Transformasi Berlanjut Pertamina

Pertamina (Persero) menjadi BUMN terbesar yang memberikan kontribusi kepada penerimaan negara sepanjang tahun 2025.

Transformasi Berlanjut Pertamina
Konsumen melakukan pembayaran usai mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) menggunakan Quick Response Code (QR Code) di salah satu SPBU di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (5/9/2025). Foto: ANTARA FOTO/Arnas Padda/bar
Daftar Isi

PT Pertamina (Persero) terus bertransformasi menjadi badan usaha yang memberi dampak skala ekonomi luas bagi masyarakat. Pertamina harus mengoptimalkan pelayanan dan distribusi bahan bakar demi menjaga kepercayaan masyarakat dan tercapainya target swasembada energi.

Hal tersebut disampaikan Direktur PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Dalam RDP tersebut, jajaran direktur dan CEO sejumlah perusahaan subholding di bawah naungan Pertamina melaporkan secara teperinci sejumlah capaian dan strategi perusahaan migas negara itu dalam menjalankan roda bisnis mereka.

Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri menyatakan bahwa saat ini, Pertamina tengah memperkuat struktur organisasi dengan membentuk Direktorat Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis guna menyelaraskan prioritas perusahaan agar sejalan dengan misi yang dipercayakan Danantara.

Salah satunya, integrasi bisnis hilir yang akan menyatukan Pertamina Patra Niaga, Kilang Pertamina International, dan Pertamina International Shipping yang selesai pada akhir 2025.

"Optimasi seluruh lini kami jalankan untuk menjaga reputasi perusahaan. Pertamina akan fokus pada core business minyak, gas, dan energi terbarukan, sehingga akan melepas dan menggabungkan sejumlah anak usaha, seperti Pelita Air Services yang akan bergabung dengan Garuda Indonesia, juga perusahaan asuransi dan hospitality akan digabungkan," ucap Simon saat membuka pemaparannya.

"Pertamina akan fokus pada core business minyak, gas, dan energi terbarukan, sehingga akan melepas dan menggabungkan sejumlah anak usaha," ujar Simon.

Sepanjang Januari sampai Juli 2025, Simon menyatakan Pertamina telah berhasil mencatatkan pendapatan sebesar Rp 672 triliun. Kapasitas produksi Pertamina mencapai 1 juta barel ekuivalen per hari, dengan yield valuable kilang sebesar 84%.

Kinerja keuangan perusahaan secara umum tetap sehat dengan laba bersih setelah pajak tumbuh 6% year on year sebesar US$ 1.597 juta. Ini tidak lepas dari penurunan parameter signifikan akibat penurunan harga minyak mentah akibat oversuplai dari negara-negara OPEC+ dan penurunan permintaan yang melemah akibat perlambatan ekonomi dan ketidakpastian geopolitik.

Meski harus menyesuaikan diri terhadap penurunan tersebut, Pertamina tetap menjadi kontributor terbesar untuk pendapatan negara sebesar Rp225,6 triliun, menjadi penyumbang dividen terbesar untuk Danantara, sekaligus menjadi BUMN kontributor pajak terbesar.

"Harga minyak mentah saat ini US$ 66 per barel, tetapi kemungkinan bisa turun sampai US$59-US$60 per barel. Penurunan harga minyak mentah ini mengakibatkan penurunan pendapatan di hulu, di samping selisih harga yang berkurang di sisi kilang karena ada banyak kilang dunia yang ditutup," jelas Simon.

Strategi produksi dan penjualan

Tidak hanya peningkatan pasokan dan penurunan permintaan minyak global yang mengadang perkembangan Pertamina, faktor menurunnya cadangan alam pun menjadi salah satu tantangan yang harus diatasi.

Direktur Pertamina Hulu Energi Awang Lazuardi menjelaskan, meski produksi minyak Pertamina saat ini memiliki proporsi 69% dan gas Pertamina mencapai 37% produksi nasional, menurunnya cadangan alam tetap menjadi perhatiannya.

"Kalau kita tidak berbuat apa-apa, natural decline bisa menurunkan produksi minyak sampai 22% dan gas 16%. Pertamina Hulu Energi saat ini telah mengembangkan 577 bor untuk eksplorasi, serta melakukan pemboran 15 sumur untuk mendapatkan tambahan cadangan 804 juta barel ekuivalen," ungkap Awang.

Dengan melakukan pengelolaan tersebut, produksi minyak Pertamina per Agustus telah mencapai 557 ribu barel per hari dari target 564 ribu barel per hari di akhir 2025. Selain itu, produksi gas terealisasi 2.774 juta kubik per hari dari target 2.822 juta kubik per hari.

Capaian dari segi produksi tersebut berbanding lurus dengan capaian Pertamina dari segi penjualan.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menyampaikan bahwa saat ini, volume penjualan Pertamina mencapai 59 juta kiloliter, dengan 41% dari penjualan tersebut adalah BBM nonsubsidi.

"Dengan pendataan berbasis NIK di aplikasi MyPertamina, transaksi LPG 3 kilogram dan BBM bersubsidi semakin tepat sasaran. Selain itu, kami juga melakukan diversifikasi produk biofuel Pertamax Green 95 dan berhasil melaksanakan program BBM 1 harga di 573 dari 15.345 SPBU Pertamina di seluruh Indonesia," jelas Ega.

Jaga kepercayaan rakyat

Terlepas dari kinerja baik yang dijelaskan secara transparan tersebut, sejumlah anggota Komisi VI DPR RI mengungkapkan sejumlah kritik terhadap situasi lapangan akhir-akhir ini yang cukup mengecewakan.

Anggota Komisi VI Fraksi Gerindra Mufti Nurul Anam menyatakan, target produksi Pertamina sampai 2029 sangat jauh dari angka kebutuhan konsumsi energi nasional. Jika Pertamina tidak mampu memenuhinya, Mufti mengkhawatirkan cita-cita swasembada energi 2029 tidak akan tercapai sesuai target Presiden.

"Lebih baik Asta Cita direvisi daripada muka kami ini hilang semua karena ketidakmampuan Pertamina mencapai swasembada energi membuat Asta Cita Presiden jadi omon-omon," ujar Mufti.

Tidak hanya itu, Mufti sampai mempertanyakan apakah Pertamina terlibat dalam kelangkaan BBM di SPBU swasta yang terjadi akhir-akhir ini.

"Jika masyarakat rela antre berjam-jam di SPBU swasta, artinya kepercayaan masyarakat pada Pertamina tidak baik-baik saja. Mengapa Pertamina tidak mengintrospeksi diri selain meminta maaf? Kenapa tidak ada langkah nyata soal ini?" gugatnya.

Persoalan distribusi juga disorot oleh anggota Komisi VI Fraksi PKB, Rivqy Abdul Halim. Beberapa waktu lalu, Rivqy mendapatkan laporan kelangkaan BBM di daerah pemilihannya, yaitu Jember, Jawa Timur, akibat terputusnya jalur distribusi karena longsor.

Suplai BBM Pertamina ke Jember yang dipasok hanya dengan truk menjadi sangat terhambat hingga masyarakat menghadapi kelangkaan selama 4 hari.

"Kelangkaan ini hampir menyebabkan konflik horizontal, karena SPBU Pertamina di Lumajang tidak menerima pembelian BBM dari kendaraan berpelat Jember. Bupati Situbondo bahkan melarang warga Jember membeli BBM di Situbondo," ujar Rivqy.

Rivqy juga meminta audiensi kepada Direktur Utama Pertamina mencari solusi teknis dengan mengajak perwakilan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang menurutnya telah siap untuk membantu suplai BBM dengan kereta api.

"Ketika saya datang ke rapat, Pertamina ternyata hanya mengutus Humas. Saya sangat marah karena ini melecehkan sekali. Saya datang membawa aspirasi, ingin mencari solusi teknis, dan bukan meminta program. KAI sudah siap, tetapi bagaimana Pertamina?" cetusnya.

Tata ulang usaha hilir

Menanggapi kritik kedua anggota Komisi VI DPR RI tersebut Simon Mantiri menyampaikan permohonan maaf atas ketidaksiapan pelayanan Pertamina di lapangan. Terkait impor BBM, dia menegaskan bahwa sebagai badan usaha penyalur energi, Pertamina pun memiliki kuota yang sudah ditentukan BPH Migas dan ESDM.

"Saya sampaikan bahwa itu tidak benar. Pertamina tidak menghalangi atau membatasi ekspor BBM untuk SPBU swasta mana pun," ujar Simon.

Dari kejadian kelangkaan ini, Simon menyatakan pihaknya akan terus mengevaluasi diri dan bekerja sangat keras untuk memenuhi target swasembada energi. "Tapi kami juga membutuhkan sinergi dan kolaborasi untuk bisa mencapai target tersebut bersama-sama," ucap Simon.

"Pertamina tidak menghalangi atau membatasi ekspor BBM untuk SPBU swasta mana pun," kata Simon.

Dihubungi secara terpisah (11/9), Pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menyatakan, situasi kelangkaan BBM di SPBU swasta mengindikasikan upaya pemerintah untuk mengatur dan menata ulang usaha ritel BBM.

Pri menilai, setidaknya ada dua aspek yang ingin ditekankan atau ditata ulang oleh pemerintah. Pertama, kontrol suplai BBM ada di tangan pemerintah, bukan di Pertamina. Kedua, mesti ada korelasi antara izin usaha niaga hilir BBM dengan keharusan menjaga stok atau membangun infrastruktur hilir.

Dia menambahkan, dalam rangka memperkuat cadangan BBM nasional yang dapat diakses semua pelaku hilir BBM, tampak jelas bahwa pemerintah saat ini sedang menata ulang distribusi. Pertamina bisa jadi tidak tahu-menahu akan rencana ini, meski kelangkaan di SPBU swasta mengakibatkan masyarakat membeli BBM di SPBU milik Pertamina.

"Pengaturan distribusi memang merupakan kewenangan pemerintah, termasuk mekanisme impor, kerjasama B2B, dan bagaimana implementasi peraturan itu nantinya, semua menjadi perhatian dan pekerjaan pemerintah saat ini," pungkas Pri.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional