Bagaimana kondisi perekonomian saat ini? Bagaimana arah kondisi perekonomian ke depan?
Tidak keliru rasanya dua pertanyaan ini selalu menggema di benak para pengambil kebijakan di semesta dunia usaha.
Di tengah ketidakpastian global dan tantangan domestik yang kompleks, tentu mereka memerlukan pijakan untuk mengambil kebijakan yang tepat. Di sinilah Badan Pusat Statistik (BPS) berperan hadir memberi jawaban dengan data yang akurat dan kredibel. Dengan ditopang tak kurang dari 20.900 karyawan yang tersebar di kantor setiap provinsi bahkan kabupaten/kota di Indonesia, BPS memiliki kekayaan data melimpah yang tentu bisa membantu menavigasi perekonomian dengan tepat.
Untuk membantu mendiseminasi kekayaan data BPS soal perekonomian, Suar.id berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di BPS Lounge, Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (10/11/2025). Selama kurang lebih 75 menit, Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra ditemani tim SUAR Benediktus Krisna Yogatama, Ahmad Afandi, Agung Mahesa, berbincang untuk mengulik makna data perekonomian serta bagaimana data itu bisa membantu membaca arah ke depan.
Pada Rabu (5/11/2025) lalu BPS merilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan (TW) III-2025 yakni 5,04% Year on Year (YoY). Saat ini pemerintahan presiden Prabowo telah melewati 4 TW, karena pemerintahan ini dimulai pada Oktober 2024 atau pada TW IV-2024. Selama empat triwulan tersebut, pertumbuhan ekonomi alami naik turun yakni TW IV-2024 sebesar 5,02%; TW I-2025 sebesar 4,87%; TW II-2025 sebesar 5,12%. Data-data ini menunjukkan tren apa?
Kalau saya melihatnya, mungkin satu hal, pertumbuhan ekonomi dari triwulan ke triwulan itu adalah bentuk dari business cycle. Kadang ada faktor musiman di situ. Ada pula pengaruh faktor eksternal yang kita bahkan tidak bisa hindari. Bahkan ada event-event tertentu yang juga sedikit atau banyak pasti mempengaruhi perekonomian. Misalkan pada TW I-2024 itu kan ada pemilu 2024, maka pertumbuhannya bisa 5,11%. Sedangkan pada TW I-2025 perekonomian tumbuh 4,87% ini karena ada based effect. Basis perhitungannya kan sudah tinggi karena ada event pemilu pada TW I-2024 sehingga karena base effect ini jadi sedikit menipis. Event lainnya seperti momen Idul Fitri dan Idul Adha itu mendongkrak kinerja TW II-2025.
Presiden punya target perekonomian yang sangat fantastis. Targetnya 0-8. 0 untuk 0% persen kemiskinan ekstrem dan 8 untuk 8% pertumbuhan ekonomi. Tapi tidak mudah mencapainya. Dengan tren pertumbuhan ekonomi saat ini, apa yang harus dicermati untuk mengejar target 0-8 itu?
Pertama, yang saya cermati adalah ini sudah awal yang sangat bagus. Karena di tahun pertama, tidak mudah. Tetapi data di sini bisa membuktikan, di zaman pemerintahan Pak Presiden Prabowo, sudah bisa membangun fondasi dan momentum yang sangat baik untuk Indonesia rebound ke depan. Nah, sebagai contoh setiap triwulan tiga, ya, itu secara historis, pertumbuhan ekonomi selalu lebih rendah daripada triwulan dua tiap tahunnnya. Karena apa? Tidak ada event. Triwulan tiga itu selalu habis sudah masa liburan. Untuk domestik, orang sudah tidak banyak bergerak karena tidak ada banyak liburan di situ. Anak sekolah sudah kembali ke sekolah. Liburan musim panas sepotong, ya, karena biasanya liburan musim panas itu yang mempengaruhi wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Itu berakhir biasanya di bulan Agustus. Jadi salah satu yang menggerakkan ekonomi Indonesia di triwulan ketiga ini karena memang ternyata ekspornya luar biasa. Karena memang ternyata beberapa komoditas dan produk ekspor Indonesia ini lagi meloncat cukup bagus. Selain CPO lagi bagus harganya, tapi juga ada produk industri yang kita ekspor seperti produk kimia, farmasi, itu tumbuhnya luar biasa, ekspornya. Lalu juga ada ekspor dari produk hasil kilirisasi, yaitu produk lokal dan turunannya, Nah, itu yang menjadi bantalan dari ekspor Indonesia saat ini. Nah, kemudian yang kita lihat juga adalah sejauh dengan ekspor yang tinggi, aktivitas industri manufaktur juga ternyata tumbuhnya relatif sangat baik. Kalau kita cermati, biasanya dulu kan kita sering mendengar istilah ada deindustrialisasi dini. Jadi deindustrialisasi dini itu adalah suatu fenomena dimana seharusnya industri menjadi motor menggerak dari suatu ekonomi negara berkembang, tetapi di Indonesia kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ini terus menurun. Ini karena pertumbuhan industri manufakturnya lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Tapi ternyata ini ada satu pembalikan fenomena. Yang mungkin belum disadari oleh banyak orang, yaitu sejak triwulan II-2025, pertumbuhan dari PDB industri manufaktur sudah di atas dari pertumbuhan ekonominya.
