Masa depan kesejahteraan petani membutuhkan gotong-royong semua pihak guna memastikan rantai pasok berjalan dengan semangat inovasi seturut kebutuhan menopang ketahanan pangan nasional. Memperkuat penelitian varietas unggul di tingkat hulu, mengoptimalkan digitalisasi distribusi pupuk real time, hingga memoles branding beras cadangan Bulog menjadi tiga solusi yang ditawarkan sebagai langkah mengawal pertanian berorientasi masa depan.
Anggota Komisi IV DPR-RI Endang Setyawati Thohari mengatakan, sebagai lembaga legislatif, pihaknya mengapresiasi kinerja Kementerian Pertanian (Kementan) selama ini dalam meningkatkan produksi dan menaikkan nilai jual panen. Namun, dia juga menyarankan agar Kementan lebih aktif terlibat dalam pembuatan grand strategy yang menjamin ketersediaan, kecukupan, keterjangkauan harga, pemenuhan konsumsi, keamanan, mutu, dan gizi pangan.
"Tugas Kementerian Pertanian sebagai pemerintah harus sebagai motor penggerak berbagai kegiatan pengembangan pertanian karena political will Presiden sudah sangat jelas dan kuat , sehingga program baik ini perlu berkelanjutan," ujar Endang dalam diskusi "Outlook Pertanian 2026" yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Salah satu elemen kunci yang Endang harapkan termaktub dalam grand strategy tersebut adalah penguatan inovasi dan teknologi pertanian. Berkaca dari pengalamannya 30 tahun bekerja Kementerian Pertanian, Endang mengamati balai-balai penyuluhan pertanian (BPP) yang tidak diperhatikan dan penelitiannya relatif tidak berkontribusi. Padahal, ketahanan pangan menjadi butir kedua Asta Cita pemerintahan Prabowo Subianto.
Lewat penguatan inovasi pertanian, menurut Endang, Indonesia dapat menghemat cadangan devisa hingga Rp2,97 triliun yang digunakan untuk mengimpor beras khusus stunting dan diabetes serta beras industri sebanyak 364,3 ribu ton. Di samping itu, penelitian varietas unggul juga mampu menggali potensi pangan lokal yang dapat mendiversifikasi sumber gizi masyarakat.
"Di Bogor ada potensi talas, sukun, ubi kayu, ubi jalar, perlu digiatkan. Sayangnya, karena biaya para peneliti tidak memadai, balai-balai penelitian yang dibentuk banyak mubazir, apalagi dengan adanya BRIN. Akhirnya, para peneliti yang mengembangkan varietas lokal ini justru harus kembali ke kementerian masing-masing," ujarnya.
Dari fenomena tersebut, Endang menyadari salah satu hambatan inovasi pertanian di Indonesia adalah disharmoni regulasi dan infrastruktur yang belum memadai. Karenanya, dengan mekanisasi, pemanfaatan Internet of Things (IoT), hingga one map policy yang menyatukan distribusi benih, pupuk, usaha tani, dan irigasi di bawah pengelolaan Kementerian Pertanian, dia mengharapkan sektor pertanian dapat berkontribusi lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi.
"Pertanian adalah ujung tombak kekuatan ekonomi. Dengan pangan melimpah dari hasil kerja pertanian, swasembada pangan akan menyejahterakan rakyat. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Mari kita berjuang untuk kedaulatan pangan, energi, dan air kita," pungkas Endang.
Distribusi pupuk real-time
Beranjak dari sektor hulu, inovasi pertanian di tingkat produksi membutuhkan dukungan, salah satunya, distribusi pupuk yang memadai. Dengan kontribusi hingga 62% terhadap produktivitas tanaman pangan, pupuk menjadi kebutuhan utama yang menjamin panen dapat mencapai target yang diharapkan petani.
Direktur Operasi PT. Pupuk Indonesia (Persero) Dwi Satriyo Annurogo mengungkapkan, dengan kapasitas produksi urea mencapai 9,4 juta ton dan NPK 4,6 juta ton per tahun, PTPI menjadi produsen n-based fertilizer terbesar di Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Dari jumlah tersebut, kebutuhan pupuk subsidi sebagai PSO dapat dipenuhi sesuai permintaan, meski dengan selisih yang relatif tidak besar.
"Tahun 2025 adalah milestones, karena sebelumnya ada anggapan pupuk subsidi itu rumit dan sulit didapatkan. Ternyata pupuknya ada, tetapi sulit ditebus karena ada 145 aturan. Lewat Perpres 6/2025 dan Permentan 15/2025, Pupuk Indonesia ditugaskan menyalurkan sampai titik serah, tidak seperti dulu," kisah Satriyo.
