada PHK karyawan, karena perusahaan harus efisiensi. Ia mencontohkan, sepanjang 2024–2025, daerah dengan PHK tertinggi justru Jawa Tengah, provinsi dengan upah terendah di Indonesia. “Kalau logika mereka benar, harusnya yang PHK-nya tinggi itu daerah dengan upah tinggi seperti Jakarta atau Jawa Barat. Tapi nyatanya bukan,” tegasnya.

Menurut Said, penyebab PHK bukan pada upah, melainkan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada industri padat karya. Ia menyinggung Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang membuka keran impor tekstil dan garmen dari Tiongkok. “Orang sakit perut dikasih obat sakit kepala. Itu kebijakan yang salah obat,” katanya.
Selain itu, Said menilai menurunnya daya beli masyarakat juga menjadi penyebab utama lesunya industri. “Anak muda sekarang tagarnya Indonesia Gelap, karena tabungan mereka makin menipis. Daya beli menurun, konsumsi turun. Ini bukan soal buruh malas, tapi soal ekonomi yang stagnan,” jelasnya.
Produktivitas versus upah
Di sisi lain, pengusaha sering menuding buruh Indonesia tidak produktif. Said tak menolak jika produktivitas perlu diukur, tetapi mempertanyakan dasar tudingan tersebut. “Kalau mau bicara produktivitas, mana datanya? Di Indonesia enggak ada indeks produktivitas buruh,” ujarnya.
Ia mencontohkan, di negara maju terdapat indeks produktivitas per sektor, misalnya otomotif atau tekstil, yang dihitung berdasarkan kontribusi terhadap PDB. “Kita tidak punya data itu. Jadi kalau pengusaha bilang buruh tidak produktif, mereka ngomong tanpa angka,” ujarnya.
Perbandingan sederhana justru menunjukkan hal sebaliknya. “Kalau pabrik garmen di Indonesia memproduksi 1.000 baju dengan 100 pekerja, artinya produktivitasnya 10. Di Vietnam, kalau butuh 200 orang buat hasil yang sama, berarti kita lebih produktif,” katanya.
Begitu pula di sektor otomotif. “Produksi Toyota Innova di Indonesia jauh lebih banyak daripada Toyota Vios di Thailand. Tapi yang dibilang kurang produktif justru buruh Indonesia. Kan lucu,” tambahnya.

Ia menegaskan bahwa perdebatan soal UMP bukan semata soal berapa persen kenaikan yang pantas, melainkan soal arah kebijakan ekonomi nasional. “Presiden sudah jelas: upah harus layak supaya daya beli naik, konsumsi naik, dan ekonomi tumbuh. Tapi kalau Menaker menurunkan indeks tertentu seenaknya, itu artinya kebijakan pemerintah tidak sinkron,” ujarnya.
Bagi Said Iqbal, perhitungan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari politik kesejahteraan. “Kalau makroekonomi stabil, indeks tertentu harusnya tidak turun. Kalau upah naik, daya beli naik. Kalau daya beli naik, ekonomi bergerak. Itu logika sederhana yang justru dilupakan oleh para pejabat,” katanya.
Terganjal putusan Mahkamah Konstitusi
Sarman Simanjorang, anggota Dewan Pengupahan Nasional yang juga Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta, menyebut, penetapan UMP 2026 yang semestinya diumumkan pada 21 November mendatang tampaknya akan mengalami penundaan. Alasannya bukan sekadar persoalan teknis, melainkan karena adanya revisi besar terhadap dasar hukum pengupahan nasional pasca putusan MK.
Proses penyusunan UMP 2026 kini bergantung pada revisi Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan. “Dasarnya tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang kemudian direvisi melalui PP Nomor 51 Tahun 2023,” ujar Sarman.

Menurutnya, kedua aturan tersebut mengatur formula penetapan upah minimum dengan memperhitungkan tiga indikator utama: pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Nilai indeks ini sebelumnya berada dalam rentang 0,10–0,30.
Namun, peta pengupahan nasional berubah setelah MK mengeluarkan Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023. Dalam putusan itu, MK menilai bahwa formula lama perlu disesuaikan agar penetapan upah lebih adil dan proporsional bagi semua pihak.
“Akibat adanya putusan MK tersebut, maka formula yang tertuang dalam PP 36/2021 dan PP 51/2023 harus disesuaikan. “Karena itu Dewan Pengupahan telah melakukan sidang untuk merumuskan draft PP baru tentang Pengupahan, yang kini masih dalam proses penyusunan,” jelas Sarman.
