Ekonom Senior Bank Dunia, William Hutchins Seitz, memperingatkan tentang dominasi pekerja informal di Indonesia yang mencapai 59,4% pada awal 2025. Fenomena ini diramalkan bisa menjadi hambatan besar bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.
Pekerja informal yang mendominasi, artinya pekerja itu memiliki pendapatan rendah, ada stagnasi formalisasi, sehingga menjadi tantangan signifikan dalam pasar kerja Indonesia.

Meskipun sektor ini menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan penghidupan bagi jutaan keluarga, status informal membuat para pekerja berada dalam posisi sangat rentan. Mereka kerap bekerja tanpa kontrak, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa akses pada jaminan sosial.
Dalam konteks ini, transformasi pekerja informal menuju sektor formal menjadi agenda mendesak, bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan individu, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi nasional
Agar bisa keluar dari jebakan informalitas pekerjaan, Indonesia perlu mereformasi regulasi pasar tenaga kerja sekaligus memperluas jaminan sosial. Hal ini disampaikan William dalam webinar bertajuk Membaca Dinamika Pekerja Informal: Antara Pilihan, Keterpaksaan, dan Tantangan Kebijakan. Acara ini diselenggarakan oleh Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jakarta, Jumat 24 Oktober 2025 lalu.
Stagnasi kontribusi sektor formal
Struktur ketenagakerjaan Indonesia memang belum ideal. Angkatan kerja yang bekerja di sektor informal masih mendominasi. Bahkan lapangan pekerjaan pun lebih banyak dari sektor informal. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) pembukaan lapangan kerja dari Agustus 2024 hingga Agustus 2025 ada sebesar 1,99 juta, dengan komposisi lapangan kerja formal 200.000 dan 1,66 juta lapangan kerja informal.

Pembukaan lapangan kerja yang didominasi oleh sektor informal hanya menambah jumlah pekerja informal yang memang identik dengan pekerja minim perlindungan, baik upah, jaminan sosial, K3, dan kepastian kerja.
Menurut Kepala Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi Asmat, banyaknya lapangan pekerjaan yang menampung tenaga kerja informal, karena terjadi stagnasi kontribusi sektor formal.
Berdasar data ketenagakerjaan dari BPS, porsi tenaga kerja formal dalam dua tahun terakhir bertahan di angka sekitar 42%, bahkan belum kembali ke level pra-pandemi. “Pada 2019, sektor formal kita sempat mencapai 44%. Tapi sampai sekarang belum kembali ke angka itu. Artinya, mayoritas tenaga kerja masih terserap di sektor informal,” jelasnya.
Sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja belakangan ini, menurut Nawawi, antara lain pertanian dan transportasi. Di sektor transportasi, pertumbuhan pesat justru terjadi pada pekerjaan berbasis platform digital seperti pengemudi ojek daring dan pekerja proyek daring. “Ini memang menyerap tenaga kerja, tapi sifatnya informal dan rentan,” ia menjelaskan. “Jadi secara kuantitas terlihat baik, tapi kualitasnya masih lemah.”
Agar perekonomian tetap berkualitas, maka diperlukan lebih banyak pembukaan lapangan kerja formal, sehingga pekerja mendapatkan kepastian upah layak, jaminan sosial dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3, dan kepastian jam kerja serta kepastian bekerja.
Strategi transisi yang simultan
Untuk mempercepat peralihan pekerja sektor informal ke sektor formal, pemerintah sebenarnya sudah merancang tiga strategi utama yang dijalankan secara simultan. Pertama, yaitu menciptakan lapangan kerja formal berbasis ekonomi hijau dan digitalisasi industri.
Kemudian strategi kedua adalah meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan vokasi dan pemagangan industri. Strategi ketiga, memperkuat layanan penempatan kerja lewat digitalisasi sistem nasional melalui platform SIAPKerja.
Langkah ini diambil agar sistem ketenagakerjaan Indonesia bisa lebih kuat dan siap menghadapi perkembangan teknologi serta perubahan cara kerja di masa depan.
Secara prinsip, seluruh strategi tersebut telah sejalan dengan Rekomendasi organisasi buruh internasional atau ILO nomor 204, yang menyerukan negara anggota untuk mendukung transisi dari ekonomi informal ke formal dengan menjunjung hak-hak pekerja, peningkatan produktivitas, dan perlindungan sosial yang inklusif.
