IESR : Transisi Energi Indonesia Masih Jauh Tertinggal

Arah transisi energi global bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi kebutuhan untuk menjawab keamanan pasokan, keterjangkauan, dan keberlanjutan.

IESR : Transisi Energi Indonesia Masih Jauh Tertinggal
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa saat pada acara peluncuran IETO 2026 di Jakarta, Kamis (20/11/2025). Foto: IESR.
Daftar Isi

Transisi energi di Indonesia masih di bawah potensi maksimalnya dibandingkan dengan arah transisi energi global yang sudah bergeser dari isu lingkungan ke arah keberlanjutan, demikian disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam suatu acara Energy Outlook di Jakarta.

Menurut Fabby, arah transisi energi global bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi kebutuhan untuk menjawab keamanan pasokan, keterjangkauan, dan keberlanjutan.

Fabby mencontohkan Pakistan yang kapasitas energi suryanya meningkat jadi 30% dalam enam tahun akibat krisis listrik.

“India juga serupa, mengalami kenaikan kapasitas surya sebesar 3.500% dalam satu dekade,” ujarnya

Fabby menjelaskan energi surya dan angin kini menjadi sumber listrik termurah secara global, dengan biaya penyimpanan baterai yang turun lebih cepat dari perkiraan.

Tren ini membuat energi terbarukan menambah pasokan listrik lebih besar daripada energi fosil selama tiga tahun terakhir, dan pada pertengahan tahun ini listrik terbarukan melampaui batubara di tingkat dunia. 

Sementara itu, di Indonesia, kondisinya berbeda karena pemanfaatan energi terbarukan masih jauh di bawah potensinya.

Dominasi batubara mencapai 65% dalam sistem kelistrikan dan sekitar 40% pada bauran energi primer, sementara target energi terbarukan 23% sejak 2014 terus meleset dan kemungkinan hanya mencapai 16% hingga 17% pada akhir tahun ini.

Kebijakan berubah-ubah

Fabby menyatakan kemandegan itu terutama disebabkan ketidakkonsistenan kebijakan, ketergantungan pada batubara, keterbatasan jaringan PLN, dan pendanaan energi bersih yang belum memadai.

Kesenjangan antara komitmen publik dan kebijakan pemerintah menyebabkan dominasi bahan bakar fosil semakin menguat. 

Padahal dalam konteks ekonomi, Indonesia punya peluang besar yang dapat diraih melalui dekarbonisasi, termasuk kebutuhan 6 gigawatt (GW) listrik untuk data center di Asia Tenggara yang memprioritaskan energi rendah karbon.

Fabby turut menyebut potensi mineral Indonesia yang dapat memperkuat rantai pasok kendaraan listrik dan baterai berskala global.

Maka, untuk mempercepat transisi energi, Fabby mendorong lima langkah prioritas antara lain:

  • Penyelarasan kebijakan lintas kementerian dalam satu peta jalan bersama. Kita harus menyatukan kebijakan industri, keuangan fiskal, perdagangan, dan ekonomi dalam satu peta jalan tunggal yang tidak dinegosiasikan.
  • Prioritas kedua menghentikan subsidi energi fosil dan melakukan reformasi tarif listrik sehingga membuat keuangan PLN lebih sehat.
  • Prioritas yang ketiga adalah membangun rantai pasokan teknologi energi terbarukan di tingkat domestik.
  • Prioritas keempat, membuat pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berhasil.
  • Prioritas terakhir kita harus memastikan transisi energi berkeadilan, menyiapkan lapangan kerja dan kompetensi tenaga kerja hijau,” ujarnya.

Analis sistem ketenagalistrikan IESR Abraham Oktama Halim menjelaskan ambisi pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 memiliki implikasi energi yang sangat besar.

Menurut dia, visi Presiden untuk mencapai 100% energi terbarukan pada 2035 memang sejalan dengan prioritas kemandirian energi, tetapi belum tercermin dalam dokumen perencanaan resmi.

Dalam Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, porsi energi terbarukan baru diproyeksikan mencapai 40% pada 2040 dan 72% pada 2060. “Di sinilah terlihat adanya kesenjangan antara retorika dan dokumen formal,” ujar Abraham.

Abraham menekankan pentingnya mengelola emisi dalam perjalanan menuju 2060, bukan hanya mencapai garis akhir net zero.

Berdasarkan pemodelan IESR, jatah karbon Indonesia untuk target 1,5 derajat dapat habis pada 2038 apabila mengikuti proyeksi emisi saat ini. Untuk target 2 derajat, jatah karbon dapat habis pada 2044. 

