Halim Rusli masih ingat betul ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan pemberlakuan tarif resiprokal pada April 2025. Menurut dia, kebijakan itu membuat pasar terguncang. “Tarif itu bikin pasar gaduh, banyak buyer di Amerika sana menahan pembelian karena langsung berdampak ke daya beli mereka,” ujarnya dihubungi Kamis (2/10/2025).
Kebijakan tarif itu merupakan bagian dari strategi dagang baru Amerika. Pemerintah AS memberlakukan tarif dasar universal 10% untuk semua negara, lalu menambahkan tarif resiprokal lebih tinggi bagi negara tertentu. Indonesia pun termasuk yang dikenai tarif yakni 19%, sementara Vietnam mendapat beban hingga 46 persen dan Tiongkok menghadapi tambahan tarif sektoral.
Sebagai Chief Executive Officer PT Integra Indocabinet, Amerika bukan kawasan yang asing bagi Halim. Perusahaan yang berdiri sejak 1989 ini awalnya memproduksi rak CD dan plastik, sebelum merambah ke furnitur dan produk turunan. Selama lebih dari tiga dekade, pasar Amerika tetap menjadi tumpuan utama Integra.
Halim menceritakan 80% produk Integra masih mendarat di Amerika. “Di Amerika ada Target. Mereka punya 2000-an cabang. Itu baru dari satu toko, belum toko yang lain,” katanya. Sebaliknya, untuk negara lain, Integra paling banyak hanya melayani toko dengan sekitar 100 cabang.
Setelah tarif baru berlaku, nilai ekspor Integra ke Amerika mulai tergerus, terutama pada produk andalan seperti indoor furniture yang selama ini laris di Negeri Paman Sam.
“Taksiran saya turun sekitar 30%,” ujarnya.
Data BPS mencatat tren serupa, dengan ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika pada Agustus turun 12,39% secara bulanan. Pada Juli ekspor non migas Indonesia ke AS sebesar US$3,10 miliar turun menjadi US$2,72 miliar pada Agustus.
Kondisi itu mendorong Integra mencari strategi baru. Perusahaan mulai menggarap produk alternatif seperti outdoor furniture, flooring, hingga pelengkap bangunan, sekaligus membidik pasar lain agar tidak sepenuhnya bergantung pada Amerika. Menurut Halim, langkah diversifikasi ini sejatinya sudah ditempuh sejak 2024, jauh sebelum tarif diberlakukan, sebagai insting bisnis di tengah era globalisasi.
Bagi Halim, tarif Trump justru menjadi momentum untuk keluar dari zona nyaman. Namun, menjajal pasar di luar Amerika tidak bisa dilakukan seketika. Integra harus agresif memperkenalkan diri lewat berbagai event, membangun ulang jaringan dagang, dan memperkuat lini produksi.
“Sekarang kita mau comeback ke Eropa. Dulu porsi di sana kecil karena terlalu keenakan di Amerika,” katanya.
Kondisi serupa juga dialami Glenn Candranegara, pemilik PT Katwara, perusahaan furnitur asal Surabaya. Ia mengaku ekspornya ke Amerika langsung tertekan setelah kebijakan tarif baru berlaku.
“Ada permintaan burden sharing dengan buyer Amerika, dan penurunan sampai 50%,” ujarnya. Dari penurunan itu, nilai ekspor yang hilang mencapai sekitar Rp100 miliar.
Baca juga:

Untuk mengimbangi kerugian dari pasar Amerika, Glenn mulai mengalihkan sebagian ekspornya ke Eropa. Menurut dia, gaya desain dan jenis kayu yang diminati di pasar Eropa mirip dengan pasar Amerika, sehingga pergeseran itu terasa lebih natural. Namun, sejauh ini baru sekitar 20% dari total ekspor Katwara yang berhasil masuk ke pasar Eropa.
Upaya menembus pasar Eropa bukannya tanpa tantangan. Glenn mengakui bahwa pasar Amerika masih jauh lebih besar dari sisi kuantitas, sehingga ia perlu mengeluarkan usaha ekstra untuk riset dan pengembangan produk. Produk outdoor dan garden menjadi lini utama yang dikembangkan khusus untuk Eropa, meskipun proses ini memerlukan perhatian detail pada setiap tahap.
Penyesuaian produk juga menuntut biaya tambahan. Glenn menyebut setidaknya Rp100 juta dialokasikan untuk memenuhi persyaratan compliance dan sertifikasi yang berlaku di Uni Eropa. Di luar itu, harga produk juga harus dibuat lebih agresif agar bisa bersaing, dengan penurunan harga antara 10 sampai 30%.
Meski sudah melakukan berbagai langkah, Glenn mengakui bahwa pasar baru tersebut belum mampu sepenuhnya menutup penurunan dari Amerika. Ia menilai pasar global sendiri sedang dalam kondisi yang tidak stabil.
