Banyak warga Indonesia Indonesia jadi pekerja migran karena sempitnya lapangan kerja layak di negerinya sendiri. Lembaga pelatihan dan perusahaan penempatan jadi penentu keberhasilan.

Ruangan itu berbentuk kotak. Empat sisi dindingnya berwarna putih. Satu unit kipas angin menempel di salah satu sisi dinding, bergerak ke kanan dan kiri, menghembuskan hawa sejuk ke seisi ruangan.
Di ruang kelas LPK Tri Indonusa Gemilang itu, kalimat-kalimat berbahasa Jepang bergema. Rose Lina, seorang sensei, memandu pelajaran dengan sabar, mengajak 16 orang lain di dalam ruangan melafalkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dengan benar. Mereka semua kompak mengenakan batik.
Sembari menyimak sensei Rose, 16 orang itu juga fokus menatap papan tulis yang ditembakkan proyektor. Mereka memperhatikan berbagai huruf kanji yang muncul di sana. Sebagian besar segera membuka buku catatan, lantas menuliskan apa yang sensei Rose katakan. Sebagian kecil memilih jalan pintas: memotret. Sisanya berusaha keras melawan kantuk, menopang dagu dengan tangan agar tidak ketiduran.
Pagi itu, selepas melakukan senam taisho, mereka memulai pelajaran dengan melafalkan penyebutan waktu dalam bahasa Jepang. Sensei Rose berulang kali melontarkan pertanyaan. Siapa pun yang tahu jawaban boleh langsung menjawab. Sesekali, Rose iseng menunjuk siswa secara acak untuk menjawab pertanyaannya.
“Nanji ni nemasu ka? (tidur jam berapa?),” Sensei Rose melontarkan pertanyaan. Jawaban siswa bermacam-macam, tetapi berpola: antara jam 9 sampai jam 12 malam.
Rose lanjut melontarkan pertanyaan baru. “Nanji ni okimasu ka? (bangun jam berapa?”
Dia kembali menunjuk seorang siswa secara acak. Begitu siswa itu menjawab, ruangan kelas langsung dipenuhi gelak tawa. Dia menjawab jam 11. Saat itu jam dinding menunjukkan pukul 10.30.
Sesi belajar berlanjut. Layar proyektor kini menampilkan banyak kalimat berbahasa Jepang yang tidak lengkap. Siswa diminta membaca dengan seksama kalimat-kalimat itu. Lagi, secara acak, Rose meminta mereka maju ke depan, melengkapi kalimat itu langsung di papan tulis.
Kali ini tidak ada gelak tawa yang pecah. Siapa pun siswa yang ditunjuk Rose, berhasil melengkapi kalimat-kalimat itu dengan benar. Tampaknya para siswa sudah menguasai betul materi yang sifatnya mendasar ini.
Ada 16 Siswa yang sedang belajar bahasa Jepang, mereka adalah calon pekerja migran Indonesia (CPMI) tujuan penampatannya ke negeri Matahari terbit, Jepang. Ragam pekerjaannya beragam, mulai dari caregiver, kontruksi, hingga pengolahan makanan.
Rose mengatakan, kemampuan Bahasa Jepang sangat penting dikuasai oleh CPMI. “Banyak kasus bullying kepada pekerja asing di Jepang terjadi karena mereka nggak menguasai bahasanya.”
Layar proyektor berganti menunjukkan rincian kegiatan seorang pekerja di Jepang. Rose memutarkan rekaman suara. Semua muridnya menyimak dengan serius, bersiap kembali menjawab pertanyaan yang akan dilontarkan Rose.
Sebelum mereka diminta menjawab, jam menunjukkan pukul 12:00. Istirahat makan siang.
Siswa kembali masuk ke kelas pada pukul 13:00. Tapi kali ini ada yang berbeda. Jumlah siswa berkurang separuh. “Sebagian pindah ke kelas yang di lantai satu. Mereka lanjut belajar chukyu, materi pelajaran bahasa tingkat menengah,” ujar Rose.
Siswa yang tetap berada di kelas Rose kembali melanjutkan materi shokyū (materi tingkat dasar). Bahasa Jepang kembali menggema di ruangan. Layar proyektor dinyalakan. Rose melontarkan pertanyaan, CPMI menjawab. Percakapan demi percakapan terus berlangsung.
Layar proyektor menunjukkan sketsa ruang tamu sebuah rumah yang hancur berantakan. “Ini rumahnya seolah-olah habis kena gempa,” kata Rose. Secara bergiliran, Rose meminta siswa maju ke depan kelas untuk mendeskripsikan sketsa itu secara lisan. Praktik ini disebut happyou.
Beberapa CPMI terlihat membuka buku catatan dan mulai menulis. “Ditulis dulu, biar lebih mudah diingat,” kata seorang CPMI kepada temannya. Sebagian terlihat bercakap-cakap, latihan praktek langusn dengan teman yang duduk di sebelah.
Pergi Karena Cita-cita
Pergi ke Jepang sudah menjadi mimpi Ganda Nur Cahya sejak kecil. Baginya, negeri Sakura bukan sekadar tempat dari tayangan anime kesukaannya, melainkan juga peluang untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Kini, di usianya yang baru 18 tahun, Ganda mempersiapkan langkah besar itu lewat pelatihan di LPK Tri Indonusa Gemilang.
Lahir dan besar di Bandung, Ganda dibesarkan oleh nenek dan bibinya. Ayahnya meninggal saat ia berusia dua tahun, dan ibunya pergi setelah melahirkannya. “Saya memang nggak tahu rasanya bener-bener punya ibu,” ucapnya pelan. Setelah neneknya meninggal pada 2020, dia hidup sepenuhnya bersama sang bibi dan kakak perempuannya.
Pendidikan Ganda sempat berliku. Dia pertama kali masuk sekolah kesehatan di Bekasi, tetapi hanya bertahan seminggu karena merasa malu dengan banyaknya siswi di kelas. Dia kemudian kabur ke Bandung dan bersekolah di SMKN 7 Baleendah. Namun tak lama kemudian, pamannya menelepon dan memintanya kembali ke Bekasi. Di sana, Ganda melanjutkan pendidikan di SMK Yayasan Magda Nusantara dengan jurusan otomotif hingga lulus.
Di SMK Yayasan Magda Nusantara, Ganda berkenalan dengan Suratman, seorang guru. Suratman tidak pernah mengajar Ganda. Perkenalan mereka terjadi secara tidak sengaja. Motor Suratman mogok di sekolah. Ganda menawarkan bantuan untuk memperbaikinya.
Dari situ, mereka jadi sering berinteraksi. Suratman sering menitipkan dagangannya kepada Ganda di sekolah, yang kebetulan berjualan cimol dan basreng. Ganda menceritakan keinginannya untuk pergi ke Jepang kepada Ganda.
Gayung bersambut. Suratman ternyata seorang pengelola LPK di Bekasi. “Si Bapak cerita ke saya syarat-syaratnya dan di mana harus belajar,” kata Ganda. Suratman kemudian mengenalkan Ganda dengan Veronica Suratman, Manajer Rekrutmen di LPK Tri Indonusa Gemilang.
Setelah lulus, ia mantap memilih jalur caregiver atau kaigo. Bidang ini dirasa paling cocok karena ia pernah merawat neneknya yang sakit. “Saya enggak takut jorok,” ujarnya. Selain itu, kaigo dianggap memberinya lebih banyak kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan orang Jepang, sehingga kemampuan bahasanya bisa terus berkembang.
Ganda juga mempertimbangkan soal penghasilan. Dia membandingkan beberapa pilihan bidang kerja di Jepang sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada kaigo. Berdasarkan hasil pencariannya, penghasilan sebagai perawat lansia bisa mencapai 25 juta rupiah per bulan, lebih tinggi dibanding pengolahan makanan yang berkisar 20 sampai 21 juta.
Sebelum mengikuti pelatihan di LPK Tri Indonusa Gemilang, Ganda pernah bekerja paruh waktu. Salah satunya di warung ayam di Bekasi sebagai tukang masak. Dia bekerja dari sore hingga dini hari, lalu tidur sebentar dan kembali bersekolah. Rutinitas itu dijalani selama lima bulan.
Dia juga sempat mencoba kerja di gudang logistik, tetapi hanya bertahan seminggu. Beban kerja yang berat membuat tubuhnya tumbang. “Angkatannya berat, bisa 30 sampai 50 kilo satu karung,” katanya. Setelah itu, ia sadar bahwa dirinya tak bisa lagi memaksakan diri bekerja sambil pelatihan.
Ganda lalu berdiskusi dengan kakaknya, dan mereka sepakat agar ia fokus belajar. Dia mengakui sempat merasa bersalah karena tidak bisa membantu ekonomi keluarga. Namun, kakaknya terus meyakinkannya untuk tetap komitmen. “Akhirnya saya fokus ke sini. Jadi enggak ke mana-mana,” ujar Ganda.
Untuk biaya pelatihan, Ganda menggunakan skema dana talangan. Uang muka dibayar kakaknya sebesar Rp7,5 juta, dan sisanya akan dicicil oleh Ganda setelah bekerja nanti. Menurutnya, sistem ini sangat membantu karena ia tidak perlu membebani kakaknya lebih jauh.
Setiap hari, Ganda masuk pukul delapan pagi dan mengikuti sesi belajar hingga sore. Baginya, kanji adalah bagian tersulit sekaligus paling menarik. Dia menikmati proses menulis karakter-karakter yang bentuknya unik. Dia merasa tertantang untuk menguasainya dan mengaku lebih suka latihan menulis dibanding membaca.
Pelatihan juga mencakup materi teknis dasar tentang dunia kaigo. Misalnya, cara mengangkat pasien yang benar, prosedur saat terjadi insiden, dan cara membuat laporan kerja harian. Laporan itu ditulis penuh dalam huruf kanji, sehingga kemampuan membaca dan menulis menjadi krusial.
Meskipun belum melakukan praktik langsung selama pelatihan, peserta tetap dibekali pemahaman lewat modul bergambar dan diskusi kelompok. Ganda sendiri baru sekitar satu bulan mengikuti pelatihan di LPK Tri Indonusa Gemilang, sehingga belum masuk ke tahap praktik. Semua keterampilan praktis akan diuji nanti dalam ujian special skilled worker (SSW) di luar LPK.
Ganda sadar jalan yang ia tempuh tidak mudah, tetapi ia menjalaninya dengan penuh tekad. Dia ingin membalas pengorbanan bibi dan kakaknya, orang-orang yang telah menggantikan peran orang tuanya sejak kecil. “Kalau saya nggak bisa bahagiain ibu kandung saya, mungkin saya bisa bahagiain bibi saya,” ucapnya.
Berkorban demi Masa Depan
Beda dengan Ganda yang sejak awal ingin ke Jepang, Sari, sebut saja namanya begitu, menjadi tenaga migran ke negeri Jepang diawali karena keterpaksaan. Terpaksa karena tekanan ekonomi. Selepas persalinan anak pertama, Sari yang kadung berstatus pengangguran dan tinggal bersama keluarga mungilnya di kontrakan haru mempertimbagkan cita-cita menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurus anak-anaknya. Hingga akhirnya lahir opsi kerja ke luar negeri, dan Jepang negara tujuannya.

Pengalaman bekerja sebagai staf di pabrik, yang bergaji sedikit di atas upah minimum membuat Sari yakin hijrah ke negeri orang merupakan pilihan rasional. “Mikir dengan gaji di Indonesia itu pasti mau ngambil rumah itu melalui KPR, lalu kalau mau nabung, itu entah berapa tahun,” ujarnya.
Mulanya sang suami yang mencoba peruntungan jadi pekerja migran, tapi gagal seleksi masuk lembaga pelatihan. Kegagalan suami berubah jadi semangat bagi S, yang menuntun dirinya berhasil masuk LPK bernama Hadetama. Perjuangan masuk LPK yang berlokasi di Bekasi ini mesti melewati masa setahun meyakinkan keluarga.
Pertimbangannya ada anak yang butuh dirawat tangan ibu. Tapi, faktor ekonomi lagi-lagi jadi pertimbangan utama. Anak pun butuh masa depan, dan pendidikan yang tepat menjadi pintu gerbang kesuksesan. “Mengandalkan gaji suami memang cukup untuk kehidupan sehari-hari, tapi untuk nabung bangun rumah dan nabung pendidikan anak itu, mepet sekali,” kata Sari.
Latar belakang itu membuat Sari tambah tekun belajar di LPK. Ia pun mendaftar pekerja migran ke Jepang sebagai caregiver atau pengasuh lansia. Setiap pelatihan bahasa dan teknis mengasuh dilewatinya secara baik. Sampai akhirnya, tak lebih dari setahun menempa diri di kelas pelatihan, Sari berhasil berangkat ke Negeri Sakura pada 2024. Hal itu dia dapat setelah lolos sertifikasi Specified Skilled Worker atau SSW. Sertifikat bekerja itu diperoleh usai berhasil ujian bahasa Jepang, yang tak mudah ditembus.
Kini, sudah genap satu tahun Sari bekerja di Jepang sebagai pengasuh. Di sana, dia ditempatkan di panti lansia, persisnya di prefektur Shizuoka, yang dekat dengan Gunung Fuji. Dia masih ingat betul pinggang sempat terkilir saat salah posisi angkat pasien di hari-hari awal mulai bekerja. Dia juga ingat rasa sakit betis kaki saat ikuti ritme jalan seniornya yang gesit menghampiri pasien lantai demi lantai.
Tempat kerja Sari terbagi tiga lantai, dengan satu lantai khusus berisi para lansia yang sudah payah bergerak. Energi dan emosi terkuras ketika para pengasuh dapat jatah kerja di lantai tersebut. Bagi Sari, masa awal bergabung cukup menantang lantaran penguasaan bahasa masih menjadi persoalan.
Sebab, jika sampai salah pilih kosakata, maka bakal salah komunikasi sehingga kebutuhan lansia bisa terlewat. Untungnya, kata Sari, kultur kerja di sana saling membantu. “Kerjanya harus cepat. Enggak ada kerjaan yang ditunda. (Tapi) team work-nya juga jalan dan terbuka menerima kekurangan pekerja,” ucapnya.
Sudah setahun bekerja, tidak sedikit momen didapat. Sedikitnya Sari mengasuh puluhan lansia tiap minggunya. Masih teringat jelas suap demi suap makanan yang diberi, pembalut tiap pembalut yang diganti hingga membopong opa dan oma berjalan. “Lihat lansia yang sering merenung, lalu tiba-tiba senyum, itu bikin senang. Ada juga lansia yang jarang bicara, lalu bilang makasih ke kita, bahkan ada yang ingat nama kita, itu jadi kebanggaan tersendiri,” ungkap Sari.
Baru setahun memulai, Sari juga merasa sudah ada perbaikan kualitas ekonomi. Cita-citanya memiliki rumah mulai terasa di tahun pertama. Bekerja delapan jam sehari, yang terbagi tiga sif diganjar gaji puluhan juta rupiah, tepatnya 21 juta. Dari jumlah itu, enam juta terpotong untuk biaya asuransi kesehatan, pajak dan tempat tinggal, yang beban bayarnya 50:50 dengan pemberi kerja. “Bagian 10 juta bisa ditabung. (Dan) 6 juta untuk kehidupan sehari-hari,” katanya, yang setiap bulan tak lupa mengirim uang ke suaminya.
Ganjaran gaji sebesar itu terasa sepadan jika dikalkulasikan dengan biaya pendidikan di LPK yang berjumlah 12 juta rupiah dan ditambah biaya keberangkatan sekira Rp28 juta. Sari mematok estimasi tabungan bisa cukup membangun rumah dengan bekerja selama lima tahun. Biaya pendidikan anak, juga diprediksi bisa terpenuhi dalam rentang waktu kerja tersebut.
Saat tabungan terkumpul, Sari sudah melirik tanah di daerah Temanggung untuk dibangun rumah impian. Baginya, rumahnya kelak bukan diukur dari ukuran dan desain, tapi sejauh mana rumah menjadi tempat untuk pulang. Pun, sebidang tanah dan bangunan bakal menjadi simbol babak baru kehidupan. “Sekarang saya punya keluarga kecil, dan bagaimana sekarang saya membentuk keluarga ini dengan harapan menjadi lebih baik dari keluarga saya sebelumnya,” tutur dia.
Bicara ihwal membangun keluarga, Sari sempat berpikir Jepang menjadi tempat yang baik memulai lembar baru perjalanan. Tak menutup arah, suami dan anaknya bakal diboyong. Semua dipantik dari tata kelola di negara itu yang dianggap kelewat baik dibanding tanah kelahiran.
Mulai dari kualitas pelayanan publik, kultur sampai pendidikan, yang dirasa cocok untuk tumbuh kembang.“Tapi kalau balik ke Indonesia, saya kepikiran bangun bisnis fashion, bikin brand pakaian sendiri. Juga kepikiran buka toko sembako,” katanya.
Ke Negeri Penempatan Lewat LPK
Keberhasilan yang diraih Sari, salah satunya juga karena dukungan Lembaga Pelatihan Kerja atau LPK yang menjadi garda terdepan dalam memastikan kualitas pekerja migran. Selain kualitas, LPK mesti bisa memantik rasa keinginan calon pekerja migran. LPK Hadetama yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, menggunakan realitas soal kebutuhan pangsa pasar tenaga kerja sebagai caregiver di Jepang sebagai bahan jualan.

Karena bicara kualitas, target calon pekerja migran adalah anak sekolah menengah kejuruan. Sedikitnya ada belasan SMK di kawasan Jabodetabek yang telah menjalin kesepakatan untuk mengerek jumlah lulusan masuk kelas pelatihan. Jenjang perguruan tinggi yang berfokus pada kesehatan juga disasar.
“Kami utarakan potensi kerja di Jepang. Permintaan (pekerjaan caregiver) di Jepang banyak sekali. Ibaratnya di Jepang itu satu orang Jepang diperebutkan oleh 100 perusahaan karena saking jomplangnya tenaga kerja yang mau jadi caregiver,” kata Manajer LPK Hadetama, Saffana kepada SUAR.
Saffana bilang kuantiti siswa LPK yang berstatus caregiver sudah banyak dikirim kerja ke Jepang sejak 2021 atau dua tahun setelah LPK berdiri. Sekitar 500 caregiver sudah diterbangkan ke negeri sakura hingga pertengahan 2025. “Yang jelas trennya naik terus. Caregiver target tahun lalu itu 200 siswa. Tahun sekarang target 300 siswa,” kata dia.
Penekanan sumber daya manusia dari level pendidikan SMK ini sejalan dengan riset Indonesia Business Council yang memproyeksikan jumlah pekerja migran banyak datang dari jenjang pendidikan tersebut. Apalagi, data menunjukkan angka pengangguran terbuka paling dominan diisi lulusan SMK.
“Yang kami tawarkan juga soal gaji tinggi, keamanan kerja karena di Jepang ini penempatannya enggak boleh sektor perorangan karena minimal panti lansia dan daycare lansia. Tapi kami kirim juga penempatan di rumah sakit,” kata Saffana.
“Di bulan ke-6 sudah terasa perbedaan kualitas ekonominya. Dan saya lihat para alumni yang sudah 3 tahun kerja itu pas pulang sudah bisa beli mobil dan rumah,” imbuhnya.
Dari pengalaman yang ada, kisaran gaji untuk caregiver mulai dari Rp13 juta. Perbedaan awal gaji dipengaruhi dari institusi pekerja bernaung. Jika di rumah sakit, awal gaji berkisar Rp 20 juta. Besaran gaji itu bisa didapat setelah lolos memperoleh sertifikasi SSW.
Saffana bilang biasanya ujian sertifikasi bisa ditembus melalui pelatihan intensif selama 8 bulan. Selama pelatihan itu, siswa LPK mesti merogoh kocek hingga Rp12 juta untuk biaya akomodasi selama pelatihan hingga biaya sertifikasi itu sendiri. “Kami siapkan dana talang juga. Ada kerja sama dengan lembaga perbankan termasuk koperasi,” kata dia. S
Mukhlison, Rohman Wibowo, dan Harits Arrazie