Para dewa properti Indonesia, bos perusahaan pengembang papan atas di negeri ini, tiba-tiba berkumpul pada 29 Oktober 2025 lalu. Mereka memenuhi undangan Badan Pertimbangan Organisasi Realestat Indonesia (BPO-REI), asosiasi pengembang terbesar di Indonesia. Ada 37 pengusaha properti kelas kakap Indonesia yang malam itu meriung bersama di kediaman Menteri Perindustrian Periode 2009-2014, MS Hidayat.

Mereka di antaranya, James T Riady (Lippo Group), Sugianto Kusuma (Agung Sedayu Group), Alexander Tedja (Pakuwon Group), Herman Soedarsono (Duta Putra Land), dan Siswono Yudo Husodo Menteri Perumahan dan Menteri Transmigrasi dan PPH (Pemukiman dan Pengembangan Perambah Hutan 1988–1998 dan Suharso Monoarfa Menteri Perumahan Rakyat periode 2009-2011.
Para pengusaha senior ini melakukan pertemuan untuk membahas sejumlah isu yang tengah mengemuka di sektor properti. Terkait dukungan terhadap program 3 juta rumah, pemulihan pasar apartemen, skema rumah murah, hingga hunian berimbang.
Ketua Kehormatan REI, MS Hidayat, mengatakan pertemuan sekitar 37 tokoh dan senior REI di kediaman pribadinya, itu bertujuan memberikan dukungan kepada pengurus Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI dalam memperjuangkan berbagai persoalan yang saat ini sedang dihadapi pengembang.
Menurut Hidayat, diskusi santai malam itu membahas soal kebijakan pemerintah, juga kondisi pasar di tengah penurunan daya beli masyarakat, serta masukan untuk dilakukan DPP REI ke depan. “Pertemuan seperti ini akan rutin 5 bulan sekali kita adakan, untuk terus memberikan masukan positif kepada pemerintah,” ujar Ketua Umum DPP REI periode 1989-1992 itu.
Regulasi yang mendera
Pertemuan senior REI ini yang paling utama sebenarnya membahas hambatan regulasi yang menimbulkan ketidakpastian investasi. Menurut mantan Menteri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, salah satu yang menjadi ganjalan para pengembang saat ini adalah konsep kebijakan hunian berimbang.
Formulasi hunian berimbang adalah peraturan wajib bagi pengembang perumahan untuk membangun rumah dengan komposisi yang proporsional antara rumah sederhana, menengah, dan mewah.

Tujuannya adalah memastikan akses yang adil dan merata bagi semua lapisan masyarakat terhadap hunian layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Komposisi yang diwajibkan adalah 1 rumah mewah : 2 rumah menengah : 3 rumah sederhana untuk pembangunan skala besar.
Namun, dalam praktiknya ada perbedaan dalam menerjemahkan amanat aturan tersebut. Di sisi lain, jika para pengembang gagal memenuhi aturan itu mereka terancam kena denda.
Selain itu, formulasi hunian berimbang tersebut mewajibkan para pengembang untuk membangun komposisi secara formulasi tipe rumah secara seimbang dan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota.
Para pengembang juga mengklaim, secara agregat, mereka telah memenuhi formulasi hunian berimbang. Memang ada satu-dua perusahaan pengembang yang belum memenuhi formulasi tersebut. Namun mereka juga terancam kena sanksi.
“Padahal mereka sebenarnya sudah menyiapkan lahan, belum sempat dibangun, karena belum ada permintaan, namun harus bayar kompensasi,” kata Suharso. Uniknya, denda itu bisa bayar ke Badan Percepatan Pembangunan Perumahan, “namun badan itu juga belum ada,” katanya
Dari hasil pertemuan itu, BPO-REI mengusulkan opsi realistis untuk menjalankan ketentuan Hunian Berimbang berupa komposisi seimbang antara rumah sederhana, menengah, dan mewah yang saat ini berjalan kaku.
