Bangkitkan Pertumbuhan dari PAD Perkotaan (1)

Kota-kota di Indonesia, yang memiliki modal besar, perlu melakukan berbagai inovasi demi memiliki independensi fiskal. Solusinya digitalisasi dan kolaborasi. 

Bangkitkan Pertumbuhan dari PAD Perkotaan (1)
Petugas Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) melayani pembayaran pajak yang terjaring dalam penertiban pajak kendaraan bermotor (PKB) di GOR Segiri Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (25/11/2025). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Daftar Isi

Kinerja pemerintahan kota di Indonesia dilihat dari capaian Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) menunjukkan arah pertumbuhan yang tidak bergerak seragam—ada kota yang tumbuh pesat berkat inovasi dan digitalisasi, namun ada pula yang masih tertahan oleh struktur ekonomi dan kapasitas kelembagaan yang terbatas. 

Kondisi ini menunjukkan, kapasitas fiskal tidak menjamin dinamika pertumbuhan. Kota besar beresiko terjebak dalam upaya monoton, bila bergantung pada sumber PAD tertentu, lemahnya pembaruan sistem, atau ketiadaan strategi intensifikasi. Sebaliknya, kota kecil  yang inovatif justru menunjukkan dinamika dalam memperjuangkan pendapatan daerah yang mandiri.

Masih beragamnya karakter pendapatan asli daerah berbagai kota di Indonesia ini menjadi salah satu pembahasan dari diskusi Roundtable Decision dengan tema “Mendorong Peningkatan PAD Kota yang diselenggarakan SUAR.id bekerja sama dengan Apeksi di Hotel JS Luwansa, Jakarta, pada Kamis 11 Desember 2025.  

Roundtable Decision dengan tema “Mendorong Peningkatan PAD Kota yang diselenggarakan SUAR.id bekerja sama dengan Apeksi di Hotel JS Luwansa, Jakarta, pada Kamis 11 Desember 2025

Para pembicara yang berasal dari berbagai latar belakang – baik pembuat keputusan, kepala maupun pengusaha, berbagi pengalaman, harapan dan saran tentang bagaimana mencari jalan terbaik bagi tiap pemerintahan kota untuk bisa mengoptimalkan potensi wilayahnya, sehingga mengikis ketergantungan terhadap dana dari pusat. 

Para pembicara yang mengutarakan pandangannya adalah Walikota Surabaya yang juga Ketua Apeksi 2025-2030 Eri Cahyadi, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto, hingga Penasehat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yozua Makes. 

Selain itu juga hadir sebagai narasumber Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana, dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah. Dan bertindak sebagai moderator, Founder dan Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra. 

Hasil pemikiran para pembicara di diskusi Roundtable Decision ke tiga Suar.id ini kami buat resumenya untuk edisi Spotlight pekan ini. Harapannya, bisa memantik diskusi lebih mendalam dan konkret tentang bagaimana menjadikan kota di Indonesia mandiri secara anggaran, dan memberikan berkah bagi penghuninya. 

Dalam penulisan hasil diskusi ini, format resume disunting menjadi beberapa tema. Selamat membaca!

Langkah awal menjadi negara maju

Membuka diskusi via sambungan jarak jauh, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyatakan, sebagai negara dengan pendapatan nasional masuk 20 besar dunia, Indonesia berkesempatan untuk memanfaatkan momentum yang tak pernah datang lagi, yaitu untuk mengubah negara ini dari negara berkembang menjadi sebuah negara maju, dan masuk lima besar ekonomi terbesar dunia. 

Namun menurut Bima, untuk bisa mencapai hal tersebut, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu mengejar pertumbuhan pertumbuhan ekonomi hingga dua digit, dengan target minimal 8 persen. “Di titik inilah PAD daerah menjadi penentu, apakah target tersebut bisa tercapai atau tidak,” ujarnya. 