Seiring dengan itu, pemerintah terus memperluas cakupan perlindungan sosial, termasuk bagi pekerja informal. Program seperti Kartu Pra Kerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi juga alat strategis dalam membangun daya tahan dan mobilitas ekonomi tenaga kerja.
Dari sisi pelaku usaha, langkah percepatan formalisasi juga dilakukan melalui penyederhanaan prosedur legalitas usaha. Platform Online Single Submission (OSS) kini memungkinkan UMKM untuk mendaftarkan usahanya secara digital, tanpa harus bertemu langsung dengan birokrasi panjang.
Hal ini menjadi pintu masuk penting bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk masuk ke ekosistem formal dan mendapat perlindungan hukum.
Menurut Kepala Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker RI) Anwar Sanusi, upaya mendorong adanya transisi dari dominasi pekerja informal menjadi lebih banyak pekerja formal merupakan tantangan terbesar ketenagakerjaan setahun terakhir.
Bukan hanya karena skalanya besar, tetapi karena pekerja informal umumnya tidak memiliki jaminan sosial, kepastian upah, atau akses pelatihan yang memadai. “Mereka harus menjadi bagian dari angkatan kerja yang kita berikan atensi optimal,” katanya.
Kemnaker juga sudah mencoba membuka jalan melalui penguatan kapasitas pekerja informal dan perluasan jaminan sosial ketenagakerjaan. Namun penetrasinya masih terbatas. Dari sekitar 900.000 usaha menengah, 4 juta usaha kecil, dan lebih dari 12 juta usaha mikro, Anwar mengakui belum semuanya tersentuh skema formal. “Ada beberapa jalur yang sudah disiapkan,” tuturnya, “tapi memang belum semuanya.”

Transisi juga bergantung pada pembenahan regulasi pekerjaan baru, terutama di sektor digital. Banyak pekerja gig atau digital yang sebenarnya bekerja untuk perusahaan besar, namun tetap berada di ranah informal karena regulasinya belum selesai. "Kekosongannya sudah mau diisi tapi isinya belum selesai.” ungkapnya. Tanpa payung hukum, jutaan pekerja digital berpotensi terus berada di ruang abu-abu.
Menurut Anwar, kunci percepatan transisi informal ke formal berada pada orkestrasi lintas kementerian dan lembaga. Dengan hanya 43 BLK (Balai Latihan Kerja) di bawah Kemnaker, ia mendorong pemanfaatan balai pelatihan milik kementerian lain, pemda, komunitas, dan perusahaan. “Kalau semua jaringan bekerja optimal, kita bisa membangun ekosistem kerja yang lebih layak dan berdaya saing,” ujarnya.
Karenanya, menurut Anwar agar bisa mensukseskan berbagai program ini, Kemnaker tidak bisa bekerja sendiri. Selama ini, ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia melibatkan banyak aktor, kementerian lain, pemerintah daerah, dunia usaha, hingga komunitas. “Ada 16 kementerian yang punya balai pelatihan. Tugas kita adalah mengorkestrasi semua itu dalam satu panggung ketenagakerjaan,” ujarnya.
Untuk sektor informal dan UMKM, yang mencakup sekitar 57% tenaga kerja, pemerintah juga berupaya memperkuat pelatihan dan memperluas jaminan sosial melalui koordinasi lintas kementerian. “Mereka juga pekerja. Mereka juga butuh perlindungan,” tegas Anwar.
Kerja bareng itu juga sudah dilakukan dengan negara-negara ASEAN dengan mempromosikan transisi pekerjaan informal menuju pekerjaan formal. Ini menjadi implementasi rencana aksi regional Deklarasi Vientiane tentang transisi dari pekerjaan informal ke pekerjaan formal, menuju promosi pekerjaan yang layak di ASEAN.
Dari kerjasama, ada itu tiga area hasil utama yang menjadi kesepakatan, meliputi penguatan kebijakan, program, dan strategi untuk mempromosikan transisi dari pekerjaan informal ke pekerjaan formal; peningkatan pengumpulan data, penelitian, dan analisis untuk mendukung pengembangan kebijakan dan program; serta peningkatan kapasitas untuk mendukung kebijakan, program, dan strategi yang responsif.