Ini menarik ya. Pada TW II-2025 terjadi rebound pada industri manufaktur kita ya…
Deindustrialisasi sempat terjadi di seluruh dunia. Di masa sebelumnya, betul. Sekarang rebound. Saya berharap ini terus bisa berlanjut.
Apa artinya rebound industri manufaktur ini terhadap pengambilan keputusan di pemerintah pusat maupun daerah?
Saya mencermati fenomena pertumbuhan ekonomi daerah. Saat ini terlihat bahwa daerah bisa tumbuh cepat, bahkan double digit. Hal itu karena adanya industrialisasi hilirisasi di daerah tersebut. Di Maluku Utara misalnya, pada TW III-2025 perekonomiannya tumbuh 39,10%. Lalu sempat waktu itu Sulawesi Tengah yang pernah beberapa tahun lalu bisa tumbuh juga double digit. Jadi kalau kita mencermati fenomena pertumbuhan ekonomi daerah yang direkam oleh BPS, ternyata industrialisasi ini sangat efektif untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Kalau suatu daerah itu diinjeksi dengan suatu aktivitas ekonomi yang besar pasti akan pertumbuhan ekonominya akan tinggi sekali karena basisnya kan kecil. Kue ekonomi memang masih kecil. Tapi ini yang kita coba maintain terus dan ini kita replikasi terhadap ekonomi provinsi lainnya. Hanya saja ada satu pekerjaan rumah yaitu agar pertumbuhan ekonomi ke depan harus inklusif.
Pertumbuhan ekonomi yang bisa double digit itu justru di luar pulau Jawa ya?
Iya karena di luar Jawa itu kan size ekonominya kecil ya, tidak sebesar di Pulau Jawa. Setelah Maluku Utara tadi, pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua itu Sulawesi Tengah karena hilirisasi tadi. Lalu juga di Kepulauan Riau (Kepri). Ini menarik karena KEK yang jadi motor pertumbuhan ekonomi. Misal di Kepri itu kawasan khusus industri elektronika elektronika, ada pula khusus reparasi pesawat terbang, dan macam-macam. Di posisi keempat ada Bali yang tumbuh 5,88%. Yang menarik Bali ini tumbuh bukan karena industrialisasi tapi didongkrak oleh wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Tidak ada industrialisasi disitu tapi mereka mengkapitalisasi potensi kekayaan alam dan budaya. Jadi memang unik kalau mencermati bagaimana geliat ekonomi antara satu daerah dengan yang lain. Itu berbeda-beda.
Bagaimana mengenai ketenagakerjaan? Angka pengangguran alami tren penurunan. Artinya semakin banyak angkatan kerja kita yang bekerja. Ada catatan khusus yang bisa disoroti?
Catatan khusus kami adalah, kita harus perlu melihat dulu bagaimana situasi dari pasar ketenagakerjaan kita. Saya punya sebuah diagram yang saya sebut dengan pohon statistik ketenagakerjaan. Nah itu seperti pohon emang kita ini ya. Jadi kita bisa mencermati berapa sebenarnya peningkatan penduduk usia kerja. Jumlah penduduk usia kerja pada Agustus 2025 naik 2,8 juta orang dibandingkan Agustus 2024. Dan ini akan terus naik kan, karena penduduk Indonesia mayoritas penduduk muda. Indonesia juga alami masa bonus demografi. Sehingga penduduk usia kerja itu pasti akan selalu naik. Nah dari penduduk usia kerja ini, tidak semuanya menjadi angkatan kerja. Kenapa? Karena kalau memang dia berusia di atas 15 tahun, tetapi dia masih di sekolah, dan dia masih kuliah, dia bukan angkatan kerja. Ini jumlahnya 64 juta orang. Tapi penduduk usia kerja, yaitu penduduk yang di atas 15 tahun, jumlahnya sekarang 218 juta orang. Dari 286 juta orang Indonesia, sebanyak 218 jutanya adalah usia di atas 15 tahun atau penduduk usia kerja. Nah dari 218 juta ini sebanyak 154 juta diantaranya adalah yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Dari 154 juta angkatan kerja itu ada sebanyak 7,46 juta orang yang menganggur. Jadi angka pengangguran itu dihitung dari yang menganggur dibagi dengan angkatan kerja, maka dapat angka 4,85%. Kalau kita bandingkan dengan Agustus tahun lalu secara persentase atau tingkat pengangguran terbuka memang sudah menurun. Dari 4,91 persen tahun lalu jadi 4,85 persen kan tahun ini. Padahal jumlahnya bertambah ya. Jumlah angkatan kerjanya bertambah. Tetapi penganggurannya menurun. 4.096 orang. Nah yang juga menarik adalah dari angkatan kerja yang naik 1,89 juta orang.

