Kebijakan pemerintah meluncurkan paket ekonomi tanpa melibatkan sektor manufaktur padat karya terasa kurang tepat. Padahal, sesuai namanya, manufaktur padat karya dapat berperan lebih meningkatkan angka serapan pekerja.
Namun, berkaca pada situasi ekonomi saat ini, industri padat karya membutuhkan lebih dari sekadar insentif untuk mampu berekspansi dan membantu pemerintah memenuhi target lapangan kerja.
Sebagai bagian dari 17 Program Paket Ekonomi "8+4+5", pemerintah meluncurkan lima program penyerapan tenaga kerja. Yaitu, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, perkebunan rakyat, Kampung Nelayan Merah Putih, revitalisasi tambak-tambak di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura), dan modernisasi kapal nelayan.
Dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, program-program tersebut telah dibahas bersama Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas, Senin siang (15/9).
"Yang pertama, tentu Koperasi Desa Merah Putih yang akan menyerap 681.000 sampai 1 juta pekerja hingga bulan Desember 2025. Lalu, Kampung Nelayan Merah Putih dengan target 100 desa tahun ini, diharapkan bisa menyerap 8.645 tenaga kerja," ujar Airlangga kepada wartawan.
Revitalisasi tambak-tambak di sepanjang pesisir Pantura seluas 20.000 hektare diklaim akan menyerap 168.000 tenaga kerja. Sementara, modernisasi kapal-kapal nelayan dan penanaman kembali perkebunan rakyat dapat membuka hingga 1,8 juta lapangan kerja.
"Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi mudah-mudahan akan mencapai 5,2%, karena pemerintah, lewat program-program ini, ingin mempercepat belanja dan meningkatkan daya beli masyarakat," ungkap Airlangga.
Insentif saja tidak cukup
Dunia usaha menyayangkan bahwa dari kelima program pemerintah yang ditetapkan untuk menyerap tenaga kerja tersebut, sektor industri padat karya justru tidak diperhitungkan.
Padahal, industri padat karya memiliki tujuan utama memperluas lapangan kerja, di samping berkontribusi terhadap kapasitas produksi nasional dan memperkuat ketahanan ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menyatakan, pihaknya dapat memahami keterbatasan pemerintah untuk membantu industri padat karya secara maksimal. Upaya yang sudah pemerintah lakukan, seperti skema Kredit Industri Padat Karya (KIPK) juga patut diapresiasi meski realisasinya masih jauh dari plafon yang ditetapkan.
"Yang lebih kami butuhkan adalah perizinan dipermudah dan kebijakan tidak banyak diganti oleh aparat penegak hukum. Kami juga ingin pemerintah mengubah image politik bahwa sektor industri padat karya merupakan satu-satunya penyelamat ekonomi di sisi penciptaan lapangan pekerjaan," ujar Eddy saat dihubungi SUAR, Selasa (16/9).
Sepandangan dengan Eddy, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menyatakan, industri padat karya lebih membutuhkan kepastian dan kemudahan akses pasar daripada insentif fiskal atau kredit murah.
Sobur menyatakan, ada tiga hal yang sangat mendesak untuk diperhatikan dan segera ditangani pemerintah. Pertama, kemudahan ekspor dan akses pasar. Kedua, sertifikasi dan regulasi yang proporsional. Ketiga, akses pembiayaan sesuai karakter industri dengan persyaratan yang lebih mudah.
Sobur mencatat, industri furnitur Indonesia masih sangat tergantung dari permintaan pasar global, yaitu Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Karenanya, percepatan perjanjian dagang bilateral dan multilateral serta fasilitas logistik untuk menekan biaya ekspor menjadi lebih efisien, disertai sertifikasi yang lebih sederhana dan murah, menjadi kebutuhan.
"Skema KIPK bagus, tetapi sulit diakses karena syarat agunan dan birokrasi. Kami membutuhkan pembiayaan berbasis purchase dengan bunga rendah jauh, sehingga kami bisa memenuhi pesanan dalam jumlah besar tanpa terhambat modal kerja," cetus Sobur saat dihubungi SUAR, Selasa (16/9/2025).
Di samping dorongan dari segi makroskopik, insentif energi untuk menghemat biaya produksi juga sangat dibutuhkan. Sejumlah sentra furnitur di Jawa Tengah dan Jawa Barat saat ini, catat Sobur, menghadapi biaya listrik dan gas yang tinggi. Jika insentif itu diberikan dalam pengurangan tarif energi, dampaknya akan lebih terasa langsung bagi keberlanjutan produksi.
"Insentif seperti KIPK memang membantu. Tapi kombinasi kemudahan ekspor, sertifikasi proporsional, pembiayaan dengan syarat ringan, dan dukungan energi/logistik jauh lebih dibutuhkan supaya industri padat karya benar-benar bertahan, sekaligus tumbuh di tengah tekanan global," pungkas Sobur.
Tuntaskan akar masalah
Menggarisbawahi kebutuhan para pelaku industri padat karya, peneliti makroekonomi LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky menyatakan, guna meningkatkan penciptaan lapangan kerja dalam industri padat karya, pemerintah harus menuntaskan akar masalah yang harus dihadapi pelaku industri. Yakni, regulasi dan kepastian hukum.
Pemerintah harus menuntaskan akar masalah yang harus dihadapi pelaku industri. Yakni, regulasi dan kepastian hukum.
"Pemberian insentif untuk pelaku industri padat karya tidak benar-benar menyelesaikan masalah sampai ke akar, walau sasarannya sudah tepat. Akibatnya, sekalipun positif untuk masyarakat, efek pemberian insentif tersebut akan terbatas," cetus Riefky saat dihubungi SUAR, Selasa (16/9).
Di samping itu, jika pemberian skema kredit berbunga rendah merupakan bentuk dukungan pemerintah, seharusnya itu lebih bersifat sementara, bukan solusi permanen untuk memecahkan semua masalah yang dihadapi pelaku industri.
"Ke depan, isu mendasar yaitu kepastian hukum, iklim investasi, dan pembenahan regulasi masih perlu terus didorong untuk memastikan industri padat karya produktif dan mampu menyerap tenaga kerja," pungkas Riefky.