Untuk itu, Katwara berfokus pada efisiensi dan modernisasi fasilitas agar perusahaan tetap bisa bergerak luwes mencari peluang baru, sekaligus tetap inovatif dalam menghasilkan produk.
Cerita dari tekstil hulu
Di sektor hulu tekstil, Ketua Umum di Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, melihat dampak tarif lebih kasatmata. Dari laporan para anggota APSyFI, ekspor ke Amerika untuk serat, benang filamen, PET, hingga rayon praktis berhenti sejak kebijakan baru berlaku.
Ia menyebut salah satu produsen rayon viscose bahkan menutup tiga dari lima lini produksinya karena pasar goyah. “Untuk PET, serat, dan filamen sudah sama sekali tidak ada ekspor ke Amerika,” kata Redma.
Asosiasi kini mendorong pengalihan aliran barang ke pasar yang masih serasi secara spesifikasi. Untuk PET, ada pintu yang mulai terbuka ke India, sementara serat dan filamen diarahkan ke Uni Eropa dan Turki, serta peluang terbatas ke Jepang.
Namun Redma mengingatkan karakter produk yang diekspor ke Amerika, Eropa, dan Jepang cenderung berspesifikasi khusus dan berkelas menengah ke atas, sehingga tidak mudah dialihkan ke pasar yang permintaannya lebih menengah ke bawah.
Di tengah kompetisi yang makin padat karena banyak negara juga mengalihkan ekspornya dari Amerika, Redma menawarkan prioritas yang lebih dekat: memperkuat pasar domestik sambil membatasi banjir impor. Menurut dia, penyerapan dalam negeri bisa menjadi bantalan ketika pasar ekspor seret dan negara lain semakin proteksionis. “Kalau mau selamat, pasar dalam negeri yang dikendalikan,” ujarnya.
AS tetap pasar penting
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS (Center for Strategic and International Studies) Deni Friawan, menilai tren penurunan ekspor ke Amerika pada Agustus memang masih bisa diimbangi oleh kenaikan ke sejumlah negara lain. Secara nominal, ekspor ke Tiongkok bahkan hampir dua kali lipat dari ke Amerika.
Namun, ia mengingatkan bahwa kondisi ini tidak boleh membuat Indonesia cepat berpuas diri. “Faktanya, dari sisi margin dan stabilitas, pasar AS tetap penting,” kata Deni.
Menurut dia, diversifikasi pasar bukan hanya soal volume, tetapi juga kualitas dan keberlanjutan hubungan dagang. Upaya mempertahankan ekspor ke Amerika tetap harus berjalan, misalnya dengan memperbaiki masalah yang sempat muncul seperti kasus udang tercemar.
Di saat yang sama, ekspor ke negara lain harus ditopang dengan peningkatan nilai tambah produk, penguatan perjanjian dagang bilateral maupun regional, serta kesiapan menghadapi risiko geopolitik dan proteksionisme yang makin menguat.
Lebih jauh, Deni menekankan perlunya strategi jangka panjang agar diversifikasi benar-benar berkelanjutan. Diplomasi ekonomi perlu diperluas, tidak hanya lewat kerja sama di ASEAN, RCEP, atau I-EU CEPA, tetapi juga ke kawasan Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin yang punya potensi besar. Di dalam negeri, standar kualitas produk ekspor harus ditingkatkan, terutama dari sisi keberlanjutan, keamanan pangan, dan sertifikasi internasional.
Deni juga menyoroti pentingnya membangun ekosistem pendukung agar daya saing ekspor Indonesia makin kuat. Itu mencakup logistik yang efisien, pembiayaan ekspor yang inklusif, serta dorongan pada ekspor jasa digital seperti teknologi, animasi, hingga pendidikan.
Baginya, langkah-langkah itu akan memastikan diversifikasi pasar tidak sekadar mencari pembeli baru, melainkan juga meningkatkan daya saing produk Indonesia di kancah global.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, untuk mendongkrak kinerja ekspor, pelaku usaha yang berada dalam kawasan berikat bisa mencoba mengalihkan pasarnya ke luar negeri alih-alih ke dalam negeri.
Sebab, pelaku usaha di kawasan berikat sudah diuntungkan dengan memperoleh sejumlah insentif keringanan pajak untuk pembelian bahan baku impor. Artinya, ongkos produksi pabrik di kawasan berikat itu jauh lebih efisien sehingga produk yang dijual ke pasar ekspor juga bisa mendapat harga yang lebih kompetitif.
Apalagi, lanjut Febri, seperti dikemukakan Menteri Perdagangan Budi Santoso, utilitas produksi pengusaha di kawasan berikat berkisar 60-70%. Artinya, masih ada ruang yang bisa dimaksimalkan dalam kegiatan usaha mereka.
Selain itu, pasar dalam negeri pun juga sudah penuh dan jenuh dengan banjir impor. "Jangan lagi ke pasar domestik. Membuat pasar domestik ini makin sempit. Kita ekspansilah ke luar," ujar Febri, Selasa (30/9/2025).