Gelontoran Insentif Properti untuk Dorong Perekonomian

Pemerintah memberikan berbagai stimulus untuk sektor properti untuk mendorong perekonomian antara lain seperti Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) hingga uang muka lebih ringan.

Gelontoran Insentif Properti untuk Dorong Perekonomian
Foto udara kompleks perumahan KPR subsidi di kawasan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (23/7/2025). Pemerintah menargetkan penerbitan regulasi mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bidang perumahan pada akhir Juli yang akan didukung pembiayaan sebesar Rp130 triliun dari Danantara, guna mencapai target pembangunan program 3 juta rumah. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz
Daftar Isi

Pemerintah memberikan berbagai stimulus untuk sektor properti untuk mendorong perekonomian antara lain seperti Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) hingga uang muka lebih ringan.

PPNDTP: Stimulus Pajak untuk Mendorong Daya Beli

Di antara langkah penting, pemerintah memutuskan mempertahankan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) sebesar 100 persen untuk pembelian rumah hingga akhir 2025. Padahal, sebelumnya sempat direncanakan turun menjadi 50 persen pada semester kedua.

“Jadi nanti teknis-teknisnya kita bahas detail,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto usai menghadiri Rapat Koordinasi terbatas di Kemenko Perekonomian, Jumat (25/7/2025).

Langkah ini diyakini bisa menjaga daya beli, terutama kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung pasar properti. Berdasarkan data Kementerian PUPR, sektor konstruksi dan real estat tetap tumbuh positif 4,5 persen (yoy) pada kuartal I 2025.

Menurut Ferry Salanto, Kepala Riset di Colliers Indonesia, kebijakan ini merupakan langkah strategis yang baik untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap perumahan dan mendorong pertumbuhan sektor properti.“PPNDTP bisa langsung menurunkan harga beli rumah dan mendorong daya beli, terutama bagi MBR, serta mempercepat penyerapan proyek ready stock,” ujar Ferry kepada Suar melalui sambungan telepon pada Rabu (30/07).

Kemudian DP 0% melalui skema BPJS ketenagakerjaan juga dapat mengatasi persoalan uang muka yang selama ini menjadi hambatan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurut Ferry, jika keduanya dijalankan dengan efektif akan dapat benar-benar menekan backlog*.

“Nah, dampak gambungannya bisa meningkatkan permintaan di segmen perumahan subsidi dan rumah tapak sederhana, juga bisa menstimulasi pengembang untuk kembali membangun rumah-rumah dengan harga terjangkau,” kata Ferry.

Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto menilai perpanjangan PPNDTP ini adalah bentuk nyata kepedulian pemerintah terhadap sektor perumahan yang sempat tertekan.

“Ini memberikan sinyal positif ke masyarakat untuk berani membeli rumah, dan membantu industri properti tetap bergerak. Apalagi kita tahu ada sekitar tiga juta unit rumah yang masih perlu diserap,” kata Joko.

Joko menambahkan, stimulus ini tak hanya berdampak pada penjualan rumah, tetapi juga mendorong tumbuhnya sekitar 185 industri turunan: mulai dari bahan bangunan, furnitur, hingga sektor tenaga kerja.

“Harapannya, PPNDTP ini bisa menjadi dorongan bagi masyarakat untuk membeli rumah dan ikut menggairahkan ekonomi,” ujarnya.

Skema Baru: KUR Perumahan Rp130 Triliun dan DP Gratis bagi Pekerja BPJS

Selain stimulus pajak, pemerintah juga memperkenalkan dua kebijakan baru yang menyasar langsung ke masyarakat berpenghasilan rendah dan pekerja formal.

Pertama, Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan senilai Rp130 triliun. Ini untuk pertama kalinya KUR dialokasikan ke sektor properti, yang sebelumnya identik sebagai modal kerja UMKM.

“Sepanjang Indonesia berdiri, baru sekarang ada KUR perumahan. Angkanya juga fantastik: Rp130 triliun,” kata Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, usai Rapat Koordinasi Terbatas.

Ara, panggilan akrabnya, mengatakan, program ini tinggal menunggu rampungnya Peraturan Menteri (Permen) sebagai dasar hukum, dengan progres penyusunan yang sudah mencapai 90 persen.

Skema ini diharapkan membantu pembangunan rumah tapak di desa maupun rumah susun di kota, sekaligus mendorong kontraktor lokal, tukang bangunan, dan UMKM bahan bangunan.

“Pak Presiden selalu tekankan kita harus menciptakan UMKM naik kelas,” tambah Ara.

several cranes above the buildings
Photo by EJ Yao / Unsplash

Kedua, inisiatif gotong royong: pengembang rumah subsidi sepakat menanggung langsung uang muka (DP) bagi pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan, rata-rata sebesar Rp1,7 juta per orang.

“Menurut saya ini jawaban dari arahan Presiden Prabowo: jangan ada serakanomics. Ini bukti nyata gotong royong,” kata Ara.

