Bunga KIPK Jauh Lebih Rendah, Gairahkan Industri Padat Karya

Melalui program Kredit Industri Padat Karya (KIPK), pemerintah memberi subsidi potongan bunga hingga 5%. Debitor mendapatkan bunga kredit 6% per tahun, lebih rendah dari bunga kredit biasa 12%-13%.

Bunga KIPK Jauh Lebih Rendah, Gairahkan Industri Padat Karya
Pengunjung memilih produk dalam Pameran Industri Kecil dan Menengah (IKM) Bali Bangkit di Taman Budaya Bali, Denpasar, Bali, Sabtu (6/9/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.

Pengusaha mikro kecil menengah menikmati insentif keringanan bunga kredit dari program Kredit Industri Padat Karya (KIPK). Melalui program ini, pemerintah memberi subsidi potongan bunga hingga 5%. Bunga kredit yang lebih murah pun menggairahkan sektor industri padat karya agar terus meningkatkan kapasitasnya.

Putu Agus Aksara Diantika, pemilik Dian’s Rumah Songket dan Endek, merupakan salah satu debitor BPD Bali dalam program KIPK. Putu Agus menilai bunga rendah menjadi daya tarik utama KIPK dibanding kredit komersial. Jika biasanya bunga mencapai 12%–13%, KIPK hanya mengenakan sekitar 6% per tahun.

Ia menyebut subsidi 5% dari pemerintah membuat beban bunga terasa jauh lebih ringan. “Kami bisa memutar modal lebih leluasa karena biaya bunga jadi kecil,” ujar pria berusia 32 tahun tersebut, dihubungi Minggu (7/9/2025).

Selain bunga, tenor hingga delapan tahun juga dianggap sesuai dengan kebutuhan investasi alat produksi. Putu menyebut kredit tidak hanya bisa digunakan untuk pembelian mesin, tetapi juga modal kerja bagi para perajin. Dengan fleksibilitas itu, ia berencana memperluas kapasitas produksi sekaligus memperbarui peralatan.

Dukungan dari program ini juga ia rasakan dalam bentuk promosi maupun pelatihan tambahan. Ia menilai BPD Bali tak hanya menyalurkan kredit, tetapi juga memberi bantuan non-finansial agar mitra binaannya bisa berkembang. Dukungan ini menurutnya membuat pelaku usaha lebih percaya diri memperluas pasar sekaligus meningkatkan kualitas produk.

Tentang KIPK

Baru-baru ini, pemerintah meluncurkan program KIPK dengan plafon pinjaman antara Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar, subsidi bunga sebesar 5%, serta tenor hingga delapan tahun. Skema ini ditujukan untuk membantu pelaku industri meningkatkan produktivitas, memperluas lapangan kerja, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut program ini sebagai tonggak penting bagi daya saing industri. “Dengan KIPK, pelaku industri bisa melakukan ekspansi maupun modernisasi produksi dengan lebih ringan,” ujarnya dalam siaran resmi, Kamis (4/9/2025).

Sosialisasi perdana program berlangsung di Bali, daerah yang dinilai memiliki dinamika industri kuat dari tekstil, makanan, furnitur, hingga kerajinan. Dalam kesempatan itu, penandatanganan perjanjian kerjasama pembiayaan dilakukan dengan BPD DIY, melengkapi enam bank penyalur yang sudah bergabung sebelumnya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (kanan) didampingi Gubernur Bali Wayan Koster (kiri) meninjau Pameran Industri Kecil dan Menengah (IKM) Bali Bangkit di Taman Budaya Bali, Denpasar, Bali, Sabtu (6/9/2025). Pameran tersebut diselenggarakan guna mendukung upaya promosi dan pemasaran berbagai kreasi pelaku IKM Bali seperti produk kerajinan, perhiasan, aksesoris, serta fesyen. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.

Penyaluran perdana pun dilakukan secara simbolis oleh BPD Bali kepada tiga pelaku industri lokal di sektor makanan, tekstil, dan furnitur. Kehadiran program ini juga dinilai Gubernur Bali Wayan Koster selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan di daerah.

Program KIPK dirancang sebagai tindak lanjut arahan Presiden Prabowo agar industri padat karya semakin berdaya saing. Data Sistem Informasi Industri Nasional menunjukkan terdapat 3.739 pelaku industri yang berpotensi menerima manfaat program ini.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan perluasan akses sehingga semakin banyak industri kecil menengah (IKM) yang bisa terlibat. Harapannya, program ini tidak hanya membantu modal kerja tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja baru di berbagai daerah.

Sambutan pelaku industri

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menyambut baik hadirnya program KIPK karena dianggap relevan dengan kebutuhan subsektor furnitur dan kriya. Ketua HIMKI Abdul Sobur menilai skema ini mampu mempercepat revitalisasi mesin produksi, meningkatkan efisiensi, serta memperluas kesempatan kerja.

