Industri Usul Kebijakan Royalti Adil ke Sektor Minerba

Pengusaha industri pertambangan mengusulkan pemerintah untuk mengadakan evaluasi kebijakan royalti dan kerangka fiskal pada komoditas tambang

Industri Usul Kebijakan Royalti Adil ke Sektor Minerba
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (2/12/2025). Kementerian ESDM menetapkan Harga Batu bara Acuan (HBA) periode pertama Desember 2025 mayoritas menguat, kecuali untuk batu bara kalori tinggi yang turun menjadi 98,26 dolar AS per ton dari 102,03 dolas AS per ton pada periode kedua November 2025. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/bar

Pengusaha industri pertambangan mengusulkan pemerintah untuk mengadakan evaluasi kebijakan royalti dan kerangka fiskal pada komoditas tambang sebagai solusi jangka pendek guna menyelamatkan industri.

Hal itu dilakukan, guna memahami penurunan kontribusi mineral dan batubara (minerba) usai terimbas dampak disrupsi rantai pasok global.

CEO Tura Consulting Indonesia dan Wakil Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Resvani mengatakan kelindan peristiwa geopolitik menjadi sebab utama penurunan harga komoditas minerba yang masih berlangsung.

Akibatnya, dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia justru mengalami oversupply akibat berkurangnya permintaan pasar.

"Nikel hari ini masih ada stok 200.000 ton LME, sementara produksi baterai EV sekarang berbasis lithium iron-phospate (LFP), bukan lagi nikel. Harga tembaga naik, begitu juga harga emas, tetapi downtrend batubara masih parah akibat tensi geopolitik yang berdampak pada rantai pasok," ucap Resvani dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (11/12).

Ia menjelaskan total nilai dari hasil tambang utama di Indonesia mencapai USD 7 triliun.

Dari nilai yang sangat besar ini, ujar dia, pemerintah bisa mendapatkan pemasukan total sebesar USD 1-2 triliun, yang didapatkan dari 50% bagian dari total pendapatan pemerintah (total government takes (TGT)) lewat pajak, royalti, dan bea cukai dari delapan komoditas minerba (batubara, bauksit, nikel, tembaga, timah, besi, emas, dan perak).

Namun, proyeksi tersebut niscaya tidak akan tercapai jika pertambangan tidak dikelola dengan baik. Pemerintah diharapkan mampu bersikap bijak dan menerapkan kerangka fiskal yang tepat dan mendukung.

Saat ini, hampir lebih dari separuh perhatian pelaku industri tambang harus terfokus pada perubahan tarif royalti bahan tambang yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022.

Industri menganggap aturan ini menambah beban usaha, karena menambah rentang tarif yang harus dibayar setiap kali produksi.

"Salah satu perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bahkan membayar royalti sampai 75% dari seluruh pendapatannya. Perbedaan rezim fiskal batubara dan nikel benar-benar sangat jauh, dan kenaikan ekstrem royalti sangat tidak ramah kepada pemilik Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) atau pemilik smelter," imbuhnya.

Para panelis seminar "Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba" di Jakarta, Kamis (11/12/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana

Resvani menjabarkan, para pemilik smelter menghadapi beberapa tantangan sekaligus: kenaikan royalti terjadi saat harga patokan mineral (HPM) diregulasi, sementara saat perusahaan harus membeli bijih untuk mencukupi kebutuhan produksi, mereka dikenai royalti juga.

Dua perusahaan yang telah mengalami kasus royalti ganda ini adalah PT. Aneka Tambang dan PT. Wanatiara Persada.

Tanpa penyelesaian yang jelas, porsi TGT yang ditarik pemerintah dari pengusaha tambang semakin tinggi saat harga komoditas turun dan biaya produksi naik.

Pola ini, menurut dia, dianggap terbalik, karena tarikan pemerintah semestinya dinaikkan saat laba perusahaan bertambah, yaitu ketika harga komoditas naik dan biaya produksi turun.

"Tarif royalti tambang Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dan justru bertahan di saat harga komoditas turun. Akibatnya, kita berpotensi kehilangan cadangan karena industri tambang berpeluang tutup di saat harga sedang jatuh," tegas Resvani.

Untuk mencegah kegagalan industrialisasi minerba dalam jangka panjang, perlu strategi tepat untuk setiap komoditas bahan tambang. Menurutnya, ada mineral yang mempunyai peran lebih untuk menunjang kebutuhan fiskal dan ada yang tidak. Diferensiasi strategi fiskal menyesuaikan karakteristik pasar komoditas tambang, bukan sebaliknya.