Wakil Ketua Umum DPP REI, Bambang Ekajaya menyatakan pihaknya menyodorkan jalan tengah terkait hunian berimbang yang sulit dicapai di kota-kota besar karena harga tanah yang tinggi dengan fleksibilitas proyek. .
Ia mencontohkan. pengembang di Jakarta bisa mengganti kewajiban membangun rumah sederhana dengan membangunnya di lokasi lain, karena mustahil menyediakan unit murah di kawasan harga tanah melambung. “Enggak mungkin bangun rumah sederhana di Menteng, kan?” katanya. Intinya, kebijakan bukan tidak bisa dijalankan, asal diberi fleksibilitas.
Usulan alternatif lain yang diajukan adalah membayar dana konversi yang wajar, dan lokasi hunian berimbang dapat dilakukan di seluruh Indonesia, bukan hanya satu kabupaten/kota, seperti diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan diubah melalui UU Cipta Kerja.
PSU dan iuran pengelolaan lingkungan
Ada juga keprihatinan dari para pengembang, terkait ketentuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) yang dibangun pengembang harus diserahkan ke pemerintah daerah setempat. Namun, kadang jika PSU itu diserahkan ke Pemda, menjadi aset Pemda, malah tidak terpelihara dengan baik karena keterbatasan anggaran Pemda.
PSU mencakup soal prasarana, sarana, dan utilitas seperti jalan raya, listrik, pengelolaan sampah. Menurut Suharso, aturan ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009 yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009.

Pihak pengembang ingin aturan ini dievaluasi. “Pengembang minta aturan ini diganti, tidak selamanya harus diserahkan, karena bisa saja dikelola oleh pengembangnya, dan buktinya enggak ada masalah. Tapi kalau Pemda bisa melihara ya silahkan,” ujar Suharso. .
Persoalan berikutnya yang menjadi ganjalan para pengembang adalah mengenai iuran pengelolaan lingkungan (IPL). Selama ini iuran pengelolaan lingkungan di rumah susun dan termasuk apartemen, secara aturan diperlakukan sebagai barang mewah. Bayar listriknya bukan seperti tarif rumah biasa, bayar airnya juga begitu. “Sehingga apartemen di Jakarta ini kosong, karena mahal bayar IPL-nya, karena secara perlakuannya seperti itu,” ungkap Suharso.
Para pengembang juga merasa sistem pemungutan suara untuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) yang berlaku one man one vote tidak fair diterapkan. “Seharusnya berdasarkan luas unitnya dong, orang yang unitnya lebih besar masa suaranya sama, nah mereka meminta itu supaya diubah,” ucapnya.
Selain regulasi, para pengembang, juga ingin turut berpartisipasi membantu pemerintah salah satunya adalah seperti program perbaikan rumah tidak layak huni sesuai dengan kapasitas mereka. “Mereka mau membantu itu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing,” ujarnya.
Para pengembang ini kata Suharso juga ingin serius menunjukkan niatnya untuk bersama-sama membangkitkan sektor industri properti yang sedang lesu. Salah satunya, dengan cara adanya insentif dari pemerintah.
“Mereka ingin sekali dengan membangkitkan properti ini, karena membangkitkan properti itu akan membela ratusan industri yang di belakangnya, sehingga bisa men-trigger pertumbuhan ekonomi dan juga menciptakan lapangan kerja, karena juga ada banyak yang bekerja,” kata Suharso.
Terganjal daya beli menurun
Pemerintah memang perlu memperhatikan keluhan para pengusaha properti. Sektor perumahan saat ini menjadi fokus kebijakan pemerintah Presiden Prabowo Subianto bukan tanpa alasan. Pertama, ketersediaan rumah berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Kedua, pembangunan perumahan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai aktivitas tambahan, mulai dari jasa konstruksi hingga penjualan bahan bangunan.
Ketiga, sektor ini membuka banyak lapangan kerja di industri terkait seperti konstruksi, logistik, dan manufaktur bahan bangunan, sehingga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang luas.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menegaskan bahwa dukungan dan kolaborasi pihak pengembang, perbankan dan otoritas pemerintah lainnya diharapkan bisa langkah strategis untuk mempercepat target pembangunan rumah sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
Sinergi ini penting karena percepatan pembangunan tidak hanya bergantung pada kebijakan fiskal pemerintah, tetapi juga pada ketersediaan likuiditas dan pembiayaan dari sektor perbankan.

