Dua Pekerjaan Rumah Indonesia untuk Maksimalkan Manfaat I-EU CEPA

Dua pekerjaan rumah untuk memastikan manfaat maksimal dari perjanjian ekonomi I - EU CEPA, yakni membenahi regulasi dan mengoptimalkan kesiapan infrastruktur.

Menyongsong implementasi efektif Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) pada 1 Januari 2027, Indonesia masih memiliki dua pekerjaan rumah untuk memastikan manfaat maksimal dari perjanjian ekonomi tersebut, yakni membenahi regulasi dan mengoptimalkan kesiapan infrastruktur. Dengan memanfaatkan sisa waktu secara maksimal, perlu langkah strategis guna memastikan keduanya berjalan selaras tujuan semula.

Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri menyatakan, tercapainya konklusi dan penandatanganan I-EU CEPA sesudah 9 tahun negosiasi berlangsung pada momentum yang tepat di tengah situasi geopolitik yang tidak pasti. Dengan volume perdagangan mencapai EUR 27,3 miliar yang rata-rata meningkat 4,5% setiap tahun, Indonesia menyasar titik-titik potensial untuk kerja sama ekonomi lebih luas.

"I-EU CEPA menjadi toolbox Uni Eropa dan Indonesia untuk mengatasi proteksionisme. Perjanjian ini akan mewujudkan potensi penuhnya, terutama energi terbarukan, pertanian dan manufaktur berkelanjutan, standar bersama, dan harmonisasi regulasi yang menarik investasi," ucap Dyah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Harmonisasi regulasi, menurut Dyah, tidak hanya berkenaan dengan persoalan teknis seperti perizinan dan penyelesaian sengketa, melainkan juga membentuk koridor yang memungkinkan UMKM memiliki akses pasar ke Eropa, serta peningkatan kemitraan pemerintah-swasta (publik-private partnership) dengan memastikan sektor swasta menerima manfaat secara maksimal dari kerja sama.

"Regulasi yang selaras itu akan membantu Indonesia memastikan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, dan di saat bersamaan, menjamin mitigasi perubahan iklim dan upaya berkelanjutan tidak menjadi hambatan untuk kemajuan perekonomian kedua negara," pungkas Dyah.

Tonggak, bukan target

Harmonisasi regulasi sesuai ketentuan I-EU CEPA merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah di sisa waktu yang ada, agar target implementasi efektif dapat tercapai dan dampak kebijakan dapat segera dirasakan dunia usaha.

Namun, Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Didit Ratam memberi catatan, sebagus-bagusnya I-EU CEPA, dia bukanlah panacea yang mampu menyelesaikan seluruh masalah secara tuntas. I-EU CEPA, menurutnya, adalah sebuah tonggak sejarah (milestone), tetapi bukan tujuan utama.

"I-EU CEPA adalah instrumen untuk mencapai target utama, yaitu memecah tren stagnasi ekspor Indonesia ke Eropa yang selama 5 tahun terakhir hanya tumbuh kurang dari 10% per tahun. Ini berkaca pada pengalaman negara ASEAN lain, FTA dapat langsung mendongktrak ekspor dan kinerja FDI secara signifikan," ucap Didit.

Bagi EU, Indonesia memiliki basis strategis yang sangat menjanjikan untuk penanaman modal: sentralitas geografis, akses perdagangan regional, pasar yang sangat besar, dan tenaga kerja usia muda yang produktif. Namun, untuk menarik investasi dalam kerangka CEPA, Didit menekankan tiga masalah klasik yang belum terpecahkan: kesenjangan infrastruktur, high cost of economy, dan prediktabilitas kebijakan.

"Investasi untuk infrastruktur membutuhkan sedikitnya Rp10.300 triliun, padahal alokasi APBN hanya Rp402 triliun per tahun. Biaya logistik untuk berusaha di Indonesia masih mencapai 23% PDB, mulai dari fasilitas, cukai, hingga bahan bakar. Deregulasi dan relaksasi impor pun belum terstruktur seperti yang dijanjikan," keluhnya.

Disiplin dan standar

Keharusan menyelaraskan regulasi selaras ketentuan I-EU CEPA merupakan harga yang harus dibayarkan Indonesia untuk memperoleh manfaat maksimal dari perjanjian. Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Indonesia Dandy Rafitrandi merinci bahwa penyelarasan aturan sesuai ketentuan I-EU CEPA berporos pada dua sisi, yakni sisi standar dan sisi disiplin.

