Di tengah maraknya bencana, kian deras pula bertumbuhnya kesadaran untuk menjalankan ekonomi hijau. Tak hanya menciptakan perekonomian yang selaras dengan pelestarian lingkungan, ekonomi hijau punya dua "mesin" yang bisa dioptimalkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Dua hal itu adalah investasi pada ekonomi hijau dan pasar karbon Indonesia.
Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan karbondioksida (CO2) dari atmosfer atau yang disebut dekarbonisasi kini menjadi tujuan para investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara, termasuk Indonesia.
Dewan Ekonomi Nasional pada Senin (15/12/2025) mengatakan memitigasi iklim dari sisi manufaktur dan perdagangan karbon menjadi dua strategi utama bagi Indonesia untuk menambah daya tarik bagi investor mancanegara yang lebih tertarik pada ekonomi hijau.
Hal tersebut dilakukan guna mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada 2029.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD200-250 miliar per tahun untuk mencapai target ambisius itu.
"Pertumbuhan ekonomi yang disasar Indonesia bukan hanya harus lebih cepat dan konkret, tetapi juga lebih inklusif dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan perubahan iklim sebagai ancaman eksistensial. Kita harus mencari titik keseimbangan pertumbuhan dan keberlanjutan, demi generasi berikutnya," kata Luhut di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Konsekuensi ekonomi perubahan iklim, Luhut menegaskan, memacu Indonesia untuk berinvestasi lebih pada sektor ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan. Salah satunya, memastikan perdagangan karbon yang lebih berintegritas dan benar-benar sesuai dengan National Determined Contribution (NDC) Indonesia sebesar 31,89% pada 2030.
Negara-negara maju memandang rendah negara-negara berkembang karena seringkali tidak dianggap transparan dalam perdagangan karbon. Ini menjadi penting bagi kami untuk menyusun rencana konkret menyeimbangkan pertumbuhan tinggi dan keberlanjutan demi meraih dan menjaga kepercayaan internasional," ucapnya.
Melengkapi penjelasan Luhut, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu menjelaskan, persoalan struktural Indonesia yang sangat tergantung pada sektor industri tinggi-karbon seperti pertambangan batubara, besi dan baja, produk kimia, semen, dan sebagainya menjadikan Indonesia sebagai emiter terbesar ke-8 di dunia, dengan komposisi gas rumah kaca mencapai 43% emisi karbon nasional.
Meski demikian, Mari menyatakan, kesempatan ekonomi dalam pertumbuhan hijau sangatlah besar. Itu sebabnya, DEN merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan daya saing industri manufaktur rendah karbon secara simultan dengan penguatan industri hijau seperti energi terbarukan, EV, agroforestry, dan konstruksi hijau.
"Transisi ini esensial untuk menjaga Indonesia tetap kompetitif. Investor semakin menuntut rantai pasok memenuhi kriteria hijau. Investor juga semakin ingin tahu rekam jejak dan trajektori sebuah negara melaksanakan dekarbonisasi berlandaskan reformasi institusional holistik," jelasnya.
Selain merencanakan standar produk hijau, penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk berbagai komoditas tinggi karbon menjadi salah satu usaha Indonesia menjalankan strategi pertumbuhan hijau. Namun, NEK hanya akan bekerja secara efektif jika menemukan titik optimal: tidak terlalu tinggi dan memukul pelaku industri, tetapi tidak terlalu rendah untuk menjaga integritas pelaku usaha dalam menjalankannya.
Saat ini, dengan partisipasi NEK dalam perdagangan berbasis kepatuhan (compliance market) baru mencapai Rp84-85 miliar per tahun, Indonesia perlu mengambil pendekatan komprehensif dalam membangun perdagangan karbon berintegritas tinggi sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional.
"Tata kelola karbon perlu lebih terdesentralisasi dengan komite pengarah nasional yang mengawasi seluruh ekosistem. Dengan menyerahkan tanggung jawab tata kelola karbon secara sektoral, kementerian-kementerian diharapkan dapat melaksanakan sistem pendaftaran karbon nasional yang interoperabel, transparan, dapat dilacak, dan berkualitas tinggi," pungkas Mari.
Ekosistem harus mendukung
Sebagai beleid pengganti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, Penasihat Utama Menteri Kehutanan Edo Mahendra mengatakan, Perpres 110/2025 mengubah paradigma tentang NEK yang sebelumnya dianggap residual menjadi instrumen utama bagi Indonesia dalam usaha mencapai NDC pada 2030.
Selain itu, Perpres 110/2025 menggariskan desentralisasi tata kelola ekosistem karbon, yang menekankan peran kementerian teknis seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertanian untuk menangani carbon offset di bidang masing-masing.
