Harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional menunjukkan tren kenaikan. Hal ini turut membuat harga CPO di pasar domestik ikut menanjak di tengah bayang-bayang kebijakan mandatori biodiesel yang akan segera diterapkan.
Kenaikan tipis ini, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, didorong oleh meningkatnya permintaan dari India.
"Saat ini, harga CPO lokal berada di sekitar Rp 14.500 per kilogram. Kenaikan ini dipicu oleh kebutuhan India yang meningkat seiring dimulainya musim festival di sana," ujarnya kepada SUAR melalui sambungan telepon di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Melansir Reuters, harga kontrak minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) kembali melonjak dan mencatat level tertinggi dalam empat sesi berturut-turut.
Kenaikan ini dipicu oleh optimisme pasar terhadap data ekspor Agustus yang diproyeksikan lebih kuat.
Harga kontrak berjangka acuan minyak sawit untuk pengiriman Oktober 2025 di Bursa Derivatives Exchange naik RM 57 per ton atau naik 1,29% menjadi RM 4.459 per metrik ton pada perdagangan Rabu (13/8).
Sementara kenaikan harga minyak nabati juga terlihat di pasar global dengan harga kontrak minyak sawitnya menguat 1,33%.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, dinamika perdagangan internasional sangat mempengaruhi harga CPO.
"Beberapa bulan terakhir, harga CPO dunia perlahan-lahan mengalami kenaikan, setelah sebelumnya sempat jatuh. Tren ini dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati (vegetable oil) lainnya, terutama kedelai," jelasnya kepada SUAR.
Ia menambahkan, jika produksi kedelai global menurun, harga CPO akan ikut melonjak. Sebaliknya, jika produksi kedelai baik, harga CPO akan turun. Dinamika harga ini sangat sulit diprediksi karena sangat bergantung pada kondisi iklim di wilayah produsen kedelai terbesar, seperti Amerika Latin dan Amerika Utara.
Diversifikasi pasar
Sebagai eksportir CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran krusial dalam pasar global. Indonesia yang dikenal dengan negara produsen CPO terbesar di dunia tetap optimistis produknya akan selalu diminati.
Negara terbesar di ASEAN ini bisa memproduksi 52 juta ton CPO per tahunnya, diikuti oleh Malaysia dengan produksi CPO sekitar 19 juta ton.
"Negara-negara importir seperti Tiongkok, India, Uni Eropa, Pakistan, Amerika Serikat, dan Bangladesh memang sangat membutuhkan minyak sawit kita," ujar Eddy.
Berdasarkan data Gapki, kontribusi ekspor CPO yang mencapai USD 13,64 miliar hingga Mei 2025, Produksi CPO bulan Mei 2025 turun 7,01% menjadi 4.165 ribu ton dari 4.479 ribu ton di bulan sebelumnya.
Namun, Eddy juga menegaskan pentingnya diversifikasi pasar.
"Kita tidak boleh terus bergantung pada pasar tradisional. Kita harus menjajaki pasar baru di negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, dan juga ada potensi peningkatan ekspor ke Rusia," ujar dia.
Tantangan lain datang dari persaingan dengan Malaysia, terutama di pasar global. Dwi Andreas Santosa melanjutkan, kompetisi ini sangat bergantung pada kebijakan tarif.
"Saat ini, Indonesia masih bernegosiasi terkait tarif 19% yang dikenakan Amerika Serikat. Jika Malaysia dikenai tarif yang lebih tinggi, kita akan lebih unggul di pasar Amerika. Namun, di pasar lain seperti Uni Eropa, isu deforestasi menjadi tantangan tersendiri," paparnya.
Meskipun demikian, ia menjelaskan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa tidak begitu besar, dengan Spanyol dan Belanda sebagai importir utama di Uni Eropa

Bayang-bayang B50
Sementara itu, rencana pemerintah yang menggulirkan kebijakan mandatori biodiesel khususnya penerapan B50 pada awal 2026 juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha sawit.
Menurut Eddy, hal ini dikarenakan ketatnya pasokan global dan terbatasnya insentif untuk biodiesel.
"Gapki pesimistis dengan target B50 karena produksi CPO yang stagnan akan mengurangi volume ekspor, sementara dana insentif biodiesel sangat bergantung pada pungutan ekspor (PE)," ujar Eddy.
Melansir Kumparan, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa pemerintah tetap menargetkan implementasi program biodiesel 50% (B50) pada awal tahun 2026.
Menurut Yuliot, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi pelaksanaan program B40 yang telah berjalan sejak awal tahun 2025. Evaluasi ini dilakukan secara paralel sebagai persiapan untuk transisi ke B50.
"Untuk B50, kita evaluasi untuk implementasi B40 tahun ini dan juga kita harapkan untuk implementasi tahun depan B50 segera bisa diakses," ujarnya di kantor Kementerian ESDM (8/8/2025).
Kekhawatiran senada disampaikan Dwi Andreas. Ia mengatakan dana yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagian besar disedot untuk subsidi biodiesel.
"Pernah pada tahun 2020-an, lebih dari 80% dana BPDPKS tersedot untuk program ini. Padahal, dana ini seharusnya juga dialokasikan untuk peremajaan (replanting) perkebunan rakyat," ujarnya.
Ia juga mengamati besarnya biaya subsidi yang harus ditanggung pemerintah ini tidak sesuai dengan dana yang terkumpul dari PE sehingga dapat berdampak pada berkurangnya anggaran untuk peremajaan kebun-kebun rakyat.
"Subsidi biodiesel tahun ini mencapai Rp 51 triliun. Padahal, dana yang terkumpul dari pungutan ekspor rata-rata hanya sekitar Rp 30 triliun–Rp 35 triliun. Jika program B50 dijalankan, maka dana subsidi yang dibutuhkan akan semakin besar, yang kemungkinan akan diselesaikan dengan meningkatkan pungutan ekspor," katanya.
Menurutnya, sektor kelapa sawit memegang peranan vital bagi neraca perdagangan Indonesia karena surplus perdagangan komoditas pertanian yang 74% disumbang oleh CPO. Sementara itu, ia menjelaskan surplus perdagangan CPO ini terus mengalami penurunan sejak 2022.
"Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang bijak untuk menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan energi domestik dan menjaga stabilitas ekspor serta kesejahteraan petani," kata dia.