Dari Tangerang ke Negeri Sakura, Kaigo Jadi Pilihan Menggapai Cita

Kaigo, sebutan perawat lansia di Jepang bisa mendapatkan gaji bersih Rp17 juta sampai Rp18 juta setiap bulan.

Dari Tangerang ke Negeri Sakura, Kaigo Jadi Pilihan Menggapai Cita
Belasan siswa mempelajari berbagai keterampilan untuk menjadi caregiver di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Fuji Academy yang berlokasi di Biomedical Campus, BSD City, Tangerang. (Foto: Harits Arrazie/SUAR).

Puluhan siswa di dalam kelas itu sedang memperhatikan seorang sensei, sebutan seorang guru dalam bahasa Jepang. Serempak, semua terlihat memakai seragam, kemeja putih, berdasi hitam, serta celana dan sepatu hitam.

Sembari menyimak penjelasan sensei, mereka mencatat poin-poin materi yang dianggap penting.

Di tengah kelas, terdapat sebuah kasur dan kursi roda. Jelang waktu pembelajaran yang akan selesai pada pukul 17:00, sensei Lili meminta siswanya melakukan jitsugi atau praktik. Lili meminta mereka mempraktikkan ijo kaijo, atau simulasi memindahkan lansia dari tempat tidur ke kursi roda.

Banyak siswa antusias dengan permintaan Lili. Mereka berlomba mengacungkan tangan secepat mungkin agar terpilih. Lili menunjuk dua orang. Satu berperan sebagai orang yang bertugas memindahkan lansia, satunya lagi sebagai lansia. Yang berperan sebagai lansia langsung mengambil posisi tidur di atas kasur. 

Razka Maula terpilih jadi orang yang akan bertugas memindahkan lansia. Setelah mengucap salam dalam bahasa Jepang, Razka langsung bekerja dengan cekatan. Dia membangunkan lansia yang tidur itu, meminta izin dengan sopan, lalu segera menggendongnya ke atas kursi roda. Begitu lansia sudah berada di kursi roda, seisi kelas memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. 

Itulah salah satu gambaran dari pekerjaan kaigo atau perawat untuk lansia di Jepang. Razka adalah seorang siswa yang mempelajari keterampilan itu di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Fuji Academy yang berlokasi di Biomedical Campus, BSD City, Tangerang. LPK ini memiliki fokus melatih dan menyalurkan calon pekerja migran Indonesia (PMI) di sektor perawatan ke Jepang.

Fuji Academy BSD merupakan cabang dari Fuji Academy yang berlokasi di Denpasar, Bali. Berdiri pada Februari 2025, Fuji BSD sudah berhasil melatih dan meloloskan 25 siswa pada Februari dan 40 siswa pada Juni.

“Di Agustus ada 29 siswa yang sudah lolos. Mereka sudah dapat perusahaan. Tinggal tunggu dokumen administrasi selesai dan bisa langsung berangkat,” ujar Thiki Adelina Permatasari, Kepala Sekolah Fuji BSD.

Thiki menambahkan penghasilan tinggi menjadi salah satu motivasi para siswa bekerja di Jepang.

“Setelah dipotong sana-sini, kaigo kita di sana bisa dapat bersih Rp17 sampai Rp18 juta setiap bulan,” ujar Thiki.

Sementara itu, Razka mengatakan dirinya sudah memiliki impian bekerja di Jepang sejak kecil. Dia sudah akrab dengan budaya populer Jepang lewat anime yang dulu kerap ditayangkan di TV nasional. Setelah lulus dari jurusan Layanan Kesehatan SMK Telekomedika Bogor, Razka mantap menetapkan pilihan ingin menjadi kaigo.

“Waktu itu Fuji datang promosi ke sekolah saya. Di situ saya langsung mau lanjut belajar di Fuji supaya bisa berangkat ke Jepang,” kata perempuan berusia 18 tahun ini.

Setelah mendaftar dan belajar di Fuji, kegiatan sehari-hari Razka diisi dengan belajar bahasa Jepang dan berlatih keterampilan kaigo. Waktu belajar dimulai dari pukul 08:00 dan berakhir pada pukul 17:00. Namun, Razka tidak hanya belajar mengikuti jadwal. Setelah pulang ke asrama, Razka rajin membuka kembali buku catatan, mendalami materi yang dia anggap belum dikuasai.

Razka Maula (18), seorang siswa di LPK Fuji Academy BSD. Foto: Harits Arrazie/Suar.id

Hal itu membuahkan hasil. Baru tiga bulan belajar di Fuji, Razka sudah mendapatkan sertifikat Japan Foundation Test (JFT) atau sertifikat kemampuan berbahasa Jepang sebagai salah satu syarat keberangkatan. Sebuah perusahaan di Fukushima juga telah meminang Razka sebagai karyawan. Di sisa dua bulan waktu belajarnya di Fuji, Razka fokus mengasah keterampilan teknis agar kelak siap bekerja sebagai kaigo.

Keadaan ekonomi turut menjadi motivasi Razka mengadu nasib ke Jepang. Anak pertama dari dua bersaudara ini berkeinginan membantu ekonomi keluarga.

“Ayah saya sales, tapi sudah cukup tua. Sementara ibu jualan dan situasinya lagi tidak baik. Jadi saya ingin bantu mereka,” ujarnya.

Gaji tinggi

Pekerjaan kaigo di Jepang memang menawarkan upah yang menggiurkan. Sensei Lili, pengajar di Fuji BSD mengatakan angkanya jauh melampau pekerjaan serupa di Tanah Air.

“Sudah pasti dua digit,” ujar mantan kaigo yang bekerja di Hyogo dari 2014 sampai 2018 ini.

Lili menambahkan, jika seorang kaigo bekerja dengan baik, perusahaan akan menaikkan gajinya secara reguler. Berdasarkan pengalamannya, gaji Lili naik sebesar Rp300.000 sampai Rp500.000 setiap tahun.

Menurut laporan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang (MHLW) tahun fiskal 2024 yang dirilis pada 2025, rata-rata gaji bulanan caregiver di Jepang mencapai 338.200 yen atau setara Rp37,1 juta per bulan. Jika hanya menghitung gaji pokok dan tunjangan tetap, rata-ratanya sebesar 253.810 yen atau sekitar Rp27,8 juta.

Di sisi lain, permintaan kaigo di Jepang juga relatif tinggi. Negara Bunga Sakura itu sedang mengalami aging population. Jumlah orang tua yang butuh perawatan meningkat, sedangkan tenaga muda dan perawat lokal makin sedikit.

Para siswa sedang belajar menjadi Kaigo, sebutan perawat lansia di Jepang di di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Fuji Academy yang berlokasi di Biomedical Campus, BSD City, Tangerang. (Foto: Harits Arrazie/SUAR).

MHLW memperkirakan kebutuhan tenaga perawatan lansia di Jepang terus meningkat hingga mencapai sekitar 2,43 juta orang pada 2025. Angka ini naik sekitar 320 ribu dibandingkan 2019. Pemerintah Jepang juga memproyeksikan kebutuhan sekitar 2,40 juta tenaga kerja perawatan pada 2026.

“Peluangnya relatif besar. Tinggal bagaimana melatih mereka agar kompetensinya sesuai dengan standar sehingga bisa bekerja dengan maksimal,” ujar sensei Lili. 

Kendala Biaya

Kendati begitu, pelatihan kaigo di Indonesia masih mematok tarif yang cukup mahal. Di Fuji BSD, tarif yang dikenakan mencapai Rp35 juta selama 6 bulan. Tarif itu mencakup pelatihan bahasa dan keterampilan, tempat tinggal di asrama, serta kebutuhan makan sehari-hari.

“Saya sering berkunjung ke sekolah perawatan dan kampus di berbagai daerah. Di situ saya perhatikan antusiasme mereka jadi kaigo cukup tinggi. Tapi kendalanya satu, biaya,” ujar Kepala Sekolah Fuji BSD, Thiki Adelina.

Untuk itu, Fuji BSD menerapkan mekanisme pembayaran yang lebih ringan. Selama enam bulan masa pelatihan, siswa diperbolehkan mencicil sebesar Rp2,5 juta per bulan. Sisa biaya dapat dilunasi setelah siswa berhasil mendapatkan pekerjaan di Jepang. Kata Thiki, skema ini dibuat agar peserta dari keluarga kurang mampu tetap memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja di luar negeri.

Meskipun demikian, Thiki mengakui skema cicilan itu belum dapat menyelesaikan kendala biaya siswa. Dia mengatakan masih banyak siswa yang belum bisa melunasi biaya cicilan sebesar Rp2,5 juta setiap bulannya.

Potensi Beasiswa

Pemerintah tengah menyiapkan skema pembiayaan baru untuk membantu lembaga pelatihan seperti Fuji Academy mencetak lebih banyak tenaga kerja terampil. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, mengatakan Presiden berkomitmen menyediakan dua bentuk dukungan bagi calon pekerja migran, yaitu pinjaman tanpa bunga dan beasiswa keterampilan. 

“Kebijakan ini diharapkan menghapus hambatan biaya pelatihan bagi calon pekerja yang ingin mempersiapkan diri secara profesional sebelum berangkat ke luar negeri,” ujarnya saat jadi pembicara pada acara Suar Roundtable Decision: Kekuatan Ekonomi Pekerja Migran Indonesia, di Jakarta Selatan, Kamis (18/09/2025).

Cak Imin, sapaan akrabnya, menjelaskan langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah memperbesar porsi pekerja migran terampil. Karena itu, lembaga pelatihan kerja dan sekolah kejuruan akan didorong menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi dan pusat migran agar pelatihan lebih efisien dan tepat sasaran.

Skema pembiayaan itu menjadi bagian dari reformasi kelembagaan di bawah Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) yang kini mengoordinasikan pembiayaan, pelatihan, dan penempatan tenaga kerja. Cak Imin mengatakan pemerintah berharap kebijakan ini nantinya dapat membuka akses lebih luas bagi calon pekerja migran, termasuk calon kaigo, untuk menempuh pelatihan tanpa terkendala biaya.

Menanggapi wacana kebijakan ini, Razka tampak antusias. Siswa yang mendapat skema talangan penuh karena berprestasi di Fuji BSD itu menilai bantuan seperti ini akan sangat berarti bagi calon pekerja migran yang terkendala biaya.

“Itu akan sangat membantu banget, terutama bagi yang punya kemampuan tapi tidak punya uang untuk belajar,” katanya.

Kepala Sekolah Fuji BSD, Thiki Adelina, sependapat. Thiki menilai kebijakan itu dapat memperluas kesempatan bagi calon PMI. Jika terealisasi, Thiki berharap kebijakan ini mampu membantu mengatasi keterbatasan serapan tenaga kerja di dalam negeri dengan memberi jalan bagi lebih banyak calon pekerja untuk terserap di luar negeri.