Dari berbagai data, tren pembangunan perumahan khususnya yang subsidi menunjukkan peningkatan, namun daya beli masyarakat memang tetap menjadi kendala. Penurunan suku bunga acuan sebanyak tiga kali secara year-to-date (ytd) belum mampu mendorong percepatan kredit properti secara signifikan.
Dampak insentif diperkirakan baru akan terasa dalam jangka menengah.Di sisi lain , pembangunan rumah subsidi melalui program 3 juta rumah menunjukkan tren positif, dengan realisasi hingga awal Agustus 2025 mencapai 190.335 unit melalui akad dan penyaluran KPR subsidi, namun tantangan pasar masih besar.
Pertumbuhan kredit kepemilikan residensial (KPR dan KPA) pada Juni 2025 tercatat sebesar 7,7% secara tahunan atau year-on-year (yoy), turun dari 14,3% yoy pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Perlambatan ini terutama disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat, yang juga tercermin dari kenaikan rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) segmen KPR mencapai 3,07% yoy pada Juni 2025, naik dari 2,4% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Di tengah daya beli masyarakat yang masih rendah dan pertumbuhan kredit properti yang melambat, strategi diversifikasi tetap menjadi kunci untuk menjaga kinerja portofolio agar tetap optimal.
Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia (REI), Raymond Arfandy, membenarkan bila perlambatan sektor properti saat ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan mendasar yaitu permintaan yang melemah karena ekonomi yang tidak berputar. Menurutnya, berbagai insentif pemerintah, mulai dari PPN Ditanggung Pemerintah hingga relaksasi perizinan, memang membantu, namun belum menyentuh inti persoalan.
Raymond menjelaskan bahwa kondisi perekonomian yang melambat membuat perbankan semakin berhati-hati menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). “Ini seperti persoalan telur dan ayam,” ujarnya.
Ketika ekonomi melambat, bank mengetatkan penyaluran kredit; sementara kredit yang seret menahan geliat sektor properti. Dalam situasi seperti ini, menurutnya, tidak ada solusi selain mendorong perputaran uang secara luas di masyarakat.
Ia mencontohkan kebijakan fiskal ke daerah yang sempat tertahan dengan alasan kehati-hatian terhadap pengelolaan anggaran, malah membikin persoalan baru. “Menahan dana bukan solusi,” katanya. Yang dibutuhkan adalah kegiatan ekonomi yang membuat uang beredar, sehingga konsumsi rumah tangga naik dan permintaan properti kembali bergerak.
Bagi REI, pemulihan sektor perumahan sangat bergantung pada keberanian pemerintah melepaskan likuiditas ke masyarakat, terutama kelompok kelas menengah yang menjadi motor utama pembelian rumah.
Raymond juga menyoroti peran pembiayaan sebagai salah satu titik lemah yang menahan pasar. Ketatnya aturan Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (SLIK OJK) membuat banyak calon pembeli, bahkan yang memiliki kemampuan bayar, gagal lolos proses kelayakan kredit. Ia menilai bahwa pembiayaan harus dirancang lebih responsif terhadap siklus ekonomi, bukan hanya berfokus pada memitigasi risiko jangka pendek.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait saat rapat kerja bersama Komisi V DPR RI pada Rabu 19 November 2025 lalu menegaskan jika Kementerian secara resmi mendukung penghapusan SLIK OJK pada batas tertentu.
Maruarar menjelaskan, pihaknya telah empat kali bertemu OJK dan telah menyampaikan rekomendasi tersebut kepada Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, hingga petinggi OJK sendiri.
Ia meminta dukungan penuh Komisi V agar isu ini menjadi tekanan politik bersama. Posisi kami jelas: kalau bisa, SLIK di angka tertentu dihapuskan supaya rakyat kita tidak kesulitan mengakses rumah,” tambahnya.