Demi memastikan ketepatan sasaran, kantor pusat PTPI di Jakarta berinovasi dengan mendirikan command center yang dapat memantau langsung setiap transaksi pupuk subsidi di 27.000 kios dan titik serah di seluruh Indonesia. Tak hanya itu, command center juga mampu memantau pergerakan 12 kapal, keluar-masuk barang di 509 gudang, dan pergerakan 6.151 truk pengangkut pupuk hingga identitas jurumudi dan kernetnya.
"Kami memastikan yang boleh menebus hanya petani yang berhak, lengkap dengan fotonya. Dengan kombinasi penyederhanaan regulasi, digitalisasi, dan pembaruan lain, kami bisa mendistribusikan pupuk jauh lebih lancar dari sebelumnya," imbuhnya.
Lewat pantauan data real-time, Satriyo mengungkapkan bahwa hingga 2 Desember 2025, PTPI telah menyalurkan 7.515.999 ton pupuk subsidi atau sekitar 87% dari tanggung jawab tahunan. Jumlah ini lebih tinggi 785.112 ton dari penyaluran pada periode yang sama tahun lalu, yang mencapai 6.730.887 ton per 1 Desember 2024.
Satriyo menengarai, salah satu penyebab serapan pupuk subsidi lebih tinggi adalah potongan harga pupuk yang mulai berlaku pada 22 Oktober 2025 lalu. Secara rinci, pupuk Urea saat ini dapat ditebus dengan harga Rp1.800/kg, pupuk NPK Phonska Rp1.840/kg, pupuk NPK untuk kakao seharga Rp2.640/kg, pupuk organik Rp640/kg, dan pupuk ZA khusus tebu seharga Rp1.360/kg.
Baca juga:

"Upaya kami memberikan yang terbaik bagi ketahanan pangan nasional. Saat ini, kami melakukan ekspansi dengan menaikkan kapasitas produksi dan pengembangan sarana untuk Pupuk Kujang dan Petrokimia Gresik. Karena pupuk merupakan kebutuhan utama, kami perlu mengantisipasi 5-10 tahun ke depan," tandas Satriyo.
Seimbangkan input-output
Dalam memahami ketahanan pangan secara keseluruhan, pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan input dan output produksi pertanian. Ini penting agar Indonesia jangan sampai hanya memacu lonjakan kuantitatif dalam jangka pendek, tetapi justru menurun dalam jangka panjang, di saat kebutuhan pangan meningkat.
Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF Abra Talattov menjabarkan, meski sudah di atas target, rata-rata pertumbuhan sektor pertanian terhadap PDB per kuartal yang mencapai 2,24% masih berada di bawah level optimal prapandemi yang mampu mencapai 3,72%. Karenanya, alih-alih fokus pada perluasan lahan untuk produksi, pemerintah perlu lebih memperhatikan produktivitas panen.
"Sampai akhir tahun ini, produksi gabah dan beras akan jauh lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Lagi-lagi, faktor penentu harus dilihat. Kuncinya adalah sustain. Jangan sampai produksi melimpah, tetapi tahun depan berkurang karena kecepatan permintaan produk pertanian tidak diimbangi kecepatan produksi," ujar Abra.
Menurut Abra, program Makan Bergizi Gratis dapat menjadi salah satu faktor katalis yang mempercepat serapan hasil panen. Di samping itu, tata niaga beras nasional perlu dikawal secara maksimal untuk mencegah kecurangan, antara lain dengan mengoptimalkan pelepasan cadangan beras pemerintah (CBP) yang berjumlah 271.000 ton di gudang Bulog.
"Semakin lambat pelepasan, gudang Bulog tidak bisa menyerap. Ketika gudang penuh tidak bisa menyerap, maka alokasi terkunci, dan bisa jadi problem baru lagi. Harga bisa jatuh, dan ini bisa dimanfaatkan mafia beras tadi," katanya.
Problem pelepasan CBP ke masyarakat, menurut Abra, dapat dipecahkan dengan penguatan branding yang harus lebih meyakinkan dan meningkatkan preferensi masyarakat. Saat ini, pasokan beras SPHP relatif tidak menarik dan konotasi "beras Bulog" masih diasosiasikan dengan beras bermutu rendah.
Padahal, dengan branding lebih menarik seperti "Beras Merah Putih", atau memasok beras Bulog untuk konsumsi anggota kabinet dan DPR, pemerintah dapat mencontohkan bahwa beras Bulog adalah beras bermutu baik, dihasilkan petani Indonesia, dan meningkatkan swasembada pangan untuk konsumen, yang pada gilirannya akan menekan biaya subsidi dan mencapai kemandirian.
"Pemerintah punya komitmen mendorong ketahanan pangan dengan alokasi 144,6 triliun, tetapi serapannya masih 44%, sehingga kecepatan eksekusinya harus didorong, bukan hanya oleh Kementan, tetapi juga berbagai K/L. Jangan sampai pajak lagi-lagi tidak optimal karena lambatnya serapan," tandasnya.