Menjawab Dua PR Besar: Backlog dan Rumah Tak Layak Huni

Dua masalah utama sektor perumahan masih sama: backlog sekitar 9,9 juta keluarga belum memiliki rumah, dan 26 juta rumah tidak layak huni.

Selama bertahun-tahun, kebijakan pemerintah banyak fokus pada subsidi bunga KPR. Namun, kendala terbesar tetap ada di uang muka dan keterjangkauan harga. Kombinasi PPNDTP, KUR Perumahan, dan DP gratis diharapkan bisa membuka jalan keluar.

Untuk rumah yang sudah berdiri tapi tidak layak huni, pemerintah tetap mengandalkan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang menyediakan dana renovasi sebagian. Sisanya diharapkan ditutup lewat gotong royong warga atau CSR perusahaan.

“Solusi yang terbaik tentu ada CSR dan gotong royong, supaya rumah-rumah itu bisa dibantu,” kata Ara.

Fokus Baru: Bukan Hanya Kuota, tapi Penyerapan

Tahun ini, pemerintah menargetkan pembangunan 350 ribu rumah subsidi. Namun fokusnya bukan sekadar memenuhi angka kuota, tapi memastikan rumah benar-benar terjual dan dihuni.

“Kuota tahun ini nggak ada masalah… Tantangannya sekarang penyerapan,” jelas Ara.

Kata Pakar: Stimulus Bisa Jadi Belum Tepat Sasaran

Lektor sekaligus Anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Jehansyah Siregar berpandangan, semua stimulus itu pada dasarnya tidak akan efektif mengurangi housing backlog. Yang ada justru membuat pendapatan negara tekor dari sektor properti

Pandangan kritis ini menyoroti kebijakan pemerintah yang selama ini lebih banyak menyalurkan stimulus lewat pembiayaan perbankan, seperti KPR (kredit perumahan rakyat) subsidi, dengan harapan mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Namun, menurut Jehansyah, ada keterbatasan struktural yang membuat langkah tersebut sulit tepat sasaran.

Ia menjelaskan, kapasitas maksimum pembangunan rumah untuk MBR saat ini hanya sekitar 250 ribu unit per tahun. “Itupun banyak dibangun di kawasan aglomerasi yang belum tentu sesuai peruntukan, dan kadang bermasalah dari sisi kualitas,” tambahnya. Sementara backlog nasional masih belasan juta unit, gap yang amat sulit dijembatani hanya dengan stimulus pembiayaan.

Lebih jauh, jumlah peminat KPR subsidi di kalangan MBR juga terbatas. Banyak yang secara pendapatan dan kelayakan kredit tidak memenuhi syarat perbankan, atau memilih opsi lain seperti tinggal bersama keluarga atau mengontrak. “Yang banyak justru kelompok menengah yang sebenarnya bankable, tertarik dengan subsidi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), terutama jika proyeknya ada di lokasi strategis,” jelasnya.

low angle view of building
Photo by Brandon Griggs / Unsplash

Di titik ini, Jehansyah berpendapat bahwa kebijakan stimulus pembiayaan sejatinya lebih cocok dikelola oleh sektor keuangan: BI (Bank Indonesia), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Kementerian Keuangan, dan bank-bank pelaksana seperti BTN (Bank Tabungan Negara). APBN, kata dia, sebaiknya difokuskan untuk memperkuat fondasi produksi perumahan rakyat.

Menurutnya, Kementerian PKP perlu memprioritaskan penyediaan kawasan siap bangun skala besar, penyediaan lahan, integrasi infrastruktur, dan penataan tata ruang. Dari situ, pembangunan rumah rakyat dapat lebih terstruktur dan terjangkau dengan melibatkan pengembang.

“Jangan malah masuk ke ranah perbankan atau UMKM,” tegas Jehansyah. “Yang lebih penting, pahami konsep multi housing delivery systems: public housing, self-help housing, dan social housing yang bisa menjangkau MBR di kawasan kumuh dan wilayah metropolitan padat penglaju.”

Ia juga menekankan perlunya evaluasi serius atas program yang sudah berjalan seperti Rusunawa (public housing), Bedah Rumah (self-help housing), maupun Rumah Khusus (social housing). Bukan sekadar menjadi proyek rutin APBN, tapi harus benar-benar menurunkan backlog, memperbaiki kualitas hunian, dan mengurangi kawasan kumuh.

“Sudah hampir tiga dekade reformasi, masalah perumahan rakyat nyaris stagnan. Malah backlog dan permukiman kumuh semakin meluas,” tuturnya. Menurutnya, momen saat fiskal dan moneter difokuskan menjaga stabilitas makro seharusnya menjadi kesempatan memperkuat kebijakan perumahan rakyat di sisi produksi, bukan sekadar memperbesar subsidi.

Dengan arah kebijakan yang lebih strategis, solusi perumahan rakyat ke depan tak hanya menjaga laju pertumbuhan sektor properti, tapi juga memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara lebih berkelanjutan dan merata.