Di tengah isu penurunan daya beli masyarakat, industri pariwisata dan perhotelan Indonesia untuk kelas premium justru menunjukkan geliat positif. Ini menunjukkan warga ekonomi kelas atas Tanah Air masih memiliki daya beli yang kuat bahkan untuk kebutuhan tersier mereka.
Pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Syahrul Muttaqin mengungkapkan pengalamannya berlibur ke Malaysia dan Singapura, baru-baru ini di tahun 2025. Ia justru lebih memilih berlibur ke luar negeri ketimbang menjelajahi destinasi domestik antar-provinsi.
Ia membandingkan biaya penerbangan dari Aceh, tempat tinggalnya, ke Jakarta yang mencapai Rp 1,8 juta sekali jalan (total Rp 3,6 juta pulang pergi), sementara tiket ke Kuala Lumpur yang hanya Rp 700.000 sekali jalan (total Rp 1,4 juta pulang pergi). "Menurut aku, Jakarta sama Kuala Lumpur itu mirip-mirip, kan, jadi kayaknya udah mendingan aku ke Kuala Lumpur," jelasnya.
Itu baru pengalaman warga kelas menengah, kalau boleh dibilang begitu. Yang lebih menarik adalah gejala di masyarakat kelas atas.
Mengutip riset Lokadata, rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan untuk kelas upper 1 dan upper 2 meningkat. Pada 2024, rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan kelas upper 1 mencapai Rp 1,5 juta meningkat dibandingkan dengan 2019 yang sebesar Rp 1,2 juta.
Begitu pula dengan rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan kelas upper 2 yang mencapai Rp 600.000 pada 2024 meningkat dari Rp 500.000 pada 2019.
Sementara itu, rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan kelas ekonomi di bawah upper, yakni middle dan lower, tidak berubah.
Menurut Lokadata, mereka mengambil definisi kelas ekonomi upper seperti yang menjadi kriteria Nielsen. Adapun ciri-ciri kelas upper ditandai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pendapatan yang signifikan, akses ke berbagai sumber daya, dan punya pengaruh terhadap tren.
Chief Data Officer Lokadata Ahmad Suwandi menjelaskan bahwa lonjakan belanja ini bukan cerminan kesehatan finansial yang merata. Ia memaparkan, "Peningkatan pengeluaran non-makanan di Indonesia antara 2019-2024 didorong oleh sebuah paradoks: di satu sisi, ekonomi makro tumbuh kuat dan PDB per kapita naik, namun di sisi lain, kelas menengah justru menyusut sebanyak 9,48 juta orang."
Menurutnya, lonjakan belanja ini sangat mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama: polarisasi ekonomi, pergeseran prioritas kelas menengah, dan akselerasi digital. Polarisasi ekonomi, misalnya, terlihat dari kelas atas yang jumlahnya stabil dan memiliki finansial kuat, sehingga meningkatkan belanja barang mewah dan pengalaman premium.
"Kelas middle dan upper memiliki destinasi wisata yang mirip namun berbeda kelasnya, seiring dengan perbedaan pola belanja," ujarnya. Ia mencontohkan, kelas atas cenderung memilih wisata pengalaman premium seperti diving atau berlayar, sementara kelas menengah memilih pengalaman yang lebih terjangkau, seperti menonton konser atau berkunjung ke tujuan wisata populer.
Masih bergairahnya pariwisata kelas premium juga ditunjukkan oleh data Badan Pusat Statistik (BPS), yakni tingkat penghunian kamar (TPK) hotel bintang lima juga meningkat. Pada Mei 2025 TPK hotel bintang lima mencapai 51,70% meningkat dari April yang sebesar 50,11%.
Data BPS memperkuat optimisme industri pariwisata:
- Tingkat penghuni kamar hotel klasifikasi bintang tertinggi tercatat di Provinsi Bali (58,10%), disusul DI Yogyakarta (53,94%), Kalimantan Selatan (52,69%), Kalimantan Timur (52,67%), dan DKI Jakarta (51,31%).
- Kunjungan wisman pada Mei 2025 mencapai 1,31 juta kunjungan, naik 14,01% (y-on-y).
- Jumlah perjalanan wisnus pada Mei 2025 mencapai 97,67 juta perjalanan, naik 17,81% (y-on-y).
Data ini menunjukkan bahwa, meskipun ada kekhawatiran tentang daya beli, keinginan masyarakat untuk berlibur dan mencari pengalaman baru tetap tinggi, mendorong pertumbuhan positif di sektor pariwisata.
Masih tingginya daya beli kelas premium pada pariwisata juga tercermin dalam riset Mandiri Spending Index yang dirilis Juni 2025. Dalam riset itu menyebutkan, pada bulan Mei atau periode libur panjang, tercatat pertumbuhan belanja kelas upper untuk tiket pesawat mencapai 41 persen, hotel 4 persen, dan restoran sebesar 12 persen.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, data ini menunjukkan, kelas ekonomi atas masih memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersier seperti berwisata. Apalagi pada saat musim libur panjang seperti yang terjadi pada bulan Mei.
Pengusaha bersikap hati-hati
Ketua Umum BPP Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi BS Sukamdani, menyampaikan pandangan yang lebih kritis dan realistis. Menurutnya, optimisme harus dibarengi dengan kehati-hatian, mengingat tantangan besar yang membayangi industri ini, terutama terkait penurunan daya beli masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Ia mengakui bahwa beberapa daerah seperti Bali dan Yogyakarta memang mengalami lonjakan signifikan dalam okupansi hotel bintang, khususnya di bulan Mei yang bertepatan dengan libur panjang.
"Bali itu kalau kita masuk di bulan Mei, Juni, atau bahkan dari April malah, itu udah mulai ramai karena turisnya masuk," ujarnya kepada SUAR, (24/7/2025)
Hal serupa terjadi di Jakarta, di mana beberapa hotel bintang 5 menunjukkan pergerakan naik. Namun, ia menekankan bahwa persaingan tarif kamar kini semakin ketat, membuat room rate cenderung turun demi memperebutkan tamu.
"Jakarta pada waktu-waktu tertentu iya. Tapi kalau dibilang bahwa itu naiknya signifikan, Jakarta belum tentu seperti itu," tambahnya. Ia menyebut banyak hotel di Jakarta masih berkutat dengan okupansi sekitar 50%.
Hariyadi menyoroti fenomena generasi milenial dan Gen Z yang gencar berlibur, bahkan rela menghabiskan uang tabungan untuk perjalanan. Meskipun ini mendorong permintaan, PHRI mencermati bahwa konsumsi tinggi ini tidak serta merta mencerminkan daya beli yang kuat.
Sebaliknya, indikasi penurunan daya beli masyarakat justru terlihat dari tren penurunan harga kamar di hotel bintang 4 dan 5.
"Daya belinya masyarakat ini menurun terus. Jadi kalau misalnya bintang 5 ramai, kita juga mesti lihat hotel bintang 4 dan 5 itu, jangan-jangan harganya juga turun," jelasnya.
Lebih jauh, Ketua Umum PHRI menyoroti tiga faktor utama yang berpotensi menjadi batu sandungan bagi industri perhotelan hingga akhir tahun:
- Penurunan daya beli masyarakat: Ini adalah kekhawatiran terbesar, karena secara langsung memengaruhi kemampuan masyarakat untuk berlibur dan membayar akomodasi dengan tarif normal.
- Pemotongan anggaran pemerintah: Anggaran pemerintah yang terbatas dan belum sepenuhnya cair juga berdampak pada sektor pariwisata, terutama pada kegiatan yang melibatkan belanja pemerintah.
- Regulasi pembatasan: Larangan study tour dan acara wisuda di hotel menjadi pukulan telak bagi okupansi, terutama untuk hotel-hotel yang mengandalkan segmen MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition) dan acara sekolah. "Situasinya daya belinya udah turun, ditambah lagi ada larangan-larangan kayak gitu, itu pengaruhnya juga besar," tegasnya.