Kerjasama Bilateral Indonesia - Jerman Jadi Solusi Diversifikasi Bisnis Atasi Dampak Tarif

Dengan memilih Jerman sebagai mitra utama, Indonesia sejatinya menemukan kawan sepenanggungan yang saling menjawab kebutuhan satu sama lain.

Kerjasama Bilateral Indonesia - Jerman Jadi Solusi Diversifikasi Bisnis Atasi Dampak Tarif
Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia Ralf Beste (keempat dari kiri) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima dari kiri) secara resmi membuka The 9th KAS-CSIS Germany-Indonesia Strategic Dialogue di Jakarta, Selasa (4/11/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana
Daftar Isi

Evaluasi dan komitmen penguatan kerja sama perdagangan bilateral menjadi langkah awal Indonesia-Jerman menjalin kerjasama di tengah ketidakpastian ekonomi jelang penerapan tarif resiprokal.

Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia Ralf Beste menyatakan, sejak mulai bertugas di Jakarta tiga bulan lalu, dia mendapati besarnya antusiasme dan dinamika Indonesia seputar tercapainya kesepakatan I-EU CEPA.

"Antusiasme tersebut menandakan bahwa Indonesia bukan hanya pasar terbesar, melainkan juga pasar yang berkembang sangat cepat dan siap bekerja sama dengan Jerman untuk mencapai cita-cita kemakmuran berdasarkan kepentingan ekonomi bersama," ujar Beste dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (04/11/2025).

Menurut dia, kerjasama itu sekaligus bisa memanfaatkan momentum penandatanganan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA), perdagangan dan investasi ke mancanegara menjadi kunci yang sesungguhnya sangat penting bagi perusahaan-perusahaan Jerman.

Namun, beban administratif birokrasi dan waktu yang berlarut-larut menjadi hambatan untuk perusahaan Jerman menjangkau pasar mancanegara untuk perdagangan maupun penanaman modal.

"Saya mengemban kepercayaan untuk meningkatkan iklim investasi dan meningkatkan volume perdagangan, mengundang pengusaha Jerman ke Indonesia sebagai destinasi investasi, serta mengidentifikasi potensi perdagangan yang belum tergarap dengan baik. Saat ini menjadi waktu yang tepat, dengan memanfaatkan momentum CEPA yang baru saja ditandatangani," tegasnya.

Mempertegas penjelasan Duta Besar Beste, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, penguatan kerja sama dengan Uni Eropa secara umum dan Jerman secara khusus amat penting untuk akselerasi ekonomi Indonesia mencapai pertumbuhan 8% pada 2029. I-EU CEPA yang baru disepakati, menurut Airlangga, menjadi dokumen CEPA dengan cakupan paling lengkap dan rinci dibandingkan dokumen serupa dengan Peru dan Kanada.

Baca juga:

Peluang Ekspor Dari Kanada dan Eropa, Apa Saja?
IEU-CEPA bisa menghapus hingga 98% tarif, mengurangi hambatan perdagangan barang dan jasa, serta membuka peluang investasi.

"Dengan neraca perdagangan mencapai USD 15.635,01 juta antara Uni Eropa dan Indonesia, I-EU CEPA meningkatkan hubungan kedua negara dari rekan dagang biasa menjadi mitra strategis. Pasar Eropa yang menerapkan standar tinggi kini telah terbuka untuk produk-produk Indonesia, termasuk produk-produk halal yang disepakati," ucapnya.

Dari Jerman, Indonesia mengharapkan impor mesin-mesin industri dan teknologi mutakhir yang mampu meningkatkan kapabilitas integrasi dengan rantai pasok global. Selain itu, penyiapan kebijakan online single submission dan pembentukan satuan tugas debottlenecking menjadi dua langkah pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang ramah investasi luar negeri.

"Indonesia dan Jerman perlu menjadi mitra yang lebih kuat di masa depan, dan dengan I-EU CEPA serta dukungan dari pemerintah Jerman, tibalah saat kita untuk bertindak, karena lingkungan dan ekosistem sudah tercipta," pungkas Airlangga.

Lebih konstruktif

Dengan memilih Jerman sebagai mitra utama, Indonesia sejatinya menemukan kawan sepenanggungan yang saling menjawab kebutuhan satu sama lain. Indonesia membutuhkan akses pasar dan teknologi untuk meningkatkan kapasitas dan standar industri sesuai kriteria negara maju, sementara Jerman membutuhkan pasar dan sumber daya strategis untuk produksi dalam negerinya.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk World Trade Organization Iman Pambagyo menyatakan, di saat Amerika Serikat memelopori erosi kepercayaan global terhadap institusi multilateral seperti WTO, perjanjian I-EU CEPA yang berlandaskan norma-norma WTO menjadi bukti keteguhan dan komitmen Indonesia terhadap multilateralisme dan perniagaan berlandas aturan (rules-based trade).