Butuh pekerja terampil
Soal peralihan tenaga informal ke formal, bisa belajar dari sektor garmen dan tekstil. Sektor padat karya ini biasanya merekrut tenaga kerja lulusan SMA/SMK yang memang tidak memiliki keterampilan khusus. Dalam prosesnya, perusahaan garmen dan tekstil ataupun pemerintah kemudian memberikan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam memasuki dunia kerja.
Hal iini juga dilakukan dari sisi pelaku usaha. Mereka, para calon tenaga kerja yang belum punya keterampilan itu, pada saat memulai kerja akan diberikan pelatihan terlebih dahulu, dari yang tidak memiliki keterampilan hingga terbiasa dalam melakukan pekerjaannya.
“Jadi konsepnya di industri garmen biasanya merekrut lulusan baru ini dari tidak bisa, dilatih menjadi bisa, lalu menjadi biasa, dan multiskill,” kata Wakil Ketua Umum Tenaga Kerja & Pengembangan SDM Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) Nurdin Setiawan.
Menurut Nurdin, saat ini Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan ataupun Kementerian Perindustrian juga sudah mulai men-support dengan pendidikan-pendidikan vokasi yang khusus di industri garmen dan tekstil.
Seperti di bawah Kementerian Ketenagakerjaan Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP).dan di Kementerian Perindustrian ada Balai Diklat Industri. “Pemerintah sudah banyak men-support terhadap industri padat karya untuk menyiapkan tenaga kerja kita menjadi siap kerja,” jelasnya.
Bersiap menghadapi kebutuhan masa depan
Di sisi lain, penyiapan transisi tenaga kerja ke sektor formal di masa depan juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan otomatisasi dan transisi menuju ekonomi hijau. Namun menurut Kepala Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nawawi Asmat, kesiapan tenaga kerja nasional masih tertinggal jauh.
“Kita masih didominasi angkatan kerja berpendidikan menengah ke bawah. Padahal kedepan dibutuhkan literasi digital, bahkan literasi AI,” ujarnya.
Ia mencontohkan sektor kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang diproyeksikan menjadi penyumbang lapangan kerja besar dalam ekonomi hijau. Sayangnya, pelatihan tenaga kerja dalam negeri belum mengarah ke kebutuhan tersebut.
“Produsen EV seperti BYD dan Hyundai akhirnya membangun training center sendiri karena tidak menemukan teknisi yang siap,” kata Nawawi. “BLK kita belum update dengan perkembangan teknologi.”
Persoalan klasik lain adalah lemahnya keterhubungan antara dunia pendidikan dan industri. Nawawi menilai program link and match belum berjalan optimal. “Kampus besar mungkin punya koneksi, tapi sebagian besar perguruan tinggi kita tidak,” ujarnya. “Akibatnya, perusahaan besar memilih mendidik sendiri tenaga kerjanya.” Ia menyoroti bahwa program pemagangan pun masih belum menyasar sektor swasta secara masif, padahal seharusnya perusahaanlah yang menjadi aktor utama.
Nawawi juga menekankan bahwa keberhasilan penciptaan kerja ke depan ditentukan oleh investasi serius pada sumber daya manusia. “Setiap tahun ada sekitar 3,5 juta angkatan kerja baru. Kalau tidak disiapkan lapangan kerjanya, mereka akan menjadi penganggur baru,” katanya.
Menurutnya, pemerintah perlu menyeimbangkan strategi jangka pendek dan jangka panjang: membuka lapangan kerja padat karya untuk menyerap tenaga kerja saat ini, sekaligus membangun sistem pelatihan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masa depan.
“Kalau tidak, ekonomi bisa tumbuh, tapi yang menikmati justru tenaga kerja dari luar,” ujar Nawawi. Ia juga menegaskan pentingnya pemerataan fasilitas pelatihan kerja, terutama di luar Jawa.
“BLK dan training center kita masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT itu masih sangat minim. Padahal di sanalah potensi tenaga kerja ke depan,” jelasnya.
Mukhlison, Dian Amalia, dan Gema Dzikri