Kekuatan Permintaan Tentukan Efektivitas Insentif Penurunan Suku Bunga Kredit

Untuk menggenjot penyaluran kredit, Bank Indonesia (BI) kembali menerapkan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM). Sejauh mana efektivitasnya?

Kekuatan Permintaan Tentukan Efektivitas Insentif Penurunan Suku Bunga Kredit
Petugas menghitung uang rupiah di Kantor Cabang BNI Pasar Baru, Jakarta, Senin (27/10/2025). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

Industri perbankan memberikan sambutan positif terhadap rencana kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) Bank Indonesia (BI) untuk bank yang bersedia mempercepat penurunan suku bunga kredit sesuai arahan. Meski demikian, sikap wait and see memberi sinyal kuat bahwa dalam menjalankan fungsi intermediasi, kekuatan permintaan kreditlah yang menentukan efektivitas insentif tersebut bagi kinerja perbankan di Kuartal IV 2025.

Arah bauran kebijakan tersebut pertama kali dikemukakan dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Oktober 2025, Rabu (22/10/2025). Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan KLM berbasis kinerja dan berorientasi ke depan mulai efektif 1 Desember 2025 dengan mekanisme pemberian insentif kepada bank atas komitmennya menyalurkan kredit pembiayaan kepada sektor tertentu dan menetapkan suku bunga kredit pembiayaan yang sejalan dengan kebijakan BI.

"Insentif KLM yang dapat diterima terdiri dari insentif lending channel sebesar 5% DPK dan insentif interest channel sebesar 0,5% DPK. Total insentif yang akan diterima menjadi paling tinggi 5,5% DPK, naik dari insentif sebesar 5% DPK pada periode sebelumnya," ujar Perry.

Lebih lanjut Perry menjelaskan, untuk jenis lending channel, insentif diberikan untuk bank yang bersedia menyalurkan kredit kepada sektor-sektor yang menjadi prioritas pemerintah, yaitu pertanian, industri, hilirisasi, ekonomi kreatif, real estate, perumahan, UMKM. Sementara itu, untuk jenis interest channel, insentif diberikan kepada bank yang bersedia mempercepat penurunan suku bunga sesuai arahan BI.

"Besaran insentif yang diterima memperhitungkan faktor penyesuaian realisasi kredit pembiayaan dibandingkan komitmen periode sebelumnya, serta didasarkan pada tingkat kecepatan perbankan menyesuaikan suku bunga kredit baru terhadap kebijakan suku bunga acuan BI," ucapnya.

Melengkapi penjelasan Perry, Deputi Gubernur BI Judha Agung mengungkapkan, insentif KLM itu tidak terlepas dari keputusan BI menurunkan BI Rate sebanyak 6 kali 0,25 bps atau sebesar 150 bps antara September 2024 hingga September 2025 dari 6,25% menjadi 4,75%. Namun, di saat bersamaan, suku bunga deposito hanya turun 29 bps dari 4,81% menjadi 4,52%, sedangkan suku bunga kredit hanya turun 15 bps dari 9,20% menjadi 9,05% per September 2025.

"Dulu, BI melihat dulu realisasinya, baru kami berikan insentif. Sekarang, bank yang menyatakan komitmen akan langsung diberikan insentif. Tentu, kalau komitmen tidak dilakukan, akan kena penalti. Semakin cepat, semakin besar insentifnya, dan diberi likuiditas lebih tinggi," tegas Judha.

Tanpa segan, Perry menimpali penjelasan Judha tersebut dengan menukas selarik pantun, "Ikan sepat ikan gabus, semakin cepat semakin bagus."

Wait and see

Pelaku industri perbankan menyambut pengumuman tersebut secara positif, mengingat arah kebijakan moneter sebelumnya telah memberikan dorongan yang lebih dari cukup untuk bank mempercepat penyaluran kredit. Meski demikian, sambutan tersebut diikuti dengan wait and see, terutama karena belum adanya peraturan resmi yang mengarahkan bank untuk itu.

Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility Bank Central Asia (BCA) Hera F. Haryn menyatakan bahwa pada prinsipnya, BCA selalu mendukung kebijakan BI selaku otoritas terkait KLM maupun berbagai bauran kebijakan lain yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

"BCA akan mencermati insentif tersebut, berkoordinasi dengan otoritas dan regulator, serta menunggu terbitnya peraturan teknis terkait. Namun, pada umumnya, pertumbuhan kredit akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagai catatan, per September 2025, kredit yang disalurkan BCA tumbuh 7,6% YoY menjadi Rp944 triliun," jelas Hera dalam pesan tertulis yang diterima SUAR, Kamis (29/10/2025).

Berbagi pandangan dengan Hera, Corporate Secretary Bank Mandiri Muhammad Ashidiq Iswara menyatakan, pihaknya memandang kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang dikeluarkan Bank Indonesia sebagai langkah positif dalam meningkatkan transmisi kebijakan dan memperkuat fungsi intermediasi perbankan sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Kebijakan ini sejalan dengan komitmen Bank Mandiri untuk terus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui pembiayaan ke sektor-sektor produktif dan bernilai tambah kepada masyarakat. Kami akan terus menyesuaikan strategi pengelolaan dana sejalan dengan kebijakan moneter, dan tetap menjunjung kehati-hatian serta komitmen terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," jelas Iswara dalam komunikasi tertulis.

Kekuatan permintaan

Dari satu sisi, tanggapan positif bank terhadap rencana penyediaan insentif KLM tersebut mencerminkan kepercayaan diri bank terhadap percepatan permintaan kredit di Kuartal IV 2025, berkat dorongan stimulus yang beredar dalam sistem, serta percepatan belanja akhir tahun. Di sisi lain, tanggapan itu mengirim sinyal kuat bahwa dalam menjalankan fungsi intermediasi, kekuatan permintaanlah yang menentukan efektivitas penurunan suku bunga, bukan penurunan itu sendiri.

Baca juga:

Kredit Triwulan Tiga Tumbuh Melambat, Tancap Gas di Triwulan Empat
Penyaluran kredit pada triwulan III 2025 tumbuh positif dengan nilai Saldo Bersih Tertimbangg (SBT) 82,33 %, sedikit menurun dari triwulan sebelumnya dengan SBT 85,22% namun lebih tinggi dari periode sama tahun lalu dengan SBT 80,64%.

Analis Ekonomi Politik Laboratorium Indonesia 2045 (LAB45) Nadia Restu Utami menjelaskan, efektivitas KLM sangat tergantung pada kondisi makroekonomi, khususnya kekuatan permintaan domestik. Dia menggarisbawahi bahwa sekalipun besar, insentif dikucurkan di tengah kelesuan konsumsi rumah tangga, penurunan daya beli, dan lapangan kerja yang belum pulih sepenuhnya, sehingga langkah memperlonggar kredit belum tentu mendorong pertumbuhan.

"Permintaan kredit bergantung pada ekspektasi pendapatan dan kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi. Ketika kondisi ekonomi lesu, rumah tangga menahan belanja dan dunia usaha menunda ekspansi, sehingga penyaluran kredit cenderung stagnan meskipun likuiditas melimpah," ujar Nadia saat dihubungi SUAR, Jumat (30/10/2025).

Secara teoretis, menurut Nadia, fenomena ini sejalan dengan konsep credit crunch dan teori pertumbuhan endogen demand-following. Investasi baru dan konsumsi akan tumbuh jika ada permintaan efektif di pasar. Dalam ketidakpastian ekonomi, bank menjadi berhati-hati karena risiko gagal bayar meningkat, sementara pelaku usaha enggan berutang. Akibatnya, bagaimanapun BI menyediakan insentif dan memperlonggar kebijakan moneter, kanal transmisi kredit tetap tersumbat.

"Oleh karena itu, sebelum menyalakan mesin moneter ekspansif, pemerintah perlu memastikan fondasi permintaan agregat cukup kuat. Ini berarti mempercepat belanja fiskal produktif, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya beli masyarakat. Dengan demikian, insentif likuiditas BI dapat bekerja lebih efektif karena ada kebutuhan riil terhadap pembiayaan," pungkas Nadia.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional