Memasuki kuartal keempat, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap potensi penerimaan maupun serapan yang harus dikejar hingga akhir tahun 2025. Dengan target belanja yang belum mencapai outlook, pemilihan belanja dengan daya serap tinggi dan mengejar kepatuhan pajak jelang pelaporan SPT menjadi dua cara untuk memastikan APBN 2025 turut mendorong capaian target pertumbuhan di sisa tiga bulan.
Penjelasan tersebut dikemukakan terus-terang dalam Konferensi Pers APBN KiTA edisi Oktober 2025 di Gedung Djuanda I Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/10/2025). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memimpin jalannya konferensi pers bersama Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu.
Purbaya mengawali konferensi pers dengan menjelaskan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang membaik, dengan indeks Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang masih ekspansif karena tensi perang dagang yang menurun. Di sisi lain, kepercayaan investor asing dan domestik stabil dengan yield SBN yang menurun dan spread yang menyempit terhadap U.S. Treasury.
Lebih lanjut, Purbaya menjelaskan kinerja ekspor impor solid di tengah ketegangan global. Ekspor migas naik 9,1%, khususnya hilirisasi logam dan pertanian. Ekspor nonmigas naik 7,7% menjadi USD 208,9 miliar dan impor naik tipis 2,8% sebesar USD 176,6 miliar. Untuk itu, surplus neraca perdagangan berlanjut senilai USD 3,2 miliar di bulan ke-64.
Di dalam negeri, permintaan domestik tetap kuat dengan penjualan ritel menunjukkan kenaikan tertinggi dalam 1,5 tahun terakhir mencapai 5,8% YoY, tingkat konsumsi rumah tangga meningkat 75%, dan konsumsi listrik tumbuh 4,7% YoY di bulan September 2025.
"Kita harapkan kebijakan stimulus ke sistem mulai memicu permintaan masyarakat. Demand mulai tumbuh lagi, karena kalau dikasih uang cukup, permintaan akan tumbuh, terutama kredit dari sektor riil. Ekonomi akan segera menunjukkan pembalikan arah pertumbuhan, dan rupiah akan lebih kuat dari sekarang," ucap Purbaya di depan wartawan.
Coretax untuk kejar penerimaan
Melengkapi penjelasan Purbaya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara merinci realisasi kinerja APBN. Hingga September 2025, belanja negara telah mencapai Rp2.234,8 triliun atau 63,4% dari outlook 2025, sementara penerimaan negara mencapai Rp1.863,3 triliun atau 65% dari outlook 2025. Dari jumlah tersebut, defisit APBN terjaga sebesar Rp371,5 triliun atau 1,56% PDB.
Dari Rp1.863,3 triliun, komponen penerimaan pajak netto mencapai Rp1.295,28 triliun sesudah dipotong restitusi pajak. Karenanya, meski penerimaan pajak bruto lebih tinggi dari tahun lalu secara year-on-year, peningkatan restitusi membuat penerimaan netto lebih rendah dalam kurun waktu yang sama.
"Restitusi ini dikembalikan ke masyarakat, dunia usaha, dan wajib pajak sehingga uangnya beredar di tengah perekonomian dan membantu gerak ekonomi. Ini akan kita pantau terus agar realisasi bruto meningkat sesuai target," ujar Suahasil.
Di luar pajak, penerimaan bea dan cukai telah tumbuh 7,1% menjadi Rp221,3 triliun, dengan cukai meningkat 4,6% menjadi Rp163,3 triliun, bea keluar naik 74,8% menjadi Rp21,4 triliun, dan bea masuk terkontraksi -4,6% menjadi Rp36,6 triliun.
Baca juga:
Suahasil menyatakan, serupa dengan bulan September, peningkatan signifikan bea keluar masih dipengaruhi kenaikan harga CPO dan volume ekspor sawit serta kebijakan ekspor konsentrat tembaga, sementara bea masuk turun karena gejolak harga komoditas pangan dan utilisasi sejumlah FTA untuk barang modal dan keperluan produksi.
Guna mengejar penerimaan di sisa tiga bulan terakhir, secara khusus dari perpajakan, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan akan memaksimalkan penggunaan Coretax yang telah memiliki 2,6 juta wajib pajak (WP) teraktivasi. Kesiapan infrastruktur segera diuji dengan simulator SPT yang siap digunakan untuk stress test akses bersamaan.
Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak akan mengintensifkan pengejaran terhadap daftar 200 prioritas penagihan aktif yang menunggak pajak sebesar Rp60 triliun. Menurut Bimo, dari Rp60 triliun pajak tertunggak, pihaknya telah merealisasikan penagihan sebesar Rp7 triliun.