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyampaikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Dan demi meningkatkan PAD, diperlukan berbagai kebijakan yang mendukung ke arah itu. Seperti regulasi yang disederhanakan, kerjasama dibuat lebih fleksibel, dan aset-aset daerah dipetakan serta dimanfaatkan secara optimal, mulai dari ruang komersial, kemitraan periklanan, hingga penyediaan lahan parkir. Digitalisasi layanan publik juga krusial untuk meningkatkan retribusi daerah,”

Dan langkah itu bukan sesuatu yang mudah. Dengan BUMD yang sebagian besar tidak sehat, reformasi menjadi keharusan. Selain itu, meski ada otonomi, namun juga harus tetap ada komunikasi antara  pusat dan daerah. “Kita perlu pemerintahan yang efektif, transparan, dan mampu berkolaborasi, termasuk menjajaki investasi, filantropi, obligasi, dan sukuk, agar daerah bisa tumbuh dan Indonesia bisa maju,” katanya. 

Bima Arya menggarisbawahi, jika Indonesia ingin berlari menuju pertumbuhan ekonomi dua digit, maka kaki-kaki yang berpijak di daerah harus kuat terlebih dahulu. Dan dari Jakarta hingga kota-kota kecil, pekerjaan rumah itu kini menanti untuk dijawab.

Menurutnya, masa depan fiskal Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kebijakan nasional, tetapi oleh kemampuan setiap kota, setiap kabupaten, dan setiap pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber daya yang mereka miliki. Dalam konteks itu, regulasi menjadi kunci. 

Ia menekankan perlunya penyederhanaan regulasi, memudahkan proses investasi, serta membuat skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi lebih fleksibel, sehingga tidak hanya kota besar, tapi juga wilayah kelas menengah dan kecil bisa menjangkau peluang pembiayaan baru.

Seniman pantomim tampil menghibur warga pada Jakarta Pantomime Festival 2025 di Kota Tua, Jakarta, Selasa (25/11/2025). Ruang komersial bisa diberdayakan agar bisa menambah pendapatan daerah. ANTARA FOTO/Naufal Khoirulloh

Bima juga menyoroti potensi besar yang selama ini kerap terabaikan: aset daerah. Mulai dari ruang komersial, peluang kemitraan periklanan, hingga penataan lahan parkir, semuanya dapat menjadi sumber pendapatan yang stabil apabila dimanfaatkan secara optimal. “Digitalisasi layanan publik juga krusial untuk meningkatkan retribusi daerah,” tegasnya, merujuk pada perlunya percepatan transformasi digital yang masih berjalan timpang antar daerah.

Di sisi lain, Bima mengungkapkan salah satu titik lemah fiskal daerah yang sudah bertahun-tahun membayangi: lebih dari 1.000 BUMD yang sebagian besar tidak sehat. Kondisi ini, katanya, harus dihadapi melalui reformasi menyeluruh. Ia memaparkan rencana Kemendagri untuk memperkuat pendampingan dengan kehadiran Dirjen BUMD dan payung hukum baru melalui UU BUMD.

Kota besar membantu yang kecil

Sedangkan Walikota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan, saat ini banyak kepala daerah khususnya walikota merasa optimis mampu mengelola anggaran wilayahnya dan menggenjot PAD. “Artinya, kita masih cukup kuat bertahan, dan tetap yakin bisa mengendalikan situasi,” ujar Eri. 

Ia menyebut, adanya turbulensi ekonomi saat ini, hanya bisa dilawan dengan inovasi. Daerah harus memahami keunggulannya, entah alam, industri, atau aset. Semua harus dimanfaatkan secara kreatif,  dari komoditas, ruang usaha, sampai kerjasama komersial.

Walikota Surabaya Eri Cahyadi

Pengelolaan kekayaan daerah juga tetap harus bersama-sama diberdayakan dengan semua pihak berdasarkan kepercayaan. “Seperti pajak daerah itu soal kepercayaan. Pemerintah tidak boleh langsung mencurigai pelaku usaha, dan pelaku usaha pun harus jujur. Kejujuran itulah yang membuat pajak hotel, restoran, dan sektor lain bisa kembali ke rakyat dalam bentuk layanan publik,” jelasnya. 

Meski begitu, kata Eri, tidak semua kota berada di posisi yang sama. Kota besar mungkin punya aset besar, sedangkan di kota kecil tak banyak aset yang bisa dimanfaatkan. Karena itu dibutuhkan solidaritas antardaerah.yang kuat membantu menggerakkan, siapa yang lemah difasilitasi.

Kota Lama Surabaya

Eri pun mencontohkan, bagaimana Surabaya berkolaborasi dengan daerah lain, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan komoditas, seperti bahan pokok. “Dalam hal ini, Surabaya tidak harus produksi beras atau telur sendiri, kita kerja sama dengan daerah penghasil. Inilah government-to-government yang sehat, bukan saling bersaing, tapi saling menguatkan,” katanya. 

Sukses menjalankan desentralisasi fiskal

Sedangkan Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan RI Lydia Kurniawati Christyana mengungkapkan, kota-kota di Indonesia memang saat ini sedang menghadapi turbulensi, tetapi mereka sudah jauh lebih mapan dalam mengelola PAD. “Itu alasan saya yakin kota masih sangat mampu melewati masa sulit ini,” katanya. 

Menurut Lydia, pertumbuhan PAD kota-kota di Indonesia relatif stabil karena kontribusi PDRB sektor jasa dan perdagangan yang kuat. “Bahkan, sebagian kota telah mencatat elastisitas pajak daerah yang tinggi,” ungkap Lydia. 

Menurutnya, setiap tahun Kementerian Keuangan menghitung potensi PAD, saat ini, penghitungan untuk tahun 2025, sudah masuk mencapai 80 persen. Pihak Kementerian Keuangan juga menyimpulkan daerah sudah semakin matang menjalankan desentralisasi fiskal. 

Kemampuan dalam mengelola Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), PDRB sektor jasa, dan berbagai jenis pajak lain juga terbukti tumbuh. Ia menilai, potensi pajak daerah masih sangat besar. ”Basisnya ada, elastisitasnya jelas, tinggal bagaimana memperkuat sistem pengawasan dan teknologi,” katanya.

Sementara Penasehat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yozua Makes menekankan pentingnya peran pemimpin daerah sebagai dirigen yang mengatur jalannya pengelolaan daerah, termasuk dalam hal pengelolaan aset hingga menarik masuknya investasi ke daerah.

“Pengelolaan kota itu tergantung daripada dirigennya, Dan dia bukan hanya kreatif tapi juga bisa berbicara ke dalam dan ke luar termasuk ke pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat juga bisa melihat situasinya,” jelasnya.

Kepala daerah sebagai dirigen, di mana salah satu pemainnya adalah swasta, harus bisa membuat menjadi suatu orkestra yang baik

Sebagai pelaku usaha, Yozua menilai ada 3 hal yang menjadi perhatian dari para pelaku usaha di Indonesia yaitu kepastian, kenyamanan, dan keamanan. Pelaku usaha di daerah kabupaten/kota juga memegang peranan penting sebagai pemain yang dikepalai oleh kepala daerah.

“Kepala daerah sebagai dirigen, di mana salah satu pemainnya adalah swasta, harus bisa membuat menjadi suatu orkestra yang baik,” lanjutnya.

Digitalisasi adalah kunci 

Kemudian, bercermin dari pengalaman Kota Malang, inovasi adalah salah satu kunci untuk bisa membuat PAD terdongkrak naik.  Kepala badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto memaparkan, dalam mengoptimalkan pendapatan kota, salah satu inovasi yang dilakukan dalam hal penerimaan pajak adalah digitalisasi.

“Dulu saat kita Covid hancur lebur kita, kondisi Kota Malang pajak daerah yang mencapai Rp490-an miliar saat itu, terjun bebas menjadi Rp300-an miliar. Karena kita harus survive, maka jawabannya adalah digitalisasi. Kami coba untuk mengikuti swasta yang saat itu menerapkan digitalisasi,” jelas Handi.

Pembeli memindai kode QRIS saat bertransaksi di Kedai Kopitiam, Lumajang, Jawa Timur, Selasa (11/11/2025). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkuat pemungutan pajak ekonomi digital dengan menambah 246 perusahaan pemungut PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dan menyederhanakan mekanismenya sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan pajak sektor digital yang telah mencapai lebih dari Rp10 triliun hingga September 2025. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya

Digitalisasi ini diterapkan dengan cara memasifkan e-tax, salah satunya kemudian diterapkan dalam proses pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Upaya yang pada awalnya bertujuan hanya untuk mempermudah layanan masyarakat, justru malah menciptakan multiplier effect yang signifikan terhadap PAD.

Menurut Handi, saat ini semua jenis pembayaran pajak juga layanan