Berita beraroma harum datang dari Sidomulyo, sebuah desa di lereng gunung Gumitir, Jember, Jawa Timur. Koperasi desa yang dijuluki "desa devisa" itu mencatatkan sejarah baru dengan melepas ekspor kopi perdana ke tiga negara sekaligus – Brunei Darussalam, Hong Kong, dan Singapura – pada bulan lalu.
Nilai nota komitmen atau letter of intent (LoI) untuk ketiga negara mitra dagang Indonesia itu tercatat sebesar US$ 78.000, sekaligus menjadi bukti kalau koperasi desa dapat bersaing di pasar internasional. Perinciannya, US$ 30.000 berasal dari Brunei Darussalam, US$ 23.000 dari Singapura, dan US$ 25.000 dari Hong Kong.
Bagi Kamiluddin, Kepala Desa Sidomulyo, pencapaian tersebut bukan hanya merupakan transaksi perniagaan. “Ini bukan hanya soal kopi, tetapi tentang kepercayaan bahwa desa bisa mengelola koperasi secara profesional, transparan, dan berorientasi global,” ujarnya, Minggu (31/8/2025) seperti dikutip situs Pemerintah Kabupaten Jember.
Terletak di iklim tropis dengan hamparan gunung-gunung vulkanik, Indonesia dikenal sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di dunia. Beragam kopi unggulan, seperti Arabika Gayo dari Aceh, kopi Toraja dari Sulawesi, hingga robusta dari Lampung ada di negeri ini.
Rasa dari berbagai jenis kopi tersebut memiliki kekhasan tersendiri dengan citarasa kompleks dan unik, sehingga digemari oleh pasar mancanegara – khususnya di Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
Rasa dari berbagai jenis kopi tersebut memiliki kekhasan tersendiri dengan citarasa kompleks dan unik, sehingga digemari oleh pasar mancanegara – khususnya di Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor kopi Indonesia mengalami tren positif, dengan capaian US$ 1,35 miliar pada Januari–Juli 2025. Diproyeksi bakal naik lebih dari 100% dibandingkan dengan capaian ekspor kopi sepanjang tahun 2024 yang mencapai US$ 1,64 miliar.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Fajarini Puntodewi menyebut lonjakan ini didorong beberapa faktor. Seperti, gagal panen kopi arabika di Brazil, larangan impor sementara terhadap kopi robusta Vietnam di Eropa karena notifikasi pestisida melebihi ambang, dan peningkatan harga kopi global.
"Buyer Eropa semakin banyak mencari kopi robusta dari Indonesia, khususnya kopi Lampung," tulis Fajarini dalam keterangan tertulis yang diterima SUAR, Selasa (02/09/2025).
Menurut Fajarini, kopi Indonesia sangat bersaing dengan kopi asal Brazil dan Vietnam. Salah satu buktinya, permintaan pasar mancanegara yang tetap tinggi meski ketidakpastian tengah merundung perdagangan dan ekonomi dunia.
Sebelumnya, awal Agustus, Pemerintah AS menerapkan tarif 50% untuk sepertiga barang Brasil ke Amerika Serikat atau merupakan tarif yang tertinggi dari semua negara di dunia. Hal ini membuat Indonesia bisa mengambil kesempatan tersebut untuk ekspansi ekspor ke negara lainnya.
Fajarini mengatakan, pihaknya membantu business matching, business pitching, dan pelatihan ekspor.
"Dengan kombinasi langkah dari sisi pelaku usaha dan dukungan pemerintah, kita yakin daya saing kopi Indonesia bisa terus meningkat. Tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, tapi juga di pasar global," ucap Fajarini.
Produktivitas dan nilai tambah
Sementara itu, petani dan eksportir berharap pemerintah ikut mendorong produktivitas dan mengungkit nilai tambah kopi Indonesia agar bisa bersaing di pasar global. Menurutnya, kopi Indonesia memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara lain.
"Yang membedakan kopi Indonesia dari Brazil dan Vietnam adalah asal daerah (origin). Perbedaan faktor geografis, cuaca, dan perlakuan pasca-panen membuat citarasa kopi Indonesia sangat unik, dengan keragaman variasi yang cukup banyak," ungkap Ichwan kepada SUAR.