Pada sisi standar, tanggung jawab Indonesia adalah memastikan tersedianya platform legal yang mengatur keberlanjutan dan daya saing produk yang berjalan secara simultan, serta tidak mengorbankan yang satu untuk yang lain. Standar tersebut juga mengatur keharusan transparansi, pemberlakuan nondiskriminatif, serta mencegah sikap proteksionis.

Sementara itu, dari sisi disiplin, ketersediaan platform legal tersebut perlu dibarengi dengan standar nasional produk dan skema sertifikasi, serta meningkatkan ketertelusuran (traceability) produk-produk komoditas unggulan Indonesia sesuai peraturan European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Baca juga:

Hadapi Tenggat EUDR, Pemerintah Gratiskan Lisensi Ketelusuran Ekspor Komoditas
Pemerintah Indonesia pada Kamis (16/10/2025) berencana menggratiskan lisensi ketertelusuran (traceability) untuk ekspor sejumlah komoditas ke Uni Eropa

"Kedua sisi tersebut perlu dijalankan karena Indonesia memiliki sumber daya strategis, tetapi tidak memiliki teknologi cukup untuk mengelolanya. Maka itu, provisi tarif nol untuk 'produk hijau' (green goods), sekalipun belum mendapatkan rincian, menjadi pegangan Indonesia untuk membina kesadaran pengusaha, termasuk UMKM," ucap Dandy.

Apabila iklim regulasi yang sudah pasti, menurut Dandy, kesadaran pelaku usaha menentukan keberhasilan tindak lanjut I-EU CEPA. Dalam hal ini, Indonesia dapat belajar dari keberhasilan EU-Vietnam Free Trade Agreement yang berhasil meningkatkan kinerja ekspor hingga 52% dalam satu tahun pertama sejak pemberlakuan aturan.

"Kerja sama ini pada dasarnya strategis dan menjanjikan manfaat untuk kedua pihak. Tantangannya terletak untuk mengatasi hambatan-hambatan nontarif di kedua pihak, sambil memastikan kesadaran para pengusaha untuk memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan," pungkasnya.

Melengkapi penjelasan Dandy, Direktur Center for International Trade and Investment Universitas Pelita Harapan Michelle Limenta menegaskan bahwa tujuan dan dalil-dalil yang termuat dalam I-EU CEPA sudah sangat jelas, yaitu mempromosikan pemrosesan komoditas dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri, sekaligus mendorong transfer teknologi dan keselarasan standar.

"Tantangan kita adalah bagaimana mengejar pembangunan dan mengejar keberlanjutan secara selaras. Apabila kita berkomitmen melakukan proses tambah nilai di dalam negeri lewat industrialisasi yang bertanggung jawab, masa depan rantai pasok yang tangguh, dengan nilai tambah dan manfaat bersama yang dirasakan kedua pihak bukanlah sesuatu yang tidak mungkin," jelas Michelle.

Kebergunaan I-EU CEPA tidak hanya ditentukan kelengkapan isi perjanjian, melainkan juga kemampuan Indonesia membereskan masalahnya sendiri, termasuk dengan mengefisienkan infrastruktur industri dalam negeri. Head of Digital Industries Siemens Indonesia Mugi Harfianza menjelaskan, untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur secara cepat, digitalisasi dan automasi industri bukan lagi suatu pilihan.

"Berkaca dari pengalaman kami selama 170 tahun, Siemens membantu industri di Indonesia dengan mengurangi penggunaan energi, meningkatkan kualitas produk, dan menurunkan biaya produksi dengan inovasi yang memastikan data aset akurat dan konsisten, serta kolaborasi real-time antara bagian teknisi dan operator," ucap Mugi.

Meski demikian, Mugi mengakui bahwa ada berbagai tanggapan saat membahas automasi dan digitalisasi, yang bergantung sejauh mana para pelaku usaha dapat mengidentifikasi titik-titik masalah (pain points) dalam bisnis mereka, sehingga mengetahui dengan tepat hambatan-hambatan yang ada.

"Ketika Anda dapat menangani titik-titik masalah ini secara tepat, Anda dapat mengevaluasi teknologi sebagai lebih dari sekadar adopsi yang mahal. Penting untuk dipahami bahwa ini bukan usaha instan sehari-dua hari, melainkan mewujudkan ekosistem infrastruktur digital yang mampu menopang tujuan berkelanjutan," tegasnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional