Perjamuan pada pertengahan Agustus 2025 lalu, menjadi simbol dari sebuah keberlanjutan program pemerintah. Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait yang hari itu bertemu dengan Menteri Perumahan Rakyat periode 2009-2011 Suharso Monoarfa, menyatakan komitmennya untuk melanjutkan program yang sudah digagas sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Maruarar bersama Suharso membahas potensi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk mendukung Program Tiga Juta Rumah yang jadi ambisi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “FLPP ini merupakan gagasan dari pak Suharso yang sangat baik, dan harus kita dukung. Lewat FLPP ini kini masyarakat berpenghasilan rendah dan yang bekerja di sektor informal bisa memiliki rumah subsidi yang layak huni,” ujar Menteri Maruarar.

Maruarar mengatakan, saat ini, Kementerian PKP sudah banyak memberikan insentif untuk mendongkrak ekspansi sektor properti agar lebih bergairah. Terakhir, bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan, pihaknya tengah menyiapkan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan untuk mendukung Program Tiga Juta Rumah sekaligus mendorong pertumbuhan sektor properti.
Pemerintah menargetkan pembangunan 3 juta unit rumah melalui Program 3 Juta Rumah yang bertujuan untuk mengatasi backlog perumahan dan menyediakan hunian layak, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Ada beberapa insentif yang diberikan agar target ini tercapai. Pertama, pemerintah telah memperpanjang insentif berupa PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100% hingga akhir tahun 2025. Insentif ini berlaku untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun dengan harga maksimal dua miliar rupiah. Artinya, masyarakat yang membeli rumah dalam kategori tersebut tidak perlu membayar Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk rumah dengan harga antara dua hingga lima miliar rupiah, PPN hanya dikenakan atas selisih harga di atas dua miliar. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong daya beli masyarakat dan menggairahkan sektor properti nasional.
Kedua, pemerintah juga meningkatkan kuota rumah subsidi melalui skema FLPP. Tahun ini, kuota ditingkatkan dari 220.000 unit menjadi 350.000 unit, dengan dukungan dana sebesar Rp35,2 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini merupakan langkah konkret untuk memperluas jangkauan program rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Selanjutnya, melalui kerja sama antara Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) dan BPJS Ketenagakerjaan, diluncurkan program uang muka nol persen untuk rumah subsidi FLPP. Dalam skema ini, uang muka ditanggung oleh pengembang, sehingga konsumen tidak perlu membayar DP. Ini menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini kesulitan memenuhi syarat uang muka dalam pembelian rumah.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif tambahan berupa pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk rumah subsidi, serta mempercepat proses Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di seluruh Indonesia. Bahkan, terdapat rencana penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus sektor perumahan dengan nilai mencapai 130 triliun rupiah.

Berkat berbagai insentif ini, sektor properti mulai memperlihatkan kinerjanya. Capaian perumahan pada tahun 2025 yang meliputi penyaluran Kredit Program Perumahan (KPP) telah mencapai Rp492,13 miliar per 15 November 2025, melampaui target kuartal I 2026 sebesar Rp28 triliun.
Selain itu, Program Sejuta Rumah (PSR) telah mencapai 79.568 unit hingga Februari 2025, dengan rincian 61.906 unit untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan 17.662 unit untuk non-MBR. Sementara itu, BP Tapera rumah subsidi melalui KPR FLPP hingga akhir 2025, mencapai 53.874 unit pada kuartal I 2025.
Berbagai jalan menstimulasi industri perumahan
Selain insentif, pemerintah juga menyiapkan berbagai kebijakan yang dinilai bisa memantik bergulirnya roda perekonomian berputar lebih cepat. Seperti Bank Indonesia (BI) yang menyiapkan anggaran senilai Rp80 triliun untuk mendorong bank menyalurkan kredit ke sektor properti, serta mendukung pengembang melalui fasilitas Surat Berharga Negara (SBN).
Dalam hal ini, Bank Indonesia menyiapkan dua bentuk insentif utama untuk mendorong penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pertama kelonggaran pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) bagi bank yang menyalurkan KPR.

GWM merupakan dana minimum yang wajib disimpan bank di BI sebagai cadangan dan tidak boleh digunakan untuk kegiatan pinjaman. Ketika BI melonggarkan ketentuan GWM, bank memiliki ruang likuiditas atau tersedianya dana cadangan yang lebih besar untuk disalurkan sebagai kredit, termasuk KPR.
Sebaliknya, jika GWM diperketat, kemampuan bank untuk menyalurkan kredit akan berkurang karena dana yang mengendap di BI lebih besar.
Insentif kedua yang diluncurkan BI adalah fasilitas Surat Berharga Negara (SBN) yang diberikan kepada pengembang dan pihak yang membiayai proyek perumahan. Mekanismenya, bank atau lembaga pembiayaan dapat menjaminkan SBN yang mereka miliki kepada BI untuk memperoleh dana segar dengan bunga lebih rendah dibandingkan sumber pendanaan biasa.
Biaya dana yang lebih murah ini memberi bank ruang untuk menyalurkan kredit ke pengembang perumahan dengan bunga lebih kompetitif.
Kombinasi kebijakan ini diharapkan menciptakan efek berganda (multiplier effect), tidak hanya memperluas akses perumahan bagi masyarakat, tetapi juga mendorong pertumbuhan sektor konstruksi dan industri pendukung seperti semen, baja, dan logistik.
Menteri Maruarar juga mengajak para pengembang perumahan anggota Realestat Indonesia (REI) untuk memanfaatkan Kredit Program Perumahan (KPP) demi mendorong pembangunan perumahan bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
KPP adalah program pembiayaan dari pemerintah yang bertujuan mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sektor perumahan melalui kemudahan akses kredit.
Program ini terbagi menjadi dua sisi, yaitu sisi penyediaan (untuk pengembang, kontraktor, pedagang bahan bangunan) dan sisi permintaan (untuk masyarakat yang ingin membeli, membangun, atau renovasi rumah untuk usaha).
KPP menggunakan fasilitas seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga rendah untuk mewujudkan program kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau.
Terbentur daya beli
Meski pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif, pemulihan sektor properti tampaknya masih berjalan tersendat. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tringhada, masalah utamanya masih berputar pada daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. “Ekonomi memang mulai bergerak, tapi daya beli masih menjadi hambatan. Insentif pasti membantu, hanya saja butuh waktu untuk mendorong pertumbuhan,” ujarnya kepada Suar, Rabu 19 November 2025 lalu.
Ali memperkirakan pasar perumahan hingga akhir 2025 masih akan berada di level yang lebih rendah dibanding 2024, sekitar 6,8%, sebelum mulai menunjukkan percepatan pada awal tahun depan.
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya disebabkan faktor makroekonomi, tetapi juga karena ketidakseimbangan antara produk yang dipasarkan dan kemampuan beli konsumen. “Developer terlalu banyak menyasar segmen atas, sementara permintaan terbesar justru berada di segmen menengah, di kisaran Rp1–2 miliar,” kata Ali.
Ia menyebut kondisi ini sebagai mismatch market, produk tersedia di tempat yang salah, bukan di tempat konsumen sebenarnya berada. Walau beberapa pengembang mulai turun ke segmen menengah, pergeseran itu belum cukup untuk mengimbangi tekanan pasar.

Dalam jangka menengah, Ali menilai kombinasi kebijakan moneter dan fiskal tetap menjadi kunci pemulihan. Penurunan suku bunga dan insentif pajak, termasuk PPN Ditanggung Pemerintah, diproyeksi akan memberi dorongan signifikan. “PPN DTP akan menjadi salah satu kebijakan yang bisa meningkatkan sektor properti,” jelasnya.
Namun ada satu faktor struktural lain yang tak kalah penting: tingginya tingkat penolakan KPR oleh perbankan akibat ketentuan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Menurut Ali, hambatan ini membuat banyak calon pembeli pertama gagal mengakses pembiayaan, meski secara kebutuhan mereka siap masuk pasar.
Dengan membaiknya aktivitas sektor riil, ia optimistis ruang pemulihan akan terbuka lebih lebar, asal kebijakan fiskal dan moneter bergerak seiring dengan reformasi pembiayaan.
Potensi besar FLPP
Suharso Monoarfa menceritakan sejarah dan latar belakang mengapa FLPP diluncurkan oleh pemerintah. Ketika itu dirinya masih menjabat sebagai Menteri Perumahan Rakyat. Selain FLPP ada inovasi lain yang juga diluncurkannya. Yaitu Bantuan Stimulasi Perumahan Swadaya (BSPS), dan Prasarana, Sarana, dan Utilitas umum (PSU). “Ini semua saya bikin dan sampai sekarang dilakukan,” ujar Suharso.
Khusus untuk FLPP, idenya dari kebutuhan untuk memberikan insentif ke masyarakat berpenghasilan rendah melalui fasilitas pinjaman dengan bunga yang tidak fluktuatif, dan tenor yang panjang. Saat itu sudah ada mekanisme subsidi bunga dari Kementerian Keuangan.
Suharso pun kemudian mengambil alih fasilitas subsidi bunga itu lalu dikumpulkan jadi bantuan likuiditas pemerintah, hingga terkumpul uang modal Rp1 triliun. Duit itu lalu ditawarkan ke pihak perbankan, ketika itu Pemerintah berkolaborasi dengan Bank BTN, memberikan fasilitas pinjaman dengan bunga flat dan tenor panjang.
Dalam perkembangannya, FLPP berkolaborasi dengan BUMN penyalur kredit PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) dan saat ini FLPP sekarang anggarannya berasal 75 persen dari pemerintah, 25 persen dari SMF. Suharso mengaku senang FLPP bisa menjadi salah satu program yang dapat membantu pembiayaan perumahan bagi masyarakat.
Selain itu, BSPS dan PSU menjadi stimulan bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas rumahnya dan pengembang yang ingin membangun rumah subsidi dan mewujudkan lingkungan perumahan yang sehat.
Suharso mengatakan, Program Tiga Juta Rumah, juga menjadi tantangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan baik. Selain itu, dengan dana kelolaan mencapai Rp28,2 triliun, kenaikan kuota FLPP dari 220.000 menjadi 350.000 juga dinilai menjadi langkah tepat dan harus didukung oleh semua pihak.
“Kenaikan FLPP ini sangat luar biasa. Kementerian PKP harus mampu mewujudkan (Program) Tiga Juta Rumah sehingga mampu mengurangi backlog perumahan di Indonesia,” ujarnya.
Ke depan, kata Suharso, bila dana FLPP ini terus bergulir semakin besar dan jangkauan pembiayaan menjadi tambah luas, maka tidak mungkin dengan anggaran yang semakin besar bisa memberikan andil besar bagi pertumbuhan ekonomi. “Jika FLPP punya dana kelolaan Rp300 triliun, maka sektor perumahan bisa mendorong pertumbuhan hingga 1%,” katanya.
Mukhlison, Dian Amalia, Gema Dzikri