Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 digelar di Afrika. Momen ini penting karena selama beberapa dekade, Afrika lebih sering menjadi objek pembahasan global ketimbang bagian dari pengambilan keputusan. Tahun 2025, Johannesburg menjadi tuan rumah forum ekonomi terbesar di dunia, mewakili lebih dari 85% PDB global, 75% perdagangan dunia, dan dua pertiga populasi bumi.
Momentum ini bukan hanya simbolis. Banyak yang menilai G20 Afrika mencerminkan pergeseran geopolitik yaitu kekuatan ekonomi kini tak lagi sepenuhnya ditentukan utara, Amerika, Eropa, Jepang, melainkan mulai bergeser ke negara-negara Selatan Global, termasuk Indonesia, India, Brasil, dan negara-negara Afrika.
Dalam forum itu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka hadir mewakili Presiden Prabowo Subianto. Di hadapan para kepala negara dan pemimpin ekonomi dunia, ia menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu motor kerja sama negara berkembang.
“Penyelenggaraan G20 di Afrika adalah simbol perubahan geopolitik,” kata Gibran dalam pidatonya, Sabut (22/11/2025). “Hal ini menandai perubahan besar, di mana negara-negara Selatan Global semakin menjadi bagian penting dalam tata kelola global.”
Dalam sesi bertema Inclusive and Sustainable Economic Growth Leaving No One Behind, Gibran menyatakan bahwa Indonesia tidak hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi memastikan bahwa pertumbuhan itu terasa merata. “Pertumbuhan global harus kuat sekaligus adil dan inklusif agar semua negara dapat merasakan manfaatnya,” ujarnya.
Untuk mendukung transformasi ekonomi kawasan negara berkembang, ia menyoroti akses pembiayaan global yang perlu lebih setara, khususnya bagi negara yang menghadapi dampak perubahan iklim. “Pembiayaan harus semakin mudah diakses, lebih pasti, dan lebih setara. Transisi energi, adaptasi, dan mitigasi memerlukan dukungan pembiayaan inovatif yang terjangkau,” kata Gibran.
Menurutnya, telah memulai langkah tersebut dengan mengalokasikan sekitar US$2,5 miliar per tahun, lebih dari separuh anggaran iklim nasional, untuk mendukung UMKM hijau, asuransi pertanian, dan infrastruktur tangguh iklim.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya dialog mengenai ekonomi digital, aset digital dan kecerdasan (AI) dalam forum global. “Aset digital menghadirkan peluang sekaligus risiko,” kata Gibran. “Karena itu, Indonesia mendorong G20 membuka dialog mengenai ekonomi digital dan kecerdasan buatan.”
Ia menutup pidatonya dengan penekanan inklusivitas. “Tidak ada satu model pembangunan yang cocok untuk semua. Kerja sama internasional seharusnya memberdayakan, bukan menciptakan ketergantungan.”
Posisi Indonesia
Dalam konferensi pers usai pertemuan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa arah geopolitik ekonomi kini tidak dapat lagi mengabaikan Afrika.
“Afrika adalah benua masa depan dengan pertumbuhan cepat dan potensi strategis, khususnya dalam tata kelola ekonomi global,” ujarnya.
Airlangga menambahkan bahwa agenda yang dirintis Indonesia saat memimpin G20 pada 2022 kini dilanjutkan Afrika Selatan, termasuk mendorong peran Global South dalam mendukung industrialisasi, pembangunan berkelanjutan, dan stabilitas ekonomi global.
Selain sesi pleno G20, Wakil Presiden Gibran mengikuti pertemuan MIKTA bersama pemimpin Meksiko, Korea Selatan, Turki, dan Australia. Sejumlah pertemuan bilateral juga berlangsung, termasuk dengan Perdana Menteri Estonia, Perdana Menteri Vietnam, Presiden Angola selaku Ketua African Union, Presiden Finlandia, serta pimpinan WTO dan UNCTAD.
Sejumlah negara Afrika disebut menyampaikan ketertarikan memperdalam kerja sama ekonomi dengan Indonesia. Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury Armanatha memperkuat narasi bahwa kepemimpinan negara berkembang dalam G20 sejak 2021 menunjukkan perubahan arsitektur global. “Global South tidak hanya menjadi penonton, tetapi kini menjadi co-driver dalam agenda ekonomi global,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa hasil Leaders’ Declaration tahun ini memuat isu-isu yang selama ini menjadi perhatian negara berkembang, seperti penanganan utang negara (debt treatment), reformasi arsitektur pembiayaan global, pengurangan risiko bencana, serta pembenahan sistem keuangan internasional.
Armanatha juga menyinggung langkah baru G20, yaitu melakukan evaluasi dua dekade sejak forum ini dibentuk. Evaluasi ini, menurutnya, akan menjadi dasar penataan ulang arah prioritas G20 ke depan, antara kebutuhan menjaga efektivitas forum dan tekanan geopolitik yang semakin kompleks.
Yang menarik, menurut Armanatha, adalah tren ketertarikan negara-negara Afrika pada kerja sama ekonomi yang bersifat konkret dan berbasis kebutuhan dasar. “Beberapa negara ingin belajar mengenai pertanian, kopi, kakao, bukan hanya soal ekonomi yang berteknologi tinggi, tetapi justru yang fundamental,” katanya.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menegaskan bahwa jalur pembahasan keuangan (finance track) dalam G20 telah selesai sebelum sesi tingkat pemimpin dilaksanakan. Namun ia menyoroti bahwa isu besar yang disampaikan Indonesia tetap berfokus pada reformasi akses pembiayaan internasional. “Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sangat menekankan pembiayaan global yang lebih adil” ujar Thomas.
Pada sisi peluang konkret, Airlangga menyampaikan bahwa sejumlah negara, termasuk Angola dan Ethiopia, menyatakan minat untuk melakukan kunjungan tindak lanjut ke Jakarta mulai tahun depan. Indonesia juga mencatat ketertarikan Finlandia dalam kerja sama teknologi data center dan telekomunikasi, serta keberlanjutan beberapa pembahasan investasi seperti kerja sama PT Dahana dengan Rheinmetall untuk fasilitas bahan peledak, dan kelanjutan investasi energi sekitar Rp2,6 miliar melalui BUMN terkait.
Mengantisipasi AI
Beberapa hari sebelumnya, hanya beberapa kilometer dari venue G20, berlangsung Bloomberg Africa Business Summit 2025. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, mengambil giliran bicara dalam sesi panel bertajuk Making Global Business Work, memulai dengan satu pesan bahwa dunia saat ini sedang berada di persimpangan penting, dan negara-negara Selatan Global harus memilih dengan cermat bagaimana bergerak.
Jika Gibran berbicara dari perspektif negara, Anin membawa nada yang lebih teknis dan realistis, suara pelaku ekonomi yang memahami betul ritme pasar. Anin menggarisbawahi perlunya kolaborasi dalam membangun masa depan ekonomi bersama. Anin mengingatkan bahwa hubungan kedua kawasan memiliki akar sejarah panjang yang sudah dimulai sejak Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. “Sejak 1955, kita percaya pada kolaborasi Selatan-Selatan,” ujarnya.
Menurutnya, peluang kerja sama masih terbuka lebar, terlebih setelah kunjungan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa ke Jakarta beberapa waktu lalu. “Sekitar sebulan lalu Presiden Afrika Selatan berkunjung ke Indonesia. Kami berdiskusi dengan baik, tetapi saya pikir basis hubungan kita masih rendah,” katanya.
Fakta ekonomi menunjukkan jarak antara potensi dan realisasi. Indonesia memiliki nilai ekonomi sekitar 1,3 triliun dolar AS, sedangkan Afrika Selatan berada di kisaran setengah triliun dolar AS. Namun volume perdagangan kedua negara masih berada di sekitar 2,5 miliar dolar AS, angka yang menurut Anin jelas belum mencerminkan kapasitas strategis keduanya.
Anin kemudian menyoroti perubahan struktural ekonomi Indonesia menuju industrialisasi hijau dan hilirisasi sumber daya. Ia menilai fase ini membuka ruang baru bagi kemitraan, terutama dalam sektor yang kini menjadi incaran banyak negara, yaitu mineral kritis. Namun ia menegaskan satu syarat penting. “Kita tidak keberatan bekerja sama dengan Timur maupun Barat, tetapi nilai tambahnya harus tetap ada,” tegasnya.
Baginya, jika negara-negara Selatan Global hanya menjadi pemasok bahan mentah atau pasar konsumen, maka pola ketimpangan ekonomi akan terus berulang. Dalam hal ini Anin mengingatkan bahwa negara berkembang perlu lebih pro-aktif dalam bekerja sama, dan bukan sekedar pelengkap rantai pasok dunia yang bernilai rendah.
“Kami optimistis terhadap Afrika. Kolaborasi Selatan-Selatan sangat kuat dan perlu diperkuat demi pertumbuhan bersama yang lebih berkelanjutan dan cerdas.”
Selain soal kolaborasi, dalam sesi panel tersebut, Anin memperingatkan bahwa dunia mungkin sedang mengulangi kesalahan lama: terlalu cepat percaya pada teknologi tanpa memahami risikonya.
“Dalam digitalisasi, terutama AI, kita perlu menjadi bagian dari perkembangan tersebut,” ujar Anin. “Namun kita juga harus berhati-hati terhadap kemungkinan munculnya gelembung dari Barat seperti era dot-com tahun 2000,” tambahnya.
Kekhawatirannya mendasar. Menurutnya, bahkan para pelaku teknologi sendiri belum sepenuhnya memahami arah perkembangan AI. “Baik insinyur maupun pengguna sebenarnya masih sulit memprediksi arah perkembangan teknologi tersebut,” tambahnya.
Meski demikian, Ia tidak sama sekali menepis peluang AI sebagai katalis transformasi ekonomi, selama negara berkembang tidak hanya menjadi konsumen. “Saya percaya pada AI. Akan ada banyak pekerjaan yang hilang, tetapi juga tercipta pekerjaan baru. Kita perlu memanfaatkannya untuk meningkatkan produktivitas.”
Sesi panel itu juga menghadirkan tokoh ekonomi lainnya, seperti Menteri Investasi dan Perdagangan Luar Negeri Mesir Hassan El Khatib serta Presiden International Standard Chartered Bank PLC, Benjamin Hung. Namun di antara percakapan lintas benua itu, pesan Anin mengemuka, bahwasanya masa depan global tidak hanya milik Silicon Valley atau Beijing, ia juga milik Jakarta, Pretoria, dan negara-negara berkembang yang memilih berjalan bersama.
Baca juga:
Bagi peneliti di departemen ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, konferensi G20 di Afrika bukan sekedar giliran tuan rumah, melainkan momentum yang memiliki makna simbolis tersendiri. “Secara rotasi, ya memang sekarang gilirannya Afrika,” ujarnya membuka percakapan di ujung pesan suara, Minggu (21/11/2025). “Tapi kalau melihat konteks ekonomi global hari ini, G20 di Afrika itu punya makna simbolis dan praktis yang mendalam.”
Makna itu, menurut Deni, berangkat dari dua hal yang saling bertentangan: ketertinggalan dan potensi. Afrika selama puluhan tahun dipandang jauh tertinggal dibanding benua lain. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara di kawasan itu menunjukkan lonjakan kemajuan yang mencolok. Ethiopia adalah salah satunya.
“Populasinya masih muda, mereka baru selesai dari perang internal, stabilitas mulai terbentuk,” kata Deni. “Dan dalam prinsip ekonomi, negara yang mulai dari level rendah biasanya punya potensi pertumbuhan tertinggi, sampai nanti melambat seperti Jepang, Eropa, atau Amerika Serikat.”
Namun perubahan besar itu bukan berarti pusat ekonomi dunia akan pindah ke Afrika dalam waktu dekat. Deni menyampaikan hal ini tanpa metafora atau ambiguitas.
“Kalau pusat ekonomi dunia bergeser ke Afrika? Ya enggak lah,” katanya sambil tertawa kecil. “Hari ini pusat ekonominya tetap di negara-negara maju.” Menurutnya, dunia sedang berada di fase yang berbeda. Setelah era Amerika Utara dan Eropa, kini giliran Asia. Ia menyebutnya sebagai Asia’s moment.
“Sekarang itu eranya Asia. Karena ada Cina, ada ASEAN, seperti Vietnam, Indonesia, Thailand,” jelasnya. “Afrika mungkin setelah itu. Tapi hari ini, belum.”
Potensi Afrika, katanya, bukan ilusi. Kombinasi demografi muda, pasar domestik besar, dan cadangan mineral kritis menempatkan kawasan ini dalam radar geopolitik dan ekonomi global. Mulai dari nikel, rare earth, hingga komoditas energi masa depan, aset-aset itu membuat Afrika semakin relevan.
Namun relevansi tidak otomatis berarti kesiapan. “Walaupun ada stabilisasi, kita nggak bisa menutup mata bahwa masih ada perang saudara dan junta militer,” ujarnya. “Afrika itu masih too risky untuk banyak investor.”
Bagi Indonesia sendiri, Afrika adalah peluang, namun peluang dengan jarak panjang dan tantangan struktural. “Potensinya besar, terutama untuk resource securing,” kata Deni. “Tetapi kendalanya ada dua: jarak, dan komplementaritas.”
Ia menjelaskan bahwa Indonesia dan banyak negara Afrika memiliki struktur ekonomi yang mirip: sama-sama negara berkembang yang mengandalkan sumber daya alam dan tenaga kerja.
“Karena itu comparative advantage-nya kurang,” lanjutnya. “Berbeda dengan hubungan Indonesia dengan negara maju di Asia Timur atau Amerika Utara, di mana ada perbedaan struktur ekonomi yang membuat kerja sama lebih mudah terbentuk.”
Meski demikian, contoh kecil seperti Indomie menunjukkan bahwa penetrasi pasar bisa terjadi melalui jalur yang tidak selalu formal atau strategis. “Indomie itu salah satu bukti. Di Afrika, orang menganggap itu produk mereka,” katanya. “Dengan populasi muda dan daya beli yang meningkat, itu menunjukkan potensinya sangat besar.”
Bagi Deni, inti dari G20 di Afrika bukan tentang apakah benua itu siap memimpin ekonomi global, melainkan soal dunia yang akhirnya memberi ruang representasi kepada kawasan yang selama puluhan tahun berada di pinggir meja.
“Ini momentum untuk menunjukkan bahwa Afrika dan negara berkembang punya suara dalam membentuk tatanan dunia,” tutupnya. “Karena kalau bicara potensi pertumbuhan jangka panjang, ya mereka adalah the last big market. Setelah Asia, ya Afrika.”