Keuangan syariah nasional membutuhkan digitalisasi dan inovasi layanan untuk memaksimalkan potensi pasar dunia yang besar. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam acara Indonesia Islamic Finance Summit (IIFS) 2025 yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/10/2025).
Berdasarkan data yang dipaparkan OJK, sampai September 2025, total aset jasa keuangan syariah mencapai Rp2.986 triliun, atau setara 11,39% total aset keuangan nasional.
Sementara itu, pasar modal syariah tumbuh menjadi Rp1.832 triliun, diikuti dengan aset lembaga keuangan nonbank syariah yang juga tumbuh menjadi Rp178,6 triliun.
"Capaian ini tidak terlepas dari sejumlah tantangan yang masih menghambat ekonomi syariah di Indonesia, seperti keterbatasan pangsa pasar dan skala ekonomi dibandingkan lembaga keuangan konvensional. Artinya, perlu strategi lebih agresif untuk berekspansi dan memasuki arus utama," ucap Mirza saat menyampaikan keynote speech.
Keterbatasan pangsa pasar yang dimaksud Mirza mengacu pada indeks literasi keuangan indeks literasi keuangan syariah yang sudah mencapai 43,4%, tetapi indeks inklusi keuangan syariah baru mencapai 13,4%.
"Dengan kata lain, publik sudah cukup mengetahui praktik jasa keuangan syariah, tetapi tidak tertarik menggunakan produk maupun jasa keuangan syariah," kata dia.
Di sisi lain, menurut Mirza, modal terbatas menyebabkan diferensiasi model bisnis keuangan syariah tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, sumber daya manusia yang dituntut memiliki keahlian ganda, yakni praktik keuangan modern dan hukum syariah, juga terbatas. Padahal, keduanya krusial agar produk keuangan syariah tidak hanya kompetitif, tetapi juga mematuhi prinsip-prinsip syariah.
"OJK memberikan panduan produk keuangan syariah yang unik sebagai upaya pendalaman pasar, seperti cash wakaf link deposit (CWLD), akad salam, serta Syariah Restricted Investment Account, efek syariah, sukuk korporasi, sukuk daerah, serta sistem online trading syariah sebagai sarana investasi," ujarnya.
Ke depan, Mirza menegaskan, penguatan peran industri keuangan syariah terus diupayakan melalui sinergi lembaga keuangan syariah, lembaga keuangan sosial Islam, industri halal, serta UMKM. Harapannya, dengan dorongan cukup dan ekosistem yang mendukung, sindikasi pembiayaan syariah mampu menjangkau segmen korporasi.
Potensi filantropi dan wakaf
Direktur Keuangan Sosial Bank Islam Malaysia Zikri Shairy mengakui bahwa permodalan masih menjadi salah satu tantangan keuangan syariah. Namun, dia menggarisbawahi bahwa tantangan yang lebih sulit adalah mengintegrasikan layanan keuangan sosial syariah dengan kerangka kerja perbankan konvensional.
"Bank Negara Malaysia telah mengikutsertakan ekonomi keuangan syariah dalam cetak biru tahun 2033. Namun, untuk integrasi itu, kami harus memastikan model bisnis yang dihasilkan tidak mereplikasi sistem kerja organisasi nonprofit. Kami harus menambah nilai ke dalam ekosistem yang sudah ada," tutur Shairy.
Lewat berbagai pertimbangan, Bank Islam Malaysia memilih dan menerapkan model sadaqa house sebagai jalan keluar, terinspirasi dari pidato mendiang Dato' Abdul Halim Ismail (1939-2024), perintis sistem keuangan syariah modern di Malaysia, saat menerima Global Islamic Finance Award pada 2014.
Dengan model ini, bank syariah menjadi enabler yang menerima dan menghimpun dana filantropi untuk didistribusikan kepada kelompok-kelompok marginal, panti asuhan, dan pendidikan melalui instrumen layaknya perbankan dengan nama i-TEKAD. Di samping filantropi, bank juga menghimpun dana yang berasal dari zakat.
"Saya pikir tantangannya terletak pada keberanian menghadapi status quo, terutama bagaimana regulator dapat lebih terbuka dan merancang kebijakan yang sesuai aspirasi. Selain itu, pengukuran dampak kebijakan juga harus mengetahui sejauh mana distribusi dana memberi dampak bagi masyarakat setempat," jelas Shairy.
Tenaga Ahli Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia Ali Sakti mengapresiasi kisah dari negeri jiran itu, dengan menekankan bahwa zakat dan wakaf sebagai dua instrumen penting dalam layanan keuangan sosial syariah. Potensi besar itu, selain terlihat dari nilai pertumbuhan, juga tampak dari pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Indonesia atau Islamic Relief di Inggris.
"Kita punya satu juara PNM Mekaar yang melayani sampai 15 juta nasabah, belum lagi yang berbasis adat seperti Lumbung Piti Nagari di Sumatera Barat. Namun, yang jarang sekali diungkap dari pembahasan tentang keuangan syariah adalah jutaan orang yang menerima manfaatnya," cetus Ali.
Apabila upaya menghimpun wakaf ditekuni secara berkelanjutan, sambung Ali, potensi 400.000 lebih lokasi wakaf tanah dengan luas mencapai 57.000 hektare dapat menjadi modal besar untuk jasa keuangan syariah, belum lagi wakaf tunai yang dapat memobilisasi layanan keuangan sosial lebih luas, sehingga meningkatkan jumlah masyarakat yang dilayani.
"Praktik zakat, wakaf, dan antiriba sebenarnya mempunyai pesan tunggal yang menjadi inti ekonomi syariah, yaitu jangan membuat banyak sumber daya menganggur," ucap Ali.
Dalam upaya memaksimalkan potensi wakaf domestik itu, saat ini BI tengah mengembangkan Sharia Economic Development Fund (SEDF) yang bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai keuangan syariah dengan instrumen finansial modern seperti sovereign wealth fund (SWF), tata kelola profesional, dan prinsip investasi strategis.
Dengan memaksimalkan dana wakaf, SEDF akan menyasar investasi dalam bentuk sukuk negara, pendanaan strategis, serta UMKM. Pendanaan strategis yang telah disasar antara lain pembangunan Rumah Sakit Wakaf Salman, Rumah Sakit Mata Achmad Wardi, dan pemberdayaan keuangan mikro syariah.
"Dengan mengoptimalkan besarnya potensi dana wakaf domestik yang dikelola sedemikian rupa, berbagai program SEDF akan meningkatkan kapasitas produksi ekonomi dari sektor sosial, melengkapi tingkat output produktif nasional yang juga telah diproduksi sektor swasta dan sektor publik," kata Ali.

Kembali ke umat
Melalui telekonferensi Zoom, Guru Besar Ekonomi Politik Islam Durham University Mehmet Asutay mengingatkan bahwa menghadapi tantangan digitalisasi ekonomi global, keuangan syariah harus menyadari bahwa inovasi memiliki dimensi moral, dan setiap keputusan inovatif harus tetap dituntun nilai-nilai keadilan, keberimbangan, dan kesejahteraan umat.
Dalam penelitian terbarunya, Prof. Asutay menemukan bahwa pendalaman sektor jasa keuangan dan ekspansi layanan keuangan semakin meningkatkan risiko overfinansialisasi. Artinya, uang terus berputar, tetapi tidak menghadirkan sumbangsih nyata bagi kemaslahatan dan kesejahteraan sosial-ekonomi umat. Padahal, fungsi utama layanan keuangan adalah mendistribusikan sumber daya.
"Ekonomi syariah memiliki landasan kuat yang mendorong inovasi, pembaruan, dan reformasi, dan ekonomi syariah digital ada di dalamnya. Untuk itu, etika dan citarasa keadilan harus terpatri agar inovasi meningkatkan keadilan dan kemaslahatan, dan memiliki tujuan untuk mengurangi ketimpangan dan memajukan kesejahteraan," tegas Prof. Asutay.
Dalam penerapannya, inovasi ekonomi digital dalam keuangan syariah antara lain berbentuk platform wakaf digital, distribusi zakat dengan teknologi blockchain melalui Smart Sukuk, takaful digital, hingga layanan pembiayaan mikro dan fungsi intermediasi keuangan yang diberdayakan akal imitasi (AI).
Selain untuk automasi layanan, AI juga dapat digunakan untuk memeriksa kesesuaian produk dengan nilai-nilai syariah. Dengan demikian, kompetensi sumber daya manusia dapat sepenuhnya terarah pada penyempurnaan layanan keuangan modern, sementara asesmen keselarasan produk dengan hukum syariah dapat memanfaatkan algoritma AI.
"Dengan menyelaraskan teknologi dengan prinsip ihsan, adl, dan maqasid al-shariah, inovasi dalam keuangan syariah harus melayani kepentingan manusia, bukan hanya untuk efisiensi. Inovasi yang sejati tidak terletak pada teknologi yang lebih cepat, tetapi keselarasan dengan nilai-nilai ilahi, agar Islam dapat sungguh terbukti rahmatan lil-alamin," pungkasnya.