Soal keluhan para pengembang, Sri Haryati Direktur Jenderal (Dirjen) Perumahan Kota Kementerian PKP mengakui saat ini ada beberapa regulasi yang memang malah menghambat investasi sektor ini. “Regulasi harus mempercepat pembangunan rumah rakyat, bukan memperlambatnya,” ujarnya.
Setiap penyesuaian kebijakan, lanjutnya, akan dibahas secara terpadu agar ekosistem perumahan, baik sisi suplai maupun permintaan, dapat tumbuh secara sehat, inklusif, dan berkelanjutan.
Sri menegaskan bahwa pemerintah saat ini sedang melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi sektor perumahan, dengan fokus menyelesaikan keluhan tersebut tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian. Evaluasi dilakukan bersama Kementerian Keuangan, Kemendagri, OJK, dan pemerintah daerah, karena persoalan ini bersifat lintas-sektor.
Dengan rangkaian kebijakan dan evaluasi tersebut, pemerintah meyakini bahwa target pembangunan 3 juta rumah masih berada dalam jalur yang dapat dicapai, sekaligus membuka ruang bagi suplai hunian yang lebih terjangkau bagi jutaan keluarga di Indonesia. Rumah, kata Sri, bukan hanya pembangunan fisik, tetapi pondasi untuk stabilitas sosial, ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat.
Mukhlison, Dian Amalia, dan Gema Dzikri
Keamanan Pangan atau Hunian
Isu paling sensitif yang jadi keprihatinan para senior REI saat ini adalah polemik penerapan kebijakan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Baku Sawah (LBS). Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, sempat menegaskan dalam perencanaan pengembangan wilayah, pihaknya akan mengacu pada kondisi fisik tanah (sawah) dalam menentukan status tanah LBS dan LSD, alih-alih memakai dasar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). "terkesan tata ruang justru diabaikan,” ungkap Anggota BPO-REI, Adrianto P Adhi.
Langkah Nusron ini dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian pengembangan properti, karena dianggap mengabaikan RTRW dan RDTR yang merupakan amanat undang-undang sebagai panglima pembangunan.

Menanggapi keluhan soal LSD, Menteri Nusron menegaskan latar belakang adanya kebijakan kementeriannya, salah satunya karena ada 314 kabupaten/kota yang RTRW-nya tak mencantumkan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), di mana LSD masuk kelompok kawasan tersebut. “Ini yang membuat mereka (pengembang) ugalan-ugalan," ujar Nusron
Ia menjelaskan, kementeriannya menklasifikasikan jenis LSD ada dua. Pertama, lahan yang fisiknya sudah tidak sawah, tetapi dalam peta masih tercatat sawah, sehingga jenis ini yang akan ditertibkan datanya. "Kalau memang sudah tidak sawah ya sudah kita hapus, sehingga enggak perlu ada lagi izin LSD," jelas Nusron.
Sementara itu, jenis LSD kedua adalah lahan yang fisiknya sawah, tetapi dalam data sudah tidak sawah. Dengan begitu, Nusron menegaskan akan meninjau ulang jenis ini agar bisa dikembalikan fungsinya menjadi sawah secara fisik dan data.
Ia juga menyampaikan penataan RTRW dan RDTR yang sesuai dengan LSD untuk mendukung fungsi sawah untuk menjaga ketahanan pangan. Alih fungsi lahan sawah akan membuat produksi padi berkurang.

Sedangkan Ketua Umum DPP REI Joko Suranto menyatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, berkaitan masalah kendala tata ruang dan LSD. Hasilnya, adanya rencana dibukanya kembali perizinan LSD di 140 kota.
Terkait hal ini. DPP REI segera mengirimkan surat dan data lengkap kepada Menteri ATR/BPN, sekaligus masukan mengenai kebijakan LSD. “Kendala LSD ini prinsipnya sedang berproses. Kita mendukung upaya ketahanan dan swasembada pangan yang ingin dicapai pemerintah sesuai tantangan bangsa di masa mendatang,” ujarnya.
Mukhlison