Di sektor ketenagalistrikan, Abraham menunjukkan bauran energi terbarukan sistem on-grid justru menurun dari 13% pada 2020 menjadi 11,5% pada 2024. Capaian itu meleset dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021 yang menetapkan bauran 15% pada 2024.

Strategi pensiun dini PLTU, kata dia, masih lemah karena Permen ESDM 10/2025 tidak membuat peta jalan eksplisit sesuai mandat Perpres 112/2022. Menurutnya, kebijakan yang ada cenderung memperpanjang usia PLTU alih-alih menghentikannya lebih cepat.

Di sektor industri, Abraham mencatat dominasi batubara yang mencapai 59% pada 2024 dan tingginya pertumbuhan konsumsi batubara dengan tingkat investasi 20% selama satu dekade. Tingkat elektrifikasi proses industri berada di titik terendah dalam 10 tahun terakhir, yaitu 12,4%. Upaya jangka pendek harus fokus pada efisiensi energi dan perbaikan proses sebelum masuk ke teknologi berbiaya tinggi.

“Dekarbonisasi industri harus dimulai dari opsi mitigasi yang paling cost-effective,” kata Abraham.

Di sektor transportasi, Abraham menegaskan kendaraan listrik berbasis baterai merupakan opsi paling rendah emisi dalam jangka panjang. Pemodelan IESR turut menunjukkan titik perpotongan emisi antara kendaraan listrik berbasis baterai dan hybrid terjadi pada 2032, sementara adopsinya di Indonesia baru mencapai 5% pada 2024. Karena itu, larangan penjualan kendaraan BBM pada 2045 akan terlambat untuk mencapai emisi nol pada 2060 dan harus dimajukan menjadi 2040.

Analis iklim dan Energi IESR, Shahnaz Nur Firdausi, menjelaskan dalam Second Nationally Determined Contribution atau SNDC, Indonesia menargetkan penurunan emisi signifikan hingga 2060.

Namun dia menilai belum ada peta jalan lintas sektor yang menjelaskan bagaimana target itu dicapai. Dalam skenario kebijakan saat ini, emisi masih berada di 780 juta ton karbon dioksida dibanding target SNDC sebesar 129 juta.

Pada skenario upaya ekstra yang dimodelkan IESR, kebijakan lebih ambisius seperti adopsi kompor listrik, larangan penjualan kendaraan bermesin pembakaran internal pada 2040, dan dekarbonisasi lebih dalam di sektor ketenagalistrikan menurunkan emisi menjadi 472 juta ton.

Meski demikian, capaian itu tetap jauh dari target. Shahnaz menilai sektor seperti angkutan barang, pelayaran, penerbangan, dan rumah tangga belum mendapat perhatian memadai.

Dilema antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi muncul karena tata kelola kebijakan masih terfragmentasi dan penegakan yang lemah.

Dalam pemodelan IESR, porsi energi terbarukan sebesar 43% di 2060 membuat emisi naik ke 1.100 juta ton, sementara pada skenario 77% emisi turun menjadi 436 juta ton tanpa menghambat ekonomi. 

Untuk itu, Shahnaz menilai Indonesia perlu mempercepat pensiun PLTU, memperkuat elektrifikasi transportasi, dan memperluas efisiensi di industri serta bangunan.

“Pertanyaannya bukan lagi apa yang harus dilakukan, tetapi apakah Indonesia mau dan siap untuk menjalankannya,” ujarnya.

Harus bertahap

Penasihat Presiden urusan energi, Purnomo Yusgiantoro, menjelaskan pemerintah melihat transisi energi sebagai bagian dari transformasi energi yang lebih luas.

Menurutnya Indonesia tidak bisa menghentikan pemanfaatan fosil secara cepat sehingga perlu tahapan dekarbonisasi, teknologi ramah lingkungan, dan pensiun PLTU secara bertahap. 

Menurut Purnomo tantangan struktural seperti keterbatasan kilang, jaringan transmisi yang belum merata, serta minimnya tenaga ahli energi di daerah membuat percepatan transisi tidak mudah.

Belum lagi konsumsi dan ekspor komoditas seperti batubara, gas, dan minyak sawit masih menjadi penopang ekonomi.

Purnomo menegaskan dalam masa transisi, energi fosil masih digunakan tetapi harus disertai inovasi teknologi ramah lingkungan. Pemerintah mendorong diversifikasi energi, efisiensi, dan investasi teknologi agar pembangkit dan industri bergerak ke arah emisi rendah.

“Jika kebijakan, infrastruktur, ekonomi dan teknologi berjalan bersama, transisi energi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.