Menurutnya, dukungan pembiayaan ini menjadi langkah penting untuk memperkuat daya saing di tengah kompetisi global. “Ini respons proaktif pemerintah untuk mendukung transformasi industri padat karya,” kata Abdul.

Meski begitu, HIMKI menyoroti realisasi program yang dinilai masih jauh dari target. Hingga kini, penyaluran KIPK baru mencapai sekitar Rp 744 miliar dengan 347 calon penerima dari 12 bank penyalur. Angka itu dinilai masih sangat kecil dibanding dengan plafon yang dipatok pemerintah sebesar Rp 20 triliun. HIMKI menekankan perlunya penyempurnaan skema agar lebih inklusif, terutama bagi IKM dengan skala usaha lebih kecil.

Hingga kini, penyaluran KIPK baru mencapai sekitar Rp 744 miliar dengan 347 calon penerima dari 12 bank penyalur. Angka itu dinilai masih sangat kecil dibanding dengan plafon yang dipatok pemerintah sebesar Rp 20 triliun.

HIMKI juga menekankan pentingnya alokasi khusus bagi subsektor furnitur dan kerajinan yang terbukti menyerap banyak tenaga kerja dan berbasis lokal. Dukungan itu diyakini dapat memberikan efek domino pada ekonomi daerah, dari tenaga kerja langsung hingga rantai pasok bahan baku. Selain itu, subsektor ini memiliki potensi ekspor yang kuat, sehingga bisa meningkatkan kontribusi terhadap devisa nasional.

Abdul mengatakan HIMKI siap berperan aktif sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah, perbankan, dan pelaku usaha. HIMKI berkomitmen membantu anggotanya dalam memenuhi persyaratan administratif yang kerap menjadi hambatan. Melalui pelatihan dan pendampingan, mereka berharap akses ke KIPK semakin terbuka lebar. Upaya itu juga mencakup mempertemukan langsung IKM dengan bank penyalur agar proses penyaluran berjalan cepat dan tepat sasaran.

Catatan dan tantangan

Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengapresiasi niat pemerintah meluncurkan KIPK, namun desain program ini masih memiliki kelemahan mendasar. Menurutnya, persyaratan administratif dan batas minimal jumlah tenaga kerja membuat banyak pelaku industri kecil sulit mengakses fasilitas tersebut.

“Kebanyakan pelaku padat karya kita masih skala kecil, jarang yang mampu memenuhi syarat 50 tenaga kerja,” ujarnya.

“Kebanyakan pelaku padat karya kita masih skala kecil, jarang yang mampu memenuhi syarat 50 tenaga kerja,” ujar Deni Friawan.

Ia menekankan bahwa meskipun bunga disubsidi pemerintah, risiko kredit macet tetap sepenuhnya ditanggung oleh bank penyalur. Kondisi ini berbeda dengan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memiliki penjaminan khusus.

Akibatnya, perbankan cenderung lebih hati-hati menyalurkan pembiayaan, sehingga realisasi kredit berjalan lambat. Situasi ini diperburuk oleh banyaknya pelaku usaha informal yang belum memiliki legalitas lengkap.

Selain itu, ada kekhawatiran program ini tidak tepat sasaran. “Ada potensi yang akses program ini justru pelaku usaha besar karena lebih mudah memenuhi syarat,” kata Deni.

Hal ini bisa mengurangi efektivitas program dalam menciptakan lapangan kerja baru. Ia menekankan perlunya pengawasan ketat agar KIPK benar-benar menyentuh kelompok sasaran yang paling membutuhkan.

Tak kalah penting, Deni menyoroti aspek sosialisasi dan pendampingan pada calon penerima KIPK. Menurutnya, banyak pelaku IKM belum mengenal detail program KIPK, apalagi memahami syarat administratif yang cukup rumit. “Niatnya sudah baik. Tapi tanpa pendampingan dan pemahaman mendalam terhadap kondisi pelaku usaha, program ini sulit menjawab tantangan riil di lapangan,” kata Deni.

Instagram Diansongketbali

Putu Agus juga menilai program ini masih bisa disempurnakan. Ia berharap pemerintah menambahkan grace period selama enam bulan setelah pencairan kredit agar IKM punya ruang memutar modal terlebih dahulu sebelum mulai membayar cicilan. “Dengan begitu, program ini akan makin ramah bagi pelaku IKM,” ujarnya.

Deni menekankan bahwa hambatan industri padat karya tidak hanya soal biaya kredit, melainkan juga lemahnya permintaan dan daya beli masyarakat. Menurutnya, kredit murah tidak otomatis mendorong investasi jika pasar tidak mampu menyerap produk. Karena itu, ia menilai program perlu didukung kebijakan yang lebih menyeluruh, termasuk koordinasi lintas kementerian dan langkah pemulihan daya beli.