Kalau kita melihat data jumlah penggangguran pendidikan SD, SMP, SMA ini menurun, tapi tingkat justru tingkat pengangguran D4, S1, S2, S3 ini meningkat persentasenya. Idealnya tenaga kerja yang terserap justru yang pendidikan lebih tinggi. Ini seperti ada anomaly. Ada fenomena apa dari data ini?
Pertama, kita harus lihat jumlahnya, jangan hanya persentase. Dan terlihat bahwa jumlah lulusan S1, S2, S3, dari D4 tadi yang memang semakin banyak jumlahnya. Jumlah orang yang menjadi lulusan D4, S1, S2, S3 itu semakin banyak. Karena memang tadi, kita memang di era bonus demografi itu. Yang kedua adalah karena kecepatan dari lulusan S1, D4, S2, S3 Mungkin belum diimbangi dengan kecepatan dari penyerapan lapangan pekerjaan yang membutuhkan lulusan itu Artinya, selain kita meminimalkan mismatch dari jenis pekerjaan dengan jenis lulusan Tetapi juga kecepatan dari penyerapan lapangan pekerjaan untuk lulusan D4, S1, S2, S3 juga harus diimbangi. Nah ini yang perlu dilakukan negara berkembang seperti Indonesia yang punya jumlah penduduk yang besar. Artinya juga angkatan kerjanya besar. Bahkan pertumbuhan ekonomi 5% itu belum cukup. Karena kita harus memastikan angkatan kerja itu bisa terserap dengan semaksimal mungkin. Artinya ekonomi harus tumbuh lebih cepat. Kalau kita lihat, fenomena yang menarik adalah penduduk bekerja dengan pendidikan SD ke bawah itu kan semakin menurun. Artinya, lulusan SD yang langsung bekerja akan semakin turun. Dia akan setelah SD lebih cenderung untuk meneruskan ke SMP, ke tingkat yang lebih tinggi Dan ini kan selaras dengan program wajib belajar 9 tahun, bahkan sekarang 12 tahun ya. Artinya ini kan diiringi oleh fenomena menurunnya penduduk bekerja yang lulusan SD ke bawah. Sebab, belum saatnya dia masuk ke lapangan pekerja.
Kalau dengar paparan anda dan membaca data-data ini seharusnya kita cenderung optimistis ya. Di tengah ketidakpastian global, industri kita bisa rebound dan pengangguran menurun…
Harus optimistis. Karena kita melihat bahwa data-datanya menunjukkan ke arah sana. Ini di tengah situasi global yang tidak menentu sebenarnya. Artinya ekonomi Indonesia ini punya kekuatan untuk tetap tangguh di tengah ketidakpastian global. Karena Indonesia adalah negara dengan perekonomian yang besar. Dengan segala sumber daya yang kita miliki, baik sumber daya alam, sumber daya manusia. Lalu kemudian juga posisi geografis kita. Dan kemampuan kita juga untuk bisa saling mengisi kebutuhan domestik dengan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia secara domestik. Ini adalah sesuatu yang luar biasa.
Dari berbagai data yang dimiliki BPS, apa saja bocoran peluang yang bisa dioptimalkan dari dunia usaha?
Pertama, dari data PDB saja, itu kalau kita lihat lebih detail, kita akan melihat bahwa ada pergeseran dari pola konsumsi masyarakat. Di mana sekarang yang tumbuh tinggi untuk konsumsi masyarakat itu adalah yang terkait dengan transportasi atau mobilitas. Lalu soal komunikasi terkait dengan paket data, mobile phone, streaming. Dan yang kedua adalah terkait dengan restoran dan hotel. Jadi dari situ kita bisa melihat bahwa memang demand dari masyarakat Indonesia itu yang sedang tumbuh tinggi atau di atas 6% penumbuhannya itu dari situ. Yang terkait dengan lifestyle. Kalau kita lihat peluang bisnis pasti dikaitkan dengan demand. Kalau kita masuk mall, tempat yang penuh dan antre itu pasti restoran. Sehingga ada beberapa mal yang saya perhatikan yang merendesain ulang. Merendesain ulang menjadi lifestyle center. Ada bioskop, ada kafe, ada restoran yang dari mulai high-end atau restoran yang biasa saja, ada kafe sekedar untuk nongkrong. Tapi ternyata di situ pasarnya. Berikutnya, kalau saya perhatikan juga orang belanja itu kan pasti terkait dengan lifestyle itu selain makanan adalah skincare. Itu sudah satu trend atau kebanyakan itu lifestyle. Itu sama dengan fenomena masyarakat yang sudah sangat senang kalau belajar melalui online.