"Desentralisasi tata kelola dalam ekosistem karbon menekankan agar kementerian memahami besaran kontribusi sektor mereka terhadap emisi karbon kumulatif dan dampaknya bagi NDC. Dengan pemahaman itu, mereka lebih bertanggung jawab melakukan optimasi berdasarkan karakteristik sektornya masing-masing," ujarnya.
Baca juga:
Meski desentralisasi tata kelola karbon menuntut kementerian lebih bertanggung jawab dan sudah mengatur carbon budget setiap sektor, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) Kuki Soejachmoen menekankan ketiadaan target yang jelas membuat ekosistem permintaan dan penawaran karbon domestik tidak kunjung terbentuk.
Kuki menekankan, karakteristik utama perdagangan karbon berbasis kepatuhan adalah kejelasan target dan metode registrasi karbon yang sesuai standar internasional. Dalam Perpres 110/2025, metode registrasi tersebut telah dimungkinkan dan Indonesia sudah berada di jalur yang tepat.
"Maka itu, dengan aturan yang sudah tepat, tantangannya adalah pelaksanaan. Kita harus memastikan apapun transaksi karbon yang dilakukan tidak sampai overselling. Jangan lupa, gagasan desentralisasi menuntut kapasitas agensi yang benar-benar memahami perdagangan karbon secara menyeluruh," pungkas Kuki.
Kepentingan global
Usaha Indonesia membangun perdagangan karbon yang berintegritas tinggi di dalam negeri tidak jauh berbeda dengan pengalaman berbagai negara lain yang berusaha melaksanakan amanat Perjanjian Paris 2015. Namun, Guru Besar London School of Economics Robin Burgess menekankan, upaya tersebut cenderung terpisah-pisah. Padahal, tugas menekan emisi karbon adalah kepentingan global.
"Pendekatan dua pilar dibutuhkan dalam memastikan usaha ini tidak diteruskan. Di tingkat internasional, diperlukan sebuah koalisi lintas yurisdiksi politik yang memungkinkan suatu pasar tunggal karbon terbentuk untuk proyek berbasis alam dan terbarukan. Praktik koalisi ini diawasi komite independen di dalam negeri, terutama memastikan kredibilitas proyek karbon yang diperdagangkan," ujarnya.
Pada tahun ini, dunia telah memiliki 80 instrumen NEK di lebih dari 50 negara yang secara kolektif menangani 28% emisi GRK global. Berbagai inovasi dari praktik perdagangan karbon kemudian mendorong terbentuknya sebuah pasar teknologi hijau. Indonesia, menurut Burgess, semestinya masuk ke dalam pasar ini dan mengambil manfaat, antara lain, untuk meningkatkan akses energi listrik bersih dan murah.
"Begitu banyak inovasi telah memungkinkan emisi ketenagalistrikan turun. Melalui dekarbonisasi global dengan pasar karbon tunggal, memajukan kredibilitas perdagangan karbon berarti membuka masuknya investasi semakin besar. Kuncinya, jangan sampai ada eksklusi proyek karbon atas nama kepentingan politik," ucap Burgess.
Berbagi pandangan dengan Burgess, pengajar Departemen Ekonomi Stanford University Allan Hsiao menyatakan, sesudah bertahun-tahun Indonesia, Kongo, dan Brazil menduduki tempat teratas dalam peringkat deforestasi global, pendekatan lain dari perspektif lebih positif harus mengakui usaha keras Indonesia mengupayakan konservasi alam.
"Pada 2010, Norwegia telah menyediakan insentif USD 1 miliar untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dan Brazil, tetapi ini relatif kecil dibandingkan penerimaan Indonesia dari perkebunan sawit. Brazil juga sempat mencapai kemajuan, tetapi kemudian mundur pada masa pemerintahan Jair Bolsonaro," cetus Hsiao.
Berkaca dari realitas tersebut, salah satu penelitian Hsiao menemukan bahwa karena karakteristik regulasi lingkungan sangat rumit, fokus kebijakan perlu lebih diarahkan lebih dari sekadar implementasi, tetapi juga mekanisme hukum yang memastikan durabilitas regulasi tersebut menghadapi kepentingan politik.
"Semakin kuat regulasi emisi karbon, semakin kurang durabel secara politik. Sebaliknya, peraturan yang lemah lebih didukung secara politik, meski targetnya lebih rendah. Komitmen politik yang kuat terhadap konservasi cerdas akan mengurangi praktik trade off semacam ini, yaitu regulasi yang efektif dan target yang benar-benar tepat," tegasnya.