Pemerintah mengungkap realisasi subsidi dan dana kompensasi pemerintah telah sesuai jalur anggaran yang ditetapkan. Meski demikian, ketepatan penyaluran subsidi membutuhkan data sinkron dan presisi untuk memastikan akurasi penerima, sekaligus menutup celah kebocoran yang selama ini menyebabkan subsidi justru diterima masyarakat sangat mampu.
Penjelasan tersebut disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat kerja membahas realisasi subsidi dan kompensasi APBN 2025 dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025). Rapat pagi itu menjadi persamuhan kedua Purbaya dengan komisi yang diketuai Muhammad Misbakhun sejak dilantik pada 8 September 2025 lalu.
Dalam memaparkan data-data realisasi subsidi tersebut, Bendahara Negara menyatakan sepakat dengan pandangan ketua komisi bahwa subsidi merupakan salah satu alat pemerintah membantu masyarakat menikmati kue perekonomian. Namun, jika salah sasaran, subsidi justru dapat memperburuk ketidaksempurnaan pasar (market imperfection) yang semula menjadi latar belakang keberadaannya.
Hingga September 2025, pemerintah telah merealisasikan subsidi sebesar Rp218 triliun atau 43,7% dari pagu APBN 2025 sebesar Rp498,8 triliun. Subsidi dan kompensasi terbesar dialokasikan untuk menutup harga keekonomian minyak solar, minyak tanah, dan LPG 3 kg sebesar Rp88,9 triliun atau 63,9% pagu APBN sebesar Rp139,1 triliun.
Sementara itu, subsidi listrik untuk rumah tangga miskin dan rentan sebesar Rp50,1 triliun atau 55,9% dari pagu APBN sebesar Rp89,7 triliun. Khusus untuk listrik, Purbaya menyatakan seluruh kompensasi listrik tahun sebelumnya dan kekurangan pembayaran telah dilunasi seratus persen oleh pemerintah sebesar Rp39,5 triliun kepada PT. PLN (Persero).
"Selama ini pemerintah menanggung Rp1.700 dari setiap liter Pertalite dan menanggung Rp5.150 dari setiap liter Solar. Realisasi menunjukkan penyaluran subsidi berjalan sesuai target anggaran. Ini adalah bentuk keberpihakan fiskal yang terus dievaluasi agar tepat sasaran," tukas Purbaya.
Terlepas dari realisasi yang berjalan sesuai target, penyaluran subsidi masih kerap salah sasaran. Ini tercermin dalam masyarakat desil 8-10 masih menikmati subsidi dan kompensasi energi. Desil merupakan pembagian kelompok masyarakat ke dalam sepuluh tingkatan berdasarkan tingkat kesejahteraan ekonomi, dimulai dari desil 1 (paling miskin) hingga desil 10 (paling sejahtera).
Masyarakat desil 8 dan 10 yaitu masyarakat dengan pendapatan per kapita sebesar Rp6.500.000 hingga di atas Rp20.000.000 per bulan, masih menikmati subsidi dan kompensasi energi, dengan tingkat penerimaan manfaat antara 9-11%.
Secara rinci, masyarakat desil 8 menerima subsidi dan kompensasi listrik hingga Rp20,7 triliun serta BBM hingga Rp7,8 triliun; masyarakat desil 9 menerima subsidi dan kompensasi listrik hingga Rp18,7 triliun serta BBM hingga Rp7 triliun; dan masyarakat desil 10 menerima subsidi dan kompensasi listrik hingga Rp16,6 triliun serta BBM hingga Rp6,3 triliun.
"Saya kira ini penyebab subsidi energi naik terus dari tahun ke tahun. Sekarang, Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sudah ada, tetapi belum dimanfaatkan Kementerian ESDM. Saya akan minta BPKP untuk survei penyaluran subsidi itu, jadi kalau ada yang menyeleweng, bisa segera kita tindak," jelasnya.
Dihubungi terpisah, Vice President (VP) Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamina sendiri sudah menerima pembayaran Dana Kompensasi sepenuhnya untuk tahun 2024. "Kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada pemerintah," ujar Fadjar, Selasa (30/9/2025).
Harus lebih tepat
Para wakil rakyat memberikan sorotan tajam terhadap penjelasan Purbaya. Andreas Eddy Susetyo dari Fraksi PDIP menyatakan, selain subsidi energi BBM dan listrik, subsidi pupuk juga harus diperhatikan. Pasalnya, subsidi pupuk yang telah mencapai Rp200 triliun ternyata lebih banyak diterima pabrik-pabrik pupuk tua yang menyebabkan harga pokok penjualan (HPP) tinggi dan tidak efisien.
"Dengan mekanisme cost plus, kebijakan subsidi pupuk yang tidak tepat ini sudah berlaku sejak 2003. Mekanisme subsidi perlu melakukan transformasi secara keseluruhan, salah satunya dialihkan untuk pabrik yang lebih modern dan efisien, sehingga tepat sasaran," tegas Andreas.
Berbagi pandangan dengan Andreas, Melchias Mekeng dari Fraksi Golkar menuntut Kementerian Keuangan mengevaluasi proses verifikasi penyaluran subsidi yang terlalu rumit dan birokratis, tetapi justru tidak menghasilkan penyaluran yang tepat.
"Sejak dulu, subsidi pupuk besar, tetapi rakyat susah menerima. Sekarang, petani bilang subsidi pupuk lancar setelah aturan yang terlalu banyak dipotong Pak Prabowo. Saya khawatir, kalau prosesnya terlalu panjang, BUMN harus minta funding ke pasar dengan bunga tinggi sehingga tidak kompetitif," ucapnya.
Habib Idrus Salim Aljufri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memaparkan ironi bahwa saat bantuan negara yang semestinya menjadi pegangan justru belum cukup untuk mengurangi beban masyarakat miskin, subsidi energi justru dinikmati kelompok mampu.
"Cakupan bantuan sosial untuk kuintil termiskin belum dinikmati. Adanya indikasi kebocoran menandakan subsidi efektif menahan volatilitas, tetapi tidak efisien untuk rakyat miskin secara langsung. Karena itu, dalam APBN ke depan, presisi penargetan menjadi kunci," tekan Aljufri.
Dia mengingatkan, jangan sampai ada jarak antara niat baik fiskal dan pengalaman yang dirasakan rakyat kecil, terutama dalam tugas pemerintah memastikan kebutuhan dasar rakyat dengan harga pangan terjangkau, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman untuk melindungi rakyat.
"Pemerintah yang bijak tidak akan jatuh miskin ketika memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Subsidi bukan memanjakan, tetapi investasi agar rakyat bisa tumbuh dan terlindungi, seperti orang tua melindungi anaknya," pungkasnya.
Kemitraan dan transparansi
Sebagai persoalan klasik, ketidakakuratan data penyaluran subsidi tidak dapat diselesaikan satu kementerian/lembaga. Peneliti ekonomi Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, penyusunan DTSEN menjadi langkah strategis pemerintahan Prabowo Subianto yang harus didukung.
"Integrasi ini harus mencakup kolaborasi antara Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta dipadukan dengan catatan kependudukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar validitas identitas penerima dapat terjamin," ujar Yusuf saat dihubungi SUAR, Selasa (30/9/2025).
Integrasi data yang sinkron dan akurat perlu ditindaklanjuti dengan verifikasi dan pembaruan rutin di lapangan, antara lain dengan melakukan audit untuk menilai kondisi ekonomi penerima secara aktual. Pencoretan data maupun reaktivasi data kemiskinan, menurut Yusuf, perlu dilakukan berkala selama persyaratan dipenuhi.
"Digitalisasi sistem, yakni pemanfaatan platform digital yang transparan, akuntabel, serta berbasis AI dapat digunakan untuk mendeteksi manipulasi dan mengefisienkan sinkronisasi data dengan sektor pupuk maupun listrik," jelasnya.
Faktor penting lain adalah kemitraan dan transparansi yang harus menjadi prinsip, antara lain dengan melibatkan lembaga independen seperti Ombudsman dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mencocokkan data lokal untuk memperkuat kredibilitas dan efektivitas program.
"Selama ini, data usang dan kesalahan pendataan adalah penyebab utama celah kebocoran. Masyarakat yang sudah tidak miskin tetap tercatat sebagai penerima, sementara yang benar-benar berhak justru terabaikan. Digitalisasi sistem akan berperan besar menutup celah ini," tutup Yusuf.
Sebelumnya, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia menekankan APBN harus mampu menyeimbangkan tiga kepentingan sekaligus: menjaga keberlanjutan fiskal, menciptakan ruang ekspansi untuk sektor produktif, serta menyediakan bantalan sosial di tengah ketidakpastian global.
βIni bukan sekadar memilih sikap full power atau konservatif. Tantangannya adalah bagaimana menjaga mesin ekonomi tetap panas, tapi tidak sampai overheating,β ujarnya kepada Suar melalui keterangan tertulis, Minggu (21/9/2025).