Keamanan siber untuk Teknologi Operasional (OT) kini menjadi perhatian di tingkat eksekutif di tengah ancaman digital, terutama di perusahaan dan pemerintahan yang bergantung pada teknologi digital.
Laporan terbaru dari Fortinet, Global 2025 State of Operational Technology and Cybersecurity Report menyoroti pergeseran tanggung jawab yang signifikan dan peningkatan kematangan keamanan siber dari semula dianggap masalah teknis semata, kini menjadi isu strategis yang berdampak pada keberlangsungan bisnis dan operasional.
"Lebih dari separuh (52%) organisasi melaporkan bahwa tanggung jawab atas OT kini berada di tangan Chief Information Security Officer (CISO)/CSO, naik dari 16% pada 2022," demikian pernyataan dalam laporan tersebut yang dirilis 8 Juli 2025.
Tren ini diperkuat dengan fakta bahwa 95% organisasi menyatakan jajaran eksekutif turut memikul tanggung jawab atas OT, melonjak dari hanya 41% di tahun 2022.
"Ini mengindikasikan bahwa keamanan sistem operasional kini dianggap sebagai elemen krusial bagi kelangsungan bisnis dan harus mendapatkan perhatian dari pucuk pimpinan," kata Nirav Shah, Senior Vice President, Products and Solutions Fortinet.
"Perusahaan kini semakin serius menangani keamanan siber," ujar dia.
Shah menambahkan bahwa peningkatan signifikan terkait penugasan tanggung jawab risiko OT kepada jajaran eksekutif, serta laporan peningkatan tingkat kematangan keamanan OT, merupakan indikator positif.
Laporan tersebut juga menggarisbawahi korelasi antara tingkat kematangan keamanan siber OT dengan dampak insiden.
Organisasi dengan tingkat kematangan yang lebih tinggi cenderung mengalami serangan yang lebih sedikit atau lebih efektif dalam menangani taktik dengan kecanggihan rendah.
Meskipun demikian, deteksi taktik canggih seperti advanced persistent threats (APT) dan malware OT masih menjadi tantangan. Namun, secara keseluruhan, dampak intrusi terhadap operasional terus menurun, dengan penurunan signifikan pada gangguan yang berdampak pendapatan, dari 52% menjadi 42%.
Indonesia dengan pusat ekonomi di Asia Tenggara telah mengalami berbagai kasus kebocoran data dan kasus peretasan.
Pada 2023, peretas dengan akun Bjorka diduga meretas sejumlah data pribadi para menteri di Indonesia yang diunggah di sebuah situs jual beli. Kala itu, Bjorka juga mengklaim telah mengantongi 26 juta data pelanggan IndiHome yang berisi mencakup nama lengkap, email, gender, Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan IP Address.
Secara beruntun Bjorka juga mengunggah 1,3 miliar data poin registrasi SIM card yang diklaim dibobol dari Kominfo, yang isinya termasuk NIK, nomor telepon, provider, dan tanggal registrasi.
Tak berhenti di situ pada akhir 2024 lalu, serangan siber terhadap pusat data nasional telah mengganggu layanan publik, termasuk pemrosesan imigrasi di bandara utama, rumah sakit dan operasi instansi pemerintah, menyebabkan antrean panjang karena para petugas menggunakan cara manual.
Akibat serangan ini, sebanyak 210 instansi terdampak baik pusat maupun daerah
Indonesia, telah menghadapi gelombang serangan dunia maya yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan 401 juta serangan dunia maya yang mengejutkan pada tahun 2023 saja.
Bagaimana Dengan Perusahaan di Indonesia ?
Menurut Ari Sutedja K, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), prioritas keamanan Teknologi Operasional (OT) di kalangan eksekutif Indonesia masih beragam. Perusahaan besar seperti Pertamina dan Telkom, yang memiliki infrastruktur krusial, menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi dengan mengintegrasikan keamanan OT ke dalam strategi perusahaan dan menjadikannya topik diskusi di tingkat direksi.
Namun, banyak perusahaan lain, terutama yang belum mengalami serangan siber besar, cenderung menganggap keamanan OT hanya sebagai masalah teknis.
"Startup besar seperti GoTo, yang mengelola pusat data dan infrastruktur digital kompleks, juga menunjukkan peningkatan fokus pada keamanan OT," kata Ari Sutedja kepada SUAR, (15/7)
Ari menambahkan bahwa tantangan utama bagi perusahaan di Indonesia adalah kurangnya pemahaman eksekutif mengenai kompleksitas OT dan dampaknya yang langsung terhadap bisnis.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan strategis untuk mendorong perubahan, termasuk edukasi eksekutif tentang risiko OT, simulasi dampak serangan terhadap bisnis, dan advokasi kebijakan nasional yang lebih tegas.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa ketika keamanan Operational Technology (OT) menjadi tanggung jawab eksekutif, hal ini membawa dampak signifikan pada strategi dan investasi perusahaan.
Dampak
Salah satu dampak utamanya adalah peningkatan anggaran dan fokus pada keamanan siber.
Peningkatan ini tidak hanya mencakup investasi pada teknologi canggih seperti firewall OT dan sistem deteksi intrusi, tetapi juga pada pelatihan sumber daya manusia, pengembangan kebijakan, serta simulasi serangan.
"Perusahaan yang sebelumnya memandang keamanan OT sebagai bagian kecil dari anggaran TI kini mulai melihatnya sebagai prioritas utama dalam pengelolaan risiko," kata dia.
Ia melanjutkan, dampak kedua adalah pendekatan holistik terhadap risiko. Eksekutif cenderung memandang risiko keamanan siber sebagai bagian integral dari manajemen risiko bisnis secara keseluruhan, mendorong integrasi keamanan OT dengan strategi bisnis utama.
Misalnya, risiko terkait OT kini seringkali dimasukkan dalam laporan risiko perusahaan dan menjadi bagian dari diskusi strategis di tingkat direksi.
Tedja menyoroti bahwa tren global menunjukkan perusahaan besar mulai mengangkat Chief Information Security Officer (CISO) atau bahkan Chief Technology Officer (CTO) dengan fokus khusus pada keamanan OT.
Posisi ini bertanggung jawab untuk memastikan sistem OT tidak hanya aman tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi.
"Di Indonesia, perusahaan seperti Pertamina dan Telkom mulai menunjukkan tanda-tanda serupa, meskipun masih dalam tahap awal." Pembentukan posisi seperti ini menunjukkan pemahaman perusahaan akan pentingnya memiliki pemimpin yang fokus pada keamanan OT di tingkat strategis.