Pemerintah pada Selasa (22/7/2025) menyediakan skema baru kredit untuk industri padat karya (KIPK) furnitur di Jepara di tengah sulitnya akses pembiayaan berbunga rendah terhadap pengrajin.
Skema ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 4 Tahun 2025, dan menjadi salah satu bentuk kebijakan Komite Kebijakan Pembiayaan bagi UMKM.
Jepara, suatu kabupaten di Jawa Tengah, dikenal dengan bengkel pengrajin mebel hingga pabrik furnitur berskala ekspor. Namun, seringkali mengalami keterbatasan likuiditas atau kesulitan mengakses pembiayaan konvensional di tengah dinamika global.
KIPK dirancang khusus untuk sektor padat karya seperti furnitur, dengan tujuan membantu pelaku usaha merevitalisasi alat produksi, meningkatkan kapasitas, serta menjaga keberlangsungan usaha.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN, Ferry Irawan, menjelaskan sektor padat karya merupakan sektor yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"KIPK hadir sebagai kredit investasi atau kombinasi antara kredit investasi dan modal kerja untuk mendukung kebutuhan revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas," kata Ferry kepada SUAR di Jakarta, Selasa (22/07/2025).
Ia menjelaskan plafon KIPK berkisar Rp500 juta hingga Rp10 miliar, dengan tenor maksimal delapan tahun yang memungkinkan adanya perpanjangan atau restrukturisasi.
Lebih penting lagi, pemerintah memberi subsidi bunga sebesar 5%, sehingga pelaku usaha diharapkan hanya menanggung bunga lebih rendah daripada kredit komersial biasa.
"Pemerintah memastikan penyaluran KIPK tepat sasaran dengan kriteria yang diatur dalam Permenko. Proses penyaluran pun berbasis data terverifikasi dan diawasi melalui sistem pelaporan, serta pembinaan oleh Komite Kebijakan Pembiayaan bagi UMKM," kata Ferry.
Deputi Ferry menjelaskan, pihaknya juga tidak berhenti di pembiayaan murah. Ada program pendampingan, pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja, dan berbagai inisiatif modernisasi alat produksi agar pelaku usaha mampu menjawab tuntutan global, seperti sertifikasi legalitas kayu, standar emisi rendah, dan keberlanjutan.
"Visinya bukan cuma bertahan, tetapi tumbuh. Supaya pelaku usaha kita punya ruang berinovasi, meningkatkan produktivitas, dan memperluas pasar, tanpa terbebani bunga kredit yang tinggi," kata dia.
Terganjal Bunga Tinggi
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Mebel Abdul Sobur menggarisbawahi masalah yang selama ini dihadapi. Yaitu, agunan dan bunga tinggi.
"Sementara sektor mebel dan kerajinan membutuhkan pembiayaan jangka menengah-panjang yang fleksibel karena siklus produksi dan pembayaran ekspor tidak bisa pendek," kata Sobur kepada SUAR.
Alhasil, ujar dia, banyak usaha kecil memilih bertahan dengan peralatan lama daripada memodernisasi mesin produksi, meski itu mengurangi daya saing di pasar internasional.
Di atas kertas, KIPK menjanjikan angin segar. Namun, di lapangan, pelaku usaha punya kekhawatiran yang sama, bagaimana agar program ini benar-benar bisa diakses oleh mereka yang paling membutuhkan.
"Skema KIPK cukup realistis secara konsep, namun perlu dipastikan implementasinya benar-benar menyentuh pelaku riil, terutama soal syarat agunan, kemudahan pencairan, dan pendampingan usaha," ungkap Abdul Sobur.
Menurutnya, masih banyak pelaku usaha di Jepara yang butuh fasilitator atau pendamping agar dapat memahami teknis pendaftaran hingga pencairan dana.
Tantangan lainnya adalah sosialisasi. Belum banyak pengusaha, terutama skala menengah ke bawah, yang tahu detail tentang KIPK. Sementara itu, kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat terhadap sejumlah produk Asia termasuk furnitur membuat pasar ekspor menjadi tidak pasti.
"Selain kredit murah, hal yang paling dibutuhkan pelaku usaha adalah stabilitas permintaan ekspor, kepastian tarif dagang, dan penguatan ekosistem produksi, termasuk pelatihan tenaga kerja terampil serta insentif untuk modernisasi alat produksi," tambah Sobur.
Menjaga Daya Saing
Abdul Sobur melihat, jika implementasi KIPK benar-benar sampai ke akar rumput, banyak peluang yang terbuka. Modernisasi alat produksi dapat meningkatkan kualitas, pelatihan SDM memperkuat inovasi desain, dan diversifikasi pasar dapat menjaga stabilitas usaha.
Namun, semua itu memerlukan ekosistem kebijakan yang berjalan beriringan. Di akhir, harapannya sederhana: agar furnitur Jepara tidak hanya indah dipandang, tetapi juga mampu bertahan dan bersaing di pasar dunia.
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan sepakat bahwa kehadiran Kredit Industri Padat Karya (KIPK) patut diapresiasi sebagai langkah positif pemerintah.
Bagaimanapun, keterbatasan modal selama ini memang menjadi penghalang utama bagi banyak pelaku industri furnitur untuk tumbuh dan berinovasi, terutama ketika berbicara soal modernisasi alat produksi yang membutuhkan biaya besar.
“Modal saja tidak cukup. Ada banyak persoalan lain yang membayangi, mulai dari sulitnya memasarkan produk di tengah persaingan ketat dengan barang impor murah dari Tiongkok dan Vietnam, kesulitan mendapatkan bahan baku yang masih bergantung pada Perhutani, hingga kendala manajemen usaha dan pemenuhan standar lingkungan yang makin ketat," kata Deni.
Memberikan kredit berbunga rendah tanpa memikirkan bagaimana produk tersebut akan dipasarkan, kata Deni, justru bisa menjadi pisau bermata dua.
“Mereka berisiko gagal bayar atau malah terlilit utang,” tambahnya seraya menambahkan ketika produk tak terserap pasar, cicilan kredit pun tetap berjalan.
Deni menekankan perlunya langkah-langkah pendukung yang lebih menyeluruh: mulai dari pendampingan usaha, pelatihan pemasaran digital, hingga edukasi pengelolaan keuangan yang baik.
"Hanya dengan pendekatan yang lebih holistik, industri furnitur padat karya seperti Jepara dapat bertahan dan tumbuh di tengah tantangan global," ujar dia.