Ichwan menekankan, sebagian besar kapasitas produksi kopi Indonesia masih diproduksi oleh unit usaha setingkat usaha kecil dan menengah (UKM). Akibatnya, petani Indonesia acapkali masih mengekspor produknya dalam bentuk biji kopi, meski jumlah eksportir kopi olahan juga mulai meningkat.
"Persaingan kopi olahan cukup ketat. Kapasitas memenuhi pesanan kopi olahan dalam jumlah besar hanya bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Santos, Top Coffee, Aneka Coffee Industry, dan lain-lain," ujarnya.
Dalam kapasitas produksi skala industri itu, ekspor kopi olahan telah berhasil diekspor ke Filipina, Malaysia, dan Jepang.
Selain Amerika Serikat sebagai negara dengan permintaan biji kopi tertinggi, petani kopi Indonesia telah mengirimkan ekspor ke Mesir, Korea Selatan, Eropa Timur, Rusia, Jerman, Italia, Belgia, dan Inggris.
Dengan daya jangkau ini, kata Ichwan, pemerintah dapat memfasilitasi peningkatan ekspor dengan memperbanyak promosi dan kontak dagang di luar negeri.
"Sebetulnya yang menjadi kendala kopi Indonesia adalah masalah produksi. Dalam sepuluh tahun terakhir, volume produksi kopi Indonesia relatif konstan tanpa peningkatan yang signifikan," tutup Ichwan.
Ketua Kompartemen Industri Hilir Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Moelyono Soesilo mencatat produktivitas kopi yang dihasilkan petani Indonesia relatif kalah jauh ketimbang kompetitor secara volume, meski bersaing secara harga.
Ia mencatat, saat ini produksi kopi robusta hanya 1 ton sampai 1,2 ton per hektare, jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas petani Vietnam yang mampu memproduksi 3,6 ton per hektare – apalagi Brazil yang bisa mencapai 4,5 ton sampai 4,8 ton per hektare.
Moelyono mengakui pola tanam petani masih tidak mau berubah, hanya melanjutkan pola orang tuanya. Tenaga penyuluh dan pengawasan di lapangan relatif kurang, pupuk sulit didapatkan pada saat dibutuhkan, dan kekuatan ekonomi petani masih lemah.
"Akibatnya, karena mereka menanam untuk kebutuhan, yield saat panen relatif rendah," ungkapnya.
Pasar bebas perlu aturan
Di samping tantangan dari para petani, ketiadaan regulasi membuat ekosistem pasar kopi di Indonesia berjalan tanpa mengindahkan kepentingan pelaku di dalamnya.
Pengusaha kopi asal Garut, Jawa Barat, Aries Sontani, menyatakan tingginya permintaan pasar memang menguntungkan para petani. Karena saat ini, kopi mentah bisa dihargai Rp 17.500 per kilogram, naik signifikan daripada beberapa tahun lalu. Namun, di sisi lain, perilaku buyer yang ingin membeli langsung kopi dari petani membuat para tengkulak menjerit.
"Di mana ada perkebunan, buyer itu langsung saja sekonyong-konyong membeli. Padahal di perkebunan itu ada kelompok tani yang mengurusnya, ada aturan, dan ada orang-orang yang selama ini telah berjasa memproses kopi dari panen sampai siap memasuki pasar," kisah Aries saat dihubungi SUAR, Rabu (03/09/2025).
Fajarini menambahkan, penguatan olahan guna meningkatkan nilai tambah di sepanjang rantai pasok dapat menjadi salah satu jalan keluar agar petani kopi dapat mengekspor lebih dari sekadar biji.
Sejumlah strategi yang dilakukannya, antara lain, stabilisasi harga dan ketersediaan bahan pokok, peningkatan sarana perdagangan dalam negeri, hingga memfasilitasi pengembangan dan sertifikasi produk.
Menurut Fajarini, Kemendag berfokus membuka akses pasar luar negeri bagi produk Indonesia. "Upaya yang dilakukan di antaranya penguatan diplomasi perdagangan internasional dan peningkatan promosi dan informasi ekspor," kata dia.