Rincian terhadap jumlah penagihan tersebut mencakup: 91 WP mengangsur; 5 WP macet, 27 WP dinyatakan pailit, 4 WP dalam pengawasan aparat penegak hukum, 5 WP dalam proses asset tracing, 1 WP dalam penyanderaan, 9 WP dalam proses pencegahan beneficial owner, dan 59 WP dalam tindak lanjut lain.
"Dengan 1,2 juta WP sudah memiliki kode otorisasi dan sertifikat elektronik, kami akan memastikan Coretax siap menerima pelaporan SPT badan maupun perorangan secara masif di akhir tahun ini," tukas Bimo.
Belanja modal lebih cepat
Selain mengejar penerimaan negara lewat intensifikasi pajak, pemerintah memastikan percepatan belanja di tiga bulan terakhir 2025 terealisasi secara optimal, sekalipun dengan capaian 63,4% outlook, pemerintah masih memiliki Rp1.292,7 triliun untuk dibelanjakan agar uang negara tidak kembali masuk ke SAL Bank Indonesia.
"Belanja negara harus kita percepat dengan tetap memperhatikan tata kelola dan efisiensi kegiatan, terutama belanja kementerian/lembaga yang baru mencapai 62,8% dari outlook yang ditetapkan," tegas Suahasil. Untuk itu, percepatan belanja modal yang baru mencapai 50,3% outlook sebesar Rp173,1 triliun akan dimaksimalkan.
Dari jumlah belanja modal tersebut, realisasi pembangunan infrastruktur menjadi kunci agar penyaluran tersalurkan lebih cepat, terutama dengan percepatan pelaksanaan kegiatan serta Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Pembangunan jalan, irigasi, jaringan, gedung, bangunan, serta peralatan dan mesin menjadi solusi belanja yang dapat mempercepat realisasi di sektor ini.
Selain itu, agar kebocoran dapat dicegah, Kementerian Keuangan akan melakukan monitoring Rencana Penggunaan Dana dan mendorong pembayaran termin kegiatan sesuai jadwal, di samping menginventarisasi kendala yang dapat dimitigasi.
Suahasil mengingatkan Kementerian/Lembaga dengan belanja besar yang masih di bawah 50% seperti Badan Gizi Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Pertanian perlu mempercepat belanja sambil monitoring efisiensi. Hingga 3 Oktober 2025, misalnya, BGN baru merealisasikan Rp20,6 triliun dari pagu Rp71 triliun atau 29% anggaran sejak beroperasi pada 6 Januari 2025.
"Selain itu, dengan nilai Transfer ke Daerah cukup besar, kami juga mendorong pemerintah daerah mempercepat realisasi belanja yang bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat, serta mendorong pertumbuhan dan menggerakkan perekonomian," pungkasnya.
Perlu lebih transparan
Meski kinerja penerimaan dan serapan belanja negara mengalami peningkatan dibandingkan capaian bulan lalu, segi transparansi dan parameter serapan belanja negara terhadap outlook dapat dikritisi lebih jauh.
Analis Ekonomi Politik Laboratorium Indonesia 2045 (LAB45) Nadia Restu Utami menilai, penjelasan lengkap APBN 2025 yang tidak lagi diterbitkan di situs Kementerian Keuangan menjadi bukti menurunnya transparansi lembaga Bendahara Negara itu.
"Saat ini, pemerintah hanya sekadar mempublikasikan dokumen konferensi pers yang kuang menjelaskan secara holistik. Dokumen lengkap APBN KiTA yang sebelumnya menjadi tradisi rutin, kini berhenti hanya menjelaskan posisi di akhir November 2024," cetus Nadia saat dihubungi SUAR, Selasa (14/10/2025).
Selain itu, Nadia mengkritisi realisasi belanja negara yang menurutnya tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya karena masih dibandingkan dengan outlook APBN, padahal realisasi seharusnya diukur terhadap pagu APBN 2025 yang sudah dianggarkan di awal tahun.
"Jika dilihat persentase realisasi belanja terhadap pagu, jumlahnya jauh lebih kecil, yakni hanya 61,7%, lebih rendah dari realisasi September 2024 yang mencapai 65%. Selain perlambatan serapan, kondisi ini menunjukkan pagu anggaran lebih besar dari rencana efisiensi di awal tahun," jelasnya.
Akibat pengukuran terhadap outlook dan bukan terhadap pagu tersebut, menurut Nadia, saat ini pemerintah perlu menghabiskan anggaran sebanyak Rp400 triliun per bulan untuk bisa mencapai pagu belanja APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun. Kondisi ini memang tidak lazim, dan disinyalir memperlambat ekonomi di kuartal ketiga.
"Cara-cara mempercepat proses pengadaan barang dan jasa, terutama belanja yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat banyak seperti penyaluran bantuan sosial dan transfer ke daerah dapat ditempuh guna mendorong realisasi hingga akhir Desember 2025," pungkasnya.