Perubahan ini memiliki implikasi langsung terhadap jadwal penetapan UMP 2026. “Karena revisi PP ini masih berproses, maka penetapan UMP yang seharusnya diumumkan pada 21 November 2025 berpotensi mundur sampai PP tersebut resmi terbit,” tambahnya.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa penetapan upah minimum tidak boleh hanya didasarkan pada angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi semata. Keseimbangan kepentingan antara pekerja dan pengusaha harus menjadi dasar, dengan memperhatikan prinsip proporsionalitas, yakni keseimbangan antara upah minimum dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Sarman menyebut, putusan MK juga memperluas rentang nilai variabel (α) yang digunakan dalam formula perhitungan. “Jika sebelumnya berada pada rentang 0,10–0,30, kini diperluas menjadi 0,20–0,70,” terangnya. “Perluasan ini akan memberi ruang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan besaran upah sesuai kondisi ekonomi dan kemampuan dunia usaha di wilayah masing-masing.”
Menurutnya, perubahan ini diharapkan mampu menjawab dua tantangan sekaligus: menjaga daya beli pekerja agar tidak terus tergerus, dan memastikan keberlangsungan dunia usaha di tengah ketidakpastian ekonomi global. “Prinsipnya, MK ingin agar upah minimum mencerminkan rasa keadilan, tidak hanya bagi buruh, tapi juga bagi pengusaha,” kata Sarman.
Dalam proses penyusunan formula baru, Dewan Pengupahan Nasional bekerja sama erat dengan berbagai lembaga. “Kami berkolaborasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Dewan Ekonomi Nasional,” ujar Sarman.
Menurutnya, data yang digunakan bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang mencakup berbagai indikator makroekonomi dan sosial. Dengan memakai data Susenas, validitas pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu bisa dipertanggungjawabkan. “Jadi, berapapun angka kenaikan upah nanti, itu akan benar-benar menggambarkan kondisi ekonomi yang riil serta kemampuan dunia usaha,” tuturnya.
Sarman menambahkan, formula baru tidak serta merta akan menahan kenaikan upah. “Kenaikan UMP tetap akan terjadi, hanya saja mengikuti formula yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dan data yang akurat,” ia menjelaskan.
Meski proses revisi PP masih berlangsung, ruang dialog antara semua pihak tetap terbuka. Dewan Pengupahan, kata Sarman, berkomitmen menjaga semangat kebersamaan dalam setiap tahapan pembahasan.
Ia meyakini, unsur pengusaha tentu akan memperjuangkan aspirasi dunia usaha. Sementara unsur serikat buruh atau pekerja akan memperjuangkan aspirasi mereka,” ujarnya. “Kita berharap penetapan UMP 2026 nantinya benar-benar mengutamakan kebersamaan dan saling memahami kondisi ekonomi saat ini.”
Menurutnya, pembahasan upah tahun depan tidak bisa dilepaskan dari dinamika global. “Kondisi ekonomi dunia, geopolitik global, perang tarif dagang, hingga daya beli masyarakat, semua menjadi faktor yang harus diperhitungkan,” jelasnya. “Kita ingin keputusan yang diambil nanti realistis, tapi tetap memberikan harapan bagi pekerja.”
Sarman sendiri optimistis, hasil akhirnya akan menyeimbangkan semua kepentingan. “Kami ingin memastikan kebijakan ini berpijak pada data, keadilan, dan kemampuan ekonomi nasional,” paparnya.
Imbas negatif ke sektor padat karya
Dari sisi pengusaha, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindra, menilai kebijakan kenaikan upah perlu diproyeksikan secara matang untuk jangka panjang, setidaknya lima tahun ke depan. Menurutnya, dampak dari kenaikan upah yang terlalu tinggi dalam waktu berdekatan dapat memukul daya saing sektor padat karya yang saat ini tengah menghadapi tekanan berat.
“Rekan-rekan serikat pekerja meminta kenaikan 6,5% untuk 2026, padahal tahun lalu juga sudah naik 6,5%. Kenaikan berlipat-lipat dalam dua tahun berturut-turut akan sangat potensial membuat industri padat karya kehilangan keunggulan kompetitifnya,” ujar Danang.

Ia menjelaskan, dalam situasi iklim usaha yang tidak sehat bagi industri padat karya, kebijakan kenaikan upah yang tidak diukur secara akurat justru bisa merusak kinerja sektor tersebut. “Perusahaan akan terdorong untuk mengabaikan pekerja dan lebih mempekerjakan mesin atau otomatisasi,” tambahnya.
Danang juga menyoroti adanya potensi relokasi industri akibat tekanan biaya produksi yang meningkat. Menurutnya, risiko tersebut bukan hanya berupa perpindahan investasi ke negara lain, tetapi juga timbulnya kejenuhan psikologis di kalangan investor.
“Risiko relokasi jelas ada, tetapi bakal tumbuh kejenuhan psikologis pada para investor padat karya. Mereka akan merasa pemerintah tidak peduli kondisi sektor TPT (tekstil dan produk tekstil) yang sedang tidak sehat. Risiko terbesar adalah meninggalkan investasi sektor ini,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya kebijakan yang memperkuat rantai pasok domestik untuk menumbuhkan gairah industri dalam negeri. “Kebijakan paling utama adalah kontrol impor pada produk jadi, supaya supply chain domestik lebih tumbuh bergairah,” jelasnya.
Menurut Danang, API akan terus berkolaborasi dengan pemerintah untuk memastikan regulasi dan implementasi kebijakan berjalan baik dan mendukung pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. “Memenangkan kompetisi dengan Vietnam atau Bangladesh sangat potensial bagi Indonesia, asalkan benar-benar terdapat dukungan kebijakan dari pemerintah,” ujarnya.
Danang menilai, sekarang sudah ada langkah positif melalui kebijakan seperti Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) nomor 27 Tahun 2025 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor No. 17 Tahun 2025. “Tetapi apabila nanti ada kebijakan pengupahan yang tidak akurat, akan mengakibatkan dua aturan bagus itu tidak akan banyak gunanya,” ujar Danang.
Ketua Divisi Perdagangan Apindo sekaligus Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menegaskan hasil kajian bersama Apindo dan AGTI menunjukkan komponen tenaga kerja menyumbang sedikitnya 18% hingga 30% dari total biaya produksi, tergantung daerah dan mode pakaian yang sedang dikerjakan. Artinya, setiap kenaikan upah akan memicu peningkatan biaya secara berantai di berbagai aspek.
Selain kenaikan upah pokok, terdapat pula dampak turunan yang signifikan seperti meningkatnya iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, serta biaya lembur. Produktivitas tenaga kerja juga masih relatif rendah, sementara rantai pasok belum efisien karena sebagian besar bahan baku masih harus diimpor.
Di sisi lain proses produksi sering terkendala waktu pengiriman dan ketersediaan material. "Kondisi ini membuat perusahaan perlu menambah jam kerja untuk mengejar target produksi dan jadwal ekspor,” ungkapnya kepada SUAR.
Tak hanya itu, kenaikan biaya tunjangan hari raya (THR), pesangon, dan penghargaan masa kerja juga menambah beban. Akibatnya, struktur biaya tenaga kerja di Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara pesaing utama seperti Vietnam dan Bangladesh.
Kedua negara tersebut memiliki jam kerja lebih panjang (45 jam–48 jam per minggu), tidak mewajibkan kenaikan upah setiap tahun, serta menerapkan sistem pengupahan berbasis produktivitas dan struktur-skala upah, bukan hanya regulasi minimum.
Karena itu, AGTI dan Apindo menilai daya saing industri tekstil dan garmen Indonesia, terutama untuk pasar ekspor, akan semakin tertekan jika kenaikan UMP tidak diimbangi dengan kebijakan pendukung, seperti efisiensi energi, insentif fiskal, dan program peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Solusinya komunikasi, hingga zonasi
Harijanto, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), mengatakan kenaikan UMP 2026 juga harus memperhatikan daya saing industri sektor alas kaki agar bisa tetap bersaing dengan negara-negara tetangga. “Industri sepatu ekspor harusnya UMP naik maksimal 3,5%, supaya tetap kompetitif dengan India dan Vietnam. Kalau lewat angka itu pasti ada penurunan order karena harga mahal jadi pasti ada PHK,” ujarnya.

Operasional pabrik sepatu pun memberikan multiplier effect yang signifikan terutama dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan. Sehingga, kehadiran pabrik tersebut secara langsung mengurangi angka pengangguran di daerah tersebut. “Pabrik sepatu ekspor minimal karyawan 10.000 orang per pabrik, jadi ini enggak main-main multiplier effect-nya, 1 banding 4 orang,” katanya.
Terkait dengan pembahasan UMP 2026, Harijanto menjelaskan bahwa pihak Aprisino sudah sering dan masih akan terus berkoordinasi dengan pihak pemerintah. “Sudah sering dipanggil pemerintah. Pekerja tahu ada konsekuensi itu, tapi pemerintah yang kurang ngerti, takut ada PHK tapi mau naik UMP-nya selalu tinggi,” jelasnya.
Sedangkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Frans Kongi, mendorong sistem pengupahan yang berdasarkan dengan produktivitas dan efisiensi, di mana para pekerja dan buruh didorong untuk meningkatkan kompetensinya sehingga mereka bisa lebih produktif dan meningkatkan efisiensi bagi perusahaan.
Frans juga menegaskan pengusaha pada dasarnya siap menerima keputusan dari pemerintah terkait penetapan UMP 2026. Namun, Frans berharap keputusan tersebut tetap mempertimbangkan kondisi dunia usaha saat ini agar terjadi keberlanjutan.
“Mau tidak mau kita harus siap, dengan catatan, pemerintah di dalam mengeluarkan aturan ini betul-betul memahami dan mempertimbangkan hal ini, pemerintah tahu kondisi dunia usaha. Harapan saya, peraturan yang keluar ini nanti alpha-nya antara 0,1 sampai 0,5 lah,” harapnya.
Frans juga menegaskan bahwa para pelaku usaha juga terus berkoordinasi dengan para pekerjanya dalam segala keputusan, seperti contoh pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK sendiri disebut tidak pernah menjadi opsi pertama dalam keputusan para pengusaha dalam melakukan efisiensi.
“PHK itu sebenarnya di luar pikiran perusahaan, pengusaha tidak pernah berpikir soal PHK. Karena begini, karyawan itu kita latih, sudah kenal baik dengan perusahaannya, rugi dong kita kalau PHK dia,” jelasnya.
Said Iqbal setuju bila Indonesia membangun sistem pengupahan yang berdasarkan produktivitas dan efisiensi. Namun upah sebagai pemicu adanya PHK adalah alasan yang kurang tepat. Karena masih banyak faktor lain yang mempengaruhi “ Ada faktor sewa tempat yang mahal, biaya cukai mahal, pajak mahal, logistik mahal,” kata Said. Menurutnya, pengusaha enggak mau ngeluhin ini karena takut tekanan dari petugas atau pengelola kawasan industri. “Paling gampang, mereka teriak, biaya buruh tinggi, maka saya perlu relokasi,” ujarnya.
Karena itu, ia mengusulkan penerapan zonasi industri, agar setiap wilayah memiliki spesialisasi sesuai karakter sektor usahanya. Ia pun mengusulkan zonanisasi industri seperti di Eropa. “Kalau cari pabrik tekstil, ya tidak di Perancis atau Jerman, tapi di Eropa Timur seperti Hungaria, Romania, atau Polandia. Kalau di Amerika, mereka taruh di Amerika Latin. Jepang dan Korea Selatan menempatkan industri mereka di Indonesia dan Asia Selatan. Itu strategi bisnis, namanya zonanisasi,” paparnya.
Said Iqbal menilai pendekatan serupa bisa diterapkan di Indonesia. “Kalau yang upahnya sudah mahal seperti Banten, DKI, Jawa Barat, dan Jawa Timur, sektor tekstil dan garmen bisa dipindahkan ke Jawa Tengah. Tapi di Banten, DKI, Jawa Barat tetap untuk sektor padat modal, seperti perusahaan IT, otomotif, dan penerbangan. Jadi ada zonaisasi antara capital intensive dan labor intensive. Di seluruh dunia sudah begitu,” ujarnya.
Selain zonasi, Iqbal juga menyoroti pentingnya memastikan upah layak di sektor informal dan UMKM. “Kalau sektor informal dan UMKM, boleh tidak memakai upah minimum, itu ada undang-undangnya. Tapi upah buruhnya harus layak, decent wages, bukan expensive wages,” katanya.
Upah layak ini menurut Said, penting agar daya beli masyarakat terjaga. “Kalau daya beli kuat, barang-barang dari sektor informal bisa laku. “Tukang mi ayam, tukang suvenir, itu hidup dari daya beli pekerja formal,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa gagasan tersebut sejalan dengan pandangan pemerintahan baru. “Ini yang Pak Prabowo percaya,” katanya.
Mukhlison, Dian Amalia, dan Gema Dzikri
Tingkat Upah yang Tak Kenal Pekerja Informal
Kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak terlalu berefek bagi pekerja informal. Di Indonesia jumlah pekerja yang tak tercatat oleh sistem ini jumlahnya lebih besar daripada pekerja kantoran atau perkerja formal. Sekitar 60% angkatan kerja di Indonesia adalah pekerja informal. Seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek online, pekerja rumah tangga, buruh harian lepas, seniman, dan freelancer.
Mereka ini profesional yang memiliki pendapatan lebih rendah dari upah minimum, sementara upah minimum adalah upah terendah yang ditetapkan pemerintah untuk pekerja formal agar tidak hidup di bawah standar kelayakan.
Populasi pekerja informal juga punya efek samping. Bank Dunia menyebut, pasar kerja Indonesia yang didominasi sektor informal berpotensi membatasi ambisi menjadi negara maju. Karenanya, agar bisa keluar dari jebakan informalitas pekerjaan, Indonesia perlu mereformasi regulasi pasar tenaga kerja sekaligus memperluas jaminan sosial.
Hal ini disampaikan Ekonom Senior Bank Dunia William Hutchins Seitz, pada webinar bertajuk Membaca Dinamika Pekerja Informal: Antara Pilihan, Keterpaksaan, dan Tantangan Kebijakan. Acara ini diselenggarakan oleh Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Jakarta, Jumat 24 Oktober 2025.
Pemerintah juga sudah melakukan mitigasi atas banyaknya pegawai informal di Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menegaskan, diperkirakan pekerja informal di Indonesia mencapai 146 juta orang . “Mereka ini tersebar di berbagai sektor industri, dengan kondisi tempat kerja yang beragam dan tingkat kesejahteraan yang beragam,” kata Yassierli.

Dia mengungkapkan pemerintah tengah mencoba mencari solusi terbaik agar tingkat kesejahteraan para pekerja dapat meningkat. Upaya utama yang disampaikan Yassierli adalah kenaikan UMP yang pada tahun ini ditetapkan satu angka, yakni 6,5% secara nasional.
Upaya lainnya adalah pemberian bonus hari raya bagi pengemudi dan kurir online, pemberian diskon 50% jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan kematian (JKM), hingga bantuan subsidi upah (BSU).
Bagaimanapun bonus demografi dan surplus tenaga kerja yang besar di satu sisi memang bisa jadi berkah, namun di sisi lainnya malah bisa jadi beban. Apalagi lapangan kerja di sini, yang mampu menyerap tenaga formal tidak tumbuh secepat laju penduduk usia kerja.
Persoalan tambah rumit jika ada kenaikan upah yang membebani pengusaha. “Kalau UMP-nya naik, orang justru makin sulit masuk ke sektor formal,” kata Deni Friawan peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Naiknya upah minimum yang tak diimbangi produktivitas, menurutnya, justru berpotensi memperbesar sektor informal. “Akan lebih sedikit yang bisa bekerja di sektor formal, karena pengusaha menahan rekrutmen. Akibatnya, makin banyak orang yang bekerja di sektor informal,” jelasnya.
Deni menegaskan, perbedaan antara dua sektor itu bukan sekadar soal gaji tetap atau tidak tetap. “Kalau di sektor formal, ada jaminan kerja, ada BPJS, ada aturan dan jam kerja yang jelas. Itu kan lebih baik,” katanya. Ketika upah minimum naik terlalu tinggi, sebagian pengusaha enggan menanggung biaya tambahan itu dan memilih tidak membuka lapangan kerja baru.
“Jadi orang yang enggak dapat kerja di sektor formal akhirnya pindah ke informal. Makin banyak yang jadi ojek online, misalnya. Tapi makin banyak ojek online, persaingannya juga makin ketat, potongannya besar, dan ordernya makin sedikit,” ujar Deni.

Karena itu, ia ingin agar masyarakat melihat konsekuensi ini secara lebih luas. “Kita paham, beban pekerja hari ini berat. Harga-harga naik, kebutuhan makin tinggi, dan wajar mereka butuh kenaikan upah,” ujarnya. “Tapi pertanyaannya, naiknya seberapa besar? Karena kalau kenaikan terlalu besar dan tidak sesuai produktivitas, konsekuensinya banyak, dari pengangguran sampai pelebaran sektor informal.”
Namun Deni juga menekankan bahwa persoalan ini bukan semata tanggung jawab pengusaha atau buruh. Pemerintah juga seharusnya ikut memikul dengan cara menekan biaya hidup, dengan menurunkan beban rumah tangga pekerja lewat subsidi dan kebijakan publik yang tepat sasaran. “Transportasi murah, pendidikan murah, kesehatan murah, energi murah, itu semua bisa bikin beban pekerja nggak terlalu berat,” ujarnya.
Dian Amalia