Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 4,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Desember 2025 menegaskan sinyal postur kebijakan moneter longgar yang akan berlanjut hingga tahun depan. Strategi ekspansi likuiditas serta insentif bagi perbankan dipersiapkan untuk membantu BI mentransmisikan kebijakan ke sektor riil terjadi lebih cepat.
"Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah masih tingginya ketidakpastian global dengan tetap memperkuat efektivitas transmisi pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah ditempuh selama ini untuk menjaga stabilitas dan mendorong perekonomian nasional," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers hasil RDG BI Desember 2025, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Perry menyatakan, setelah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poins (bps) sepanjang 2025 dan diikuti ekspansi likuiditas moneter, suku bunga di pasar uang dan perbankan mengirimkan respons bervariasi.
Secara kumulatif, suku bunga INDONIA turun sebesar 191 bps dari 6,03% pada awal 2025 menjadi 4,12% pada 16 Desember 2025. Imbal hasil SBN untuk tenor 2 tahun menurun 199 bps menjadi 4,97%, demikian pula suku bunga deposito 1 bulan turun sebesar 67 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,14% pada November 2025.
"Namun, penurunan suku bunga kredit perbankan cenderung lebih lambat dan karenanya perlu terus didorong, yaitu sebesar 24 bps dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 8,96% pada November 2025," ujar Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (17/12/2025).
Akibat lambatnya penurunan tersebut, sekalipun kredit perbankan tercatat tumbuh 7,74% year-on-year (YoY) pada November 2025, fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) masih besar, mencapai Rp2.509,4 triliun atau 23,18% dari plafon kredit yang tersedia.
Padahal, sejak awal tahun, BI telah menurunkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia dari Rp916.97 triliun menjadi Rp735,67 triliun pada 16 Desember 2025. Di samping itu, BI juga telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp327,45 triliun sepanjang 2025. Keduanya bertujuan memastikan likuiditas moneter tetap terjaga.
Berangkat dari situasi lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan dan proyeksi pertumbuhan kredit yang hanya mencapai batas bawah dari target pertumbuhan 8-11%, BI menetapkan dua strategi mengefektifkan ekspansi likuiditas untuk sektor perbankan:
- Memperkuat insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang telah berlaku sejak 1 Desember 2025 dengan menyesuaikan porsi besaran insentif bagi bank yang lebih cepat menurunkan suku bunga (interest rate channel) dari 0,5% menjadi 1% DPK, sementara insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas (lending channel) menjadi 4,5% DPK;
- Memberikan remunerasi sebesar 25 bps di bawah tingkat suku bunga deposit facility, yakni sebesar 3,50%, atas penempatan dana bank pada excess reserves untuk meningkatkan fleksibilitas perbankan memanfaatkan kelebihan likuiditas untuk penyaluran kredit ke sektor riil dan menjaga remunerasi Giro Wajib Minimum tetap sebesar 1,50%.
Melengkapi penjelasan Perry, Deputi Gubernur BI Judha Agung menjelaskan, penguatan insentif KLM tersebut mengacu pada evaluasi dewan gubernur yang memperlihatkan bahwa insentif interest rate channel belum bekerja dengan baik, ditandai lambatnya penurunan suku bunga kredit sebesar 24 bps.
"Per 16 Desember, kami memutuskan insentif lending channel turun dari 5% ke 4,5% DPK, sementara insentif interest rate channel naik dari 0,5% jadi 1% DPK. Sampai saat ini, insentif lending channel sudah diterima 124 bank, tetapi insentif interest rate channel baru 48 bank yang menerima. Ini menunjukkan insentif interest rate perlu terus didorong agar penurunan suku bunga lebih cepat," ujar Judha.
Di samping kedua strategi ekspansi likuiditas tersebut, Perry menargetkan pertumbuhan uang primer adjusted yang mencapai 13,3% pada Desember 2025 akan tetap terjaga double digit sepanjang 2026. Sinergi BI dengan Menteri Keuangan selaku otoritas fiskal akan semakin diperkuat, sehingga aliran likuiditas benar-benar menggerakkan perekonomian.
"Fokus kami akan tetap pada penurunan suku bunga kredit perbankan dan mendorong ekspansi likuiditas ke perbankan agar bersama-sama ekspansi fiskal dan peningkatan kredit pembiayaan akan menggerakkan sektor riil," pungkas Perry.
Sesuai arahan
Menanggapi kebijakan bank sentral tersebut, sektor perbankan telah bekerja keras untuk melaksanakan penyaluran kredit sesuai arahan BI untuk mendorong pertumbuhan dan menggerakkan sektor riil. Kesesuaian tersebut tampak dari sejumlah capaian cemerlang di tahun 2025 yang akan menjadi landasan menavigasi bisnis di tahun 2026.
Baca juga:

Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility Bank Central Asia (BCA) Hera F. Haryn menyatakan, sepanjang 2025, BCA menyalurkan kredit secara pruden ke berbagai segmen dan sektor, selaras dengan komitmen perseroan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
"Total kredit BCA tumbuh sebesar 7,6% YoY menjadi Rp944 triliun. Sementara, total DPK juga mengalami pertumbuhan 7% YoY. CASA tetap menjadi kontributor utama pendanaan BCA dengan nilai sekitar 83,8% dari total DPK, tumbuh 9,1% YoY mencapai Rp999 triliun," jelas Hera dalam keterangan tertulis yang diterima SUAR, Rabu (17/12/2025).
Kualitas kredit yang disalurkan BCA pun terjaga, yang terlihat dari rasio loan at risk (LAR) sebesar 5,5% pada Kuartal-III 2025, membaik dari rasio 6,1% setahun sebelumnya. Demikian pula rasio non-performing loan (NPL) terkendali di level 2,1%. Pencadangan NPL dan LAR juga tercatat memadai, masing-masing sebesar 166,6% dan 69,5%.
"Selaras dengan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif pada 2026, BCA optimistis untuk terus mendorong penyaluran kredit dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang disiplin," pungkas Hera.
Sudah tepat, tetap waspada
Keputusan BI mempertahankan BI Rate tetap pada level 4,75% dan menjaga fokus pada penurunan suku bunga kredit perbankan sudah tepat, khususnya sesudah Fed Fund Rate menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke rentang 3,50% hingga 3-75% pada awal Desember lalu. Meski demikian, kewaspadaan BI perlu ditingkatkan, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian yang meningkat tahun depan.
Peneliti LPEM FEB UI Teuku Riefky menyatakan, dengan menahan suku bunga acuan sesudah penurunan sebesar 125 bps sepanjang tahun, BI memberikan sinyal kepada investor bahwa bank sentral akan fokus pada kestabilan inflasi setelah adanya beberapa episode tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.
"Langkah kebijakan yang diambil BI mengirimkan sinyal yang cenderung positif kepada investor bahwa bank sentral memprioritaskan mandat utamanya untuk mengendalikan nilai Rupiah ketimbang melanjutkan fokus pada pertumbuhan ekonomi melalui pemotongan suku bunga kebijakan," ucap Riefky di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Riefky menjelaskan, dampak dari kombinasi ekspektasi pemotongan FFR dan sentimen positif terhadap langkah BI menahan suku bunga acuan terbukti dengan masuknya arus modal asing ke Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, yang mencapai USD 0,75 miliar hingga 12 Desember lalu.
"Berkat arus modal asing ke Indonesia, Rupiah menguat sebesar 0,11% mtm selama 30 hari terakhir dan berada pada level Rp16.652 per USD pada 15 Desember lalu. Meski demikian, Rupiah masih pada zona pelemahan terhitung sejak awal tahun ini dan memiliki performa lebih buruk daripada sebagian besar mata uang negara berkembang," ucapnya.
Berbagi pandangan dengan Riefky, ekonom senior dan pengajar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Ryan Kiryanto mengharapkan BI tetap menjaga irama keseimbangan kebijakan prostabilitas dan propertumbuhan yang selama ini ditempuhnya, terutama dengan memperhatikan tingkat inflasi barang-barang komoditas yang dikonsumsi publik.
"Suku bunga dipertahankan 4,75% agar menjelang tutup buku, rupiah kita tidak terkoreksi dan stabil, tetapi kebijakan makroprudensial melalui relaksasi dan insentif tetap pro-growth. Harmoni kebijakan ini harus dijaga untuk memastikan 'jamu' pertumbuhan tetap terasa manis, terutama bagi sektor perbankan," ujar Ryan.