"I-EU CEPA membuka peluang seluas-luasnya untuk diversifikasi, peningkatan kapasitas industri, dan penyelarasan aransemen regulasi untuk mencapai prediktabilitas dan proporsionalitas perdagangan. Dengan tunduk pada I-EU CEPA, Indonesia harus belajar dan mencapai kriteria produk sesuai standar tinggi konsumen Eropa," tegas Iman.

Memperkuat kemitraan dengan Jerman, menurut Iman, menjadi pintu gerbang bagi Indonesia menangguk manfaat besar dari I-EU CEPA. Pasalnya, selain memiliki teknologi dan standar mutu industri yang membantu peningkatan kapasitas industri tanah air, Jerman adalah mitra terpercaya yang mampu membina hubungan dagang secara konstruktif, sekalipun berada dalam koridor peraturan yang ketat.

"Berbeda dengan Prancis yang melancarkan restriksi minyak sawit, Jerman tidak pernah melakukan itu terhadap Indonesia, sehingga lebih konstruktif. Hanya, seperti investor lain, mereka ingin regulasi yang kondusif dan tidak berganti secara mendadak. I-EU CEPA menjadi acuan agar deregulasi yang kita lakukan terarah sesuai kebutuhan mitra," jelas Iman.

Ekspektasi kepastian regulasi tersebut tidak lepas dari pelajaran yang didapatkan pengusaha Jerman dari dua perang dagang AS-Tiongkok. Deputy Chief Executive Officer Unternehmer Baden-Württemberg e.V. Tim Wenniges mengungkapkan, sejak 1970-an, perusahaan besar Jerman dibangun di atas dasar efisiensi dalam pengertian produksi yang tepat waktu, presisi hingga jam, menit, dan detik.

"Sejak perang dagang berkecamuk pada 2018, kami harus mengganti metode produksi yang tidak lagi memaknai efisiensi sebagai presisi, melainkan sambil berjaga-jaga. Ketangguhan untuk diversifikasi, membawa akses pasar dan pengadaan sumber daya ke segmen yang lebih luas, pada akhirnya, menjadi bagian dari efisiensi baru itu," kisah Wenniges.

Bagi industri Jerman, komoditas paling rawan yang terimbas perang dagang adalah mineral tanah jarang dan mesin-mesin elektronik, khususnya baterai lithium yang sangat dibutuhkan. Namun, langkah untuk memperluas pasar ke Asia Tenggara, sebagai salah satu pilihan diversifikasi, tidak dapat dipilih secara serta-merta.

"Di banyak negara Asia Tenggara, Tiongkok berperan sangat dominan, dan diversifikasi sekalipun terikat rantai pasok yang sangat dekat dengan Tiongkok. Akibatnya, Jerman harus siap menghadapi konsekuensi dari peralihan rantai pasok yang sangat memengaruhi hubungan dagang kami dengan AS saat ini," ujarnya.

Kemitraan dengan Indonesia, menurut Wenniges, menjadi penting sebagai kiat bagi industri Jerman memahami pentingnya resiliensi bagi industri di tengah ketidakpastian. Sadar penuh bahwa kapasitas industri skala global milik Tiongkok yang berperan sangat besar di Asia Tenggara, Indonesia menjadi jembatan mengintegrasikan rantai pasok Eropa dengan rantai pasok Asia Tenggara.

"Dengan resiliensi masuk dalam ruang lingkup efisiensi industri, memang ada harga lebih yang harus dibayar industri untuk mendapatkan profit, khususnya ketika kemitraan dengan rantai pasok Tiongkok menjadi pilihan yang tidak terhindarkan," pungkas Wenniges.

Blok raksasa

Kemitraan strategis dengan Indonesia dan Jerman, selain menjanjikan manfaat untuk kedua negara, juga berdampak secara sistemik untuk menekan dampak tarif resiprokal yang saat ini dihadapi negara-negara Asia Tenggara. Senior Fellow ISEAS-Yusof Ishak Institute Jayant Menon menilai, rekonfigurasi rantai pasok bilateral melalui kerangka I-EU CEPA menjadi cara "menembus" dinding tarif dengan memastikan keuntungan maksimal bagi kedua negara.

"Dengan ingkat ketergantungan pada AS mencapai hampir 20% dari perdagangan dunia, perjanjian-perjanjian regional dan bilateral perlu mempertimbangkan kemungkinan kerja sama. Bukan merger, tetap menjadi entitas independen, tetapi dengan hubungan yang lebih kuat, seperti RCEP dan CP-TPP," kata Menon.

Sebagai anggota RCEP, menurut Menon, kemitraan Indonesia-Jerman dapat menjadi inspirasi yang mendorong pendekatan negara anggota RCEP dan negara anggota CP-TPP yang memiliki FTA bilateral dengan Uni Eropa, menciptakan sebuah blok raksasa yang mewakili 2/3 PDB dunia yang berkomitmen pada perdagangan multilateral berlandas aturan.

"Keluarnya Amerika Serikat secara sukarela menciptakan lingkungan baru bagi negosiasi untuk dilanjutkan. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi kerja sama yang lebih besar diperlukan untuk menghidupkan kembali WTO di masa depan, tanpa Amerika Serikat," tutup Menon.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional