Jurus Dinasti "Djarum" Langgeng hingga Generasi Ketiga

Tidak ada rumus tunggal untuk menjaga kelangsungan bisnis keluarga lintas generasi. Setiap keluarga memiliki tantangan, sejarah, dan jalan keluar yang berbeda.

Jurus Dinasti "Djarum" Langgeng hingga Generasi Ketiga
Presiden Direktur Djarum Foundation & Chief Operating Officer (COO) PT Djarum Victor Hartono. Foto: Rohman/SUAR

Tidak ada rumus tunggal untuk menjaga kelangsungan bisnis keluarga lintas generasi. Setiap keluarga memiliki tantangan, sejarah, dan jalan keluar yang berbeda. Itulah prinsip yang dipegang Victor Hartono – salah satu pewaris generasi ke-3 dari bisnis Djarum Group yang telah melintasi berbagai era dan sektor industri.

“Yang saya ceritakan ini bukan solusi untuk semua orang. Ini hanya cerita keluarga kami. Karena setiap situasi pasti butuh pendekatan yang berbeda,” ujar Victor membuka ceritanya.

Sebelum Grup Djarum menjelma menjadi industri raksasa di Indonesia, tak banyak yang ketahui bahwa bisnis keluarga ini bermula dari industri minyak kacang tanah di kawasan Rembang, Tuban, dan Pati—daerah yang dikenal sebagai sentra pertanian kacang. Yang menggarap bisnis ini adalah kakek dan nenek moyang Victor. Adapun dirinya masuk dalam generasi ke-9 soal bisnis minyak kacang ini.

Namun, singkat cerita, bisnis keluarga ini tak bertahan lama. Musababnya, minyak kacang digantikan kelapa sawit, yang digadang-gadang berasal dari Afrika pada awal abad ke-20

“Dulu berpikir minyak kacang akan bertahan selamanya. Tapi ternyata enggak,” ujar dia.

Bagi Victor, sejarah itu menjadi pengingat abadi bahwa bisnis hari ini bisa menopang hidup, tapi tak menjamin masa depan. Keluarga ini pun, kata dia, belajar untuk terus adaptif melawan segala tantangan teknologi dan zaman.

“Jadi, setiap keluarga itu harus ngerti value-nya dari mana, supaya tahu mau ke mana. Kita harus bisa serap baik dan jeleknya dari industri yang kita geluti," ujar dia.

Victor mengakui darah bisnis sudah mengalir dalam DNA-nya. Berbekal status sebagai imigran asal Tiongkok, keluarga ini perlahan membangun fondasi bisnis di Indonesia. Salah satu titik balik terjadi pada 1927 saat sang kakek membuka pabrik mercon Cap Leo. Tapi lagi-lagi, sayangnya, usaha ini tak bertahan lama.

“Waktu Jepang datang tahun 1942, Belanda suruh pabrik ditutup supaya enggak dipakai Jepang. Semua mesiu kami dibawa Belanda. Sejak saat itu enggak pernah ada pabrik mercon legal lagi. Itu trauma besar buat keluarga kami,” tutur Victor.

Selepas masa sulit itu, mereka tetap bertahan. Bahkan pernah ikut membangun landasan bandara Semarang semasa pendudukan Jepang. Bagi keluarga Victor, apapun dilakukan untuk tetap berbisnis di masa peralihan kekuasaan dari Belanda itu.

Dia menyadari ada mitos kutukan generasi ketiga dalam bisnis keluarga. Banyak yang percaya bahwa generasi ketiga sering kali gagal mempertahankan kejayaan pendiri. “Itu mitos. Tapi jangan salahkan generasi ketiga. Karena era bisnis banyak berkembangnya di generasi awal. Yang gagal pun banyak dari sana,” kata dia.

Ia menggambarkan bagaimana struktur keluarga bisnis terus membesar dari awal generasi. Mulai dari generasi pertama diawali oleh satu orang pendiri, lalu berkembang jadi dua orang di generasi kedua, ada tujuh orang di generasi ketiga, dan 18 orang nantinya di generasi keempat.

Menurutnya, masalah dalam mempertahankan bisnis bukan perkara gampang. “Mulai dari pembagian dividen, ego, sampai kepemimpinan. Tapi sejak kecil saya tahu saya pelari estafet generasi ketiga. Jadi saya siapkan diri,” ujar dia.

Kini beban untuk menjaga keberlanjutan bisnis keluarga ada pada tangannya bersama sang adik, Martin Hartono. Bukan cuma itu, dia pun harus memastikan transisi atau peralihan ke generasi empat bisa semulus mungkin.

Namun, Victor tidak ambil pusing. Karena pilihan untuk terjun membersamai bisnis keluarga sudah dipikir sejak dini. Persiapan itu dimulai sejak memilih sekolah. Di jenjang pendidikan menengah atas, dia menaruh pilihan ke SMA BPK Penabur Jakarta dan kemudian kuliah di Northwestern University. Menurutnya, pilihan sekolah itu mendorong cara berpikirnya demi demi mendampingi transisi bisnis antar generasi.

“Saya tahu saya hanya bisa temani transisi generasi kedua, ketiga, dan keempat. Karena itu saya harus siapkan diri sejak awal.”

Dari belajar di ruang kelas dan mempelajari bisnis keluarga besar lainnya yang tersebar di Indonesia dan dunia, Victor mengambil kesimpulan bahwa kepemimpinan dalam bisnis mesti secara meritokrasi, bukan semata garis darah.

“Kalau nanti anak saya enggak mampu, ya sudah, dia cukup terima dividen saja. Tapi kalau anak Martin yang lebih cocok, biar dia yang memimpin. Itu namanya meritokrasi,” urai dia.

Dia mencontoh Roberto Hartono yang kini menjabat orang nomor dua di Polytron adalah hasil seleksi secara merit.  “Saya yang rekomendasikan Roberto waktu itu. Lalu bapak saya lihat dia makin matang, dan akhirnya disetujui jadi direksi. Ini yang kami ulang terus.”

Begitu pula dengan penunjukan Natalia sebagai direktur marketing Djarum. “Karena dia cocok dan punya kapasitas. Itu yang kami dorong,” ujarnya.

Victor mafhum tak semua keluarga mempertahankan bisnis mereka selamanya. Ada kalanya menjual adalah keputusan terbaik. Ia mencontohkan kisah pemilik Bakmi GM yang akhirnya memutuskan menjual bisnis karena generasi penerusnya tidak tertarik.

“Tahun lalu kami enggak punya rencana apa-apa. Tapi tiba-tiba mereka datang, ajak bidding. Mereka (founder) sudah 70 tahun–80 tahun umurnya, bikin bakmi sejak umur 12. Lalu generasi berikutnya enggak tertarik. Ya dijual, itu kan juga solusi yang rukun,” ujarnya.

Begitu juga dengan Soto Pak Denuh di Solo, yang menyelesaikan transisi bisnis lewat sistem buka cabang masing-masing antar anggota keluarga.

Di bisnis Djarum, katanya, kunci keharmonisan keluarga menjadi kunci utama keberlangsungan bisnis. Segala keputusan ekspansi bisnis mesti dilakukan secara dialog terbuka. Dialog yang berlangsung bak model "majelis gereja" untuk pengambilan keputusan. Dalam internal keluarga, bahkan dibikin birokrasi yang ada mengurus bisnis saja, reuni keluarga sampai ke pemakaman.

“Saya dari umur 12 tahun udah kenalan sama notaris keluarga. Supaya nanti bagi harta, porsinya jelas. Nggak ada ‘ani-ani’ yang tiba-tiba muncul,” ucapnya.

Ia bahkan menyentil kisah pengusaha gula Oei Tiong Ham, yang kabarnya punya 20 istri. Cerita dari pengusaha ini bukan tanpa dasar lantaran salah satu kantor Djarum hasil dari akuisisi aset bos gula itu. “Kami belajar dari itu. Jangan sampai ada istri kedua, ketiga, keempat. Lebih baik banyak tabungan daripada banyak istri,” ungkapnya.

Meski bisnis keluarga ini kini menggurita ke berbagai sektor, mereka tidak melihat uang sebagai tujuan. Victor bilang keharmonisan dengan tempat bumi dipijak menjadi hal yang mendukung juga keberlangsungan bisnisnya.

“Kami tinggal di sini juga. Kami mau lingkungan yang sehat, budaya yang kuat, dan negara yang menang terus. Uang itu alat. Tujuannya adalah masa depan yang lebih baik.”

Lantas, Djarum pun menjelma dalam bentuk yayasan yang aktif mendanai beasiswa pelajar, membangun infrastruktur, dan mendukung olahraga. “Kami konsepnya memperbudak uang, bukan jadi budak uang.”

Adapun ekspansi bisnis Djarum ke luar industri rokok sering dipandang sebagai langkah ambisius. Tapi menurutnya, itu lahir dari rasa takut. “Kita takut karena pernah lihat bisnis kacang tanah dan mercon kami mati. Kalau mati, ya mati bareng. Jadi kami harus diversifikasi,” katanya.

Sehingga, tak heran, bisnis Djarum merambah bisnis mulai dari e-commerce, perbankan, hingga olahraga.

Kembali ke soal pembagian peranan anggota keluarga dalam bisnis, keluarga ini membagi peran dengan tegas: siapa yang keluarga sekaligus pemilik dan profesional, siapa yang hanya keluarga, dan siapa yang profesional dari luar. Victor bilang, jangan sampai ada konflik kepentingan yang bisa bikin jatoh bisnis.

“Saya family, saya owner, saya juga employee. Tapi ada juga sepupu saya yang family tapi bukan profesional. Semua ada perannya masing-masing,” ungkap Victor.

Mereka juga mulai mempersiapkan struktur family board untuk urusan sosial dan kemanusiaan keluarga. “Kita harus punya yang ngurus beasiswa, reuni, sampai makam keluarga. Ini penting untuk jaga koneksi keluarga,” katanya.

Victor menyadari buka soal sekadar menjaga kelangsungan bisnis, keluarga Djarum tengah membangun sistem nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mereka percaya bahwa warisan bukan sekadar aset, tapi prinsip hidup: meritokrasi, transparansi, tanggung jawab sosial, dan keteguhan untuk terus belajar dan beradaptasi.

“Kami enggak ingin jadi budak uang. Kami ingin keluarga kami tetap utuh, bisnis kami kuat, dan negara kami lebih baik. Itu saja,” ujar dia.