"Indonesia dapat belajar dari Undang-Undang Minerba Chile yang berfokus pada model hybrid. Di sana, royalti ad valorem hanya dikenakan 1% ditambah pajak margin progresif antara 8-26%, disertai tax burden cap yang otomatis memotong royalti apabila pajak naik. Cara ini terbukti lebih ramah dan secara bertahap meningkatkan kontribusi pertambangan pada penerimaan negara," pungkas Resvani.

Tetap waspada

Dengan kontribusi sektor minerba terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang telah mencapai Rp120 triliun atau 96% dari target Rp124,7 triliun pada akhir November 2025, pemerintah optimis bahwa fluktuasi harga komoditas hanya bersifat sementara. Dukungan penuh untuk pelaku usaha pertambangan tetap diberikan melalui regulasi terpadu dan terarah.

Analis Kebijakan Madya Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Hadi Setiawan menyatakan, fokus pemerintah saat ini mendorong investasi SDA yang diproyeksikan mencapai USD618,1 miliar pada 2040, dengan USD500 miliar di antaranya disumbangkan oleh komponen minerba.

Karenanya, untuk menjaga nilai tambah tetap di dalam negeri, faktor hilirisasi menjadi strategi jangka panjang yang ditetapkan secara bertahap.

"Dari nikel, nilai tambahnya kalau kita kirim bijih atau ferronikel, itu hanya 4-5 kali lipat, tetapi jika diolah menjadi baterai EV, nilai tambahnya sampai 175 kali lipat dari bijih yang selama ini diekspor begitu saja. Bijih tembaga dan konsentrat pun seperti itu. Sekarang, keduanya juga sudah dilarang," ujar Hadi.

Foto udara suasana bongkar muat di tempat penampungan sementara batu bara, Muaro Jambi, Jambi, Selasa (25/11/2025). (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/bar)

Dengan kebutuhan menjaga nilai tambah produk bahan tambang tetap berada di dalam negeri, Kementerian Keuangan berjanji memberikan dukungan penuh insentif pembebasan bea masuk impor dan royalti hingga 0%. Syaratnya, industri hulu wajib melakukan hilirisasi dan tidak mengekspor bahan mentah.

"Insentif juga kami berikan pada infrastruktur dan sistem di KEK, investasi dan akses pasar dengan tax holiday dan tax allowance, serta pengembangan riset dengan pemotongan PPh R&D dan vokasi," jelasnya.

Terlepas dari dukungan penuh yang diberikan otoritas fiskal terhadap industrialisasi dan hilirisasi minerba, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Ihsan Priyawibawa memastikan segi kepatuhan akan terus dibenahi, termasuk dengan memanfaatkan analisis Compliance Risk Management (CRM) berbasis pangkalan data DJP.

Ihsan menjelaskan, CRM merupakan produk data analitik yang memanfaatkan data internal dan data eksternal untuk melihat posisi risiko kepatuhan Wajib Pajak (WP) serta memberikan rekomendasi kepada DJP mengenai perlakuan yang tepat terkait tingkat kepatuhan dan profil risiko WP tersebut.

"Rekomendasi CRM untuk perlakuan untuk WP sektor minerba sebagian besar adalah pemeriksaan, dengan tingkat risiko kepatuhan cukup tinggi. Pengawasan dan pemeriksaan kami lakukan terhadap pelaporan nilai penjualan yang tidak benar, data kualitas hasil yang tidak benar, manipulasi harga transfer dalam transaksi afiliasi, dan penghindaran pajak lintas yurisdiksi," cetus Ihsan.

Pemetaan data tersebut tidak lepas dari karakteristik WP minerba yang memiliki struktur grup usaha sangat kompleks dan transaksi afiliasi yang tinggi, sehingga berpotensi menggeser laba melalui skema transfer pricing yang berujung pengemplangan. Belum lagi lokasi usaha yang terpencil akan membatasi pengawasan dan memicu aktivitas ekonomi tidak tercatat, manipulasi laporan, hingga pertambangan ilegal.

"DJP mengumpulkan data profiling sebagai pangkalan data WP untuk mengurangi shadow economy dan memastikan aktor-aktor yang selama ini melakukan praktik ilegal dapat segera terdeteksi dan dapat kami tarik kontribusinya untuk penerimaan negara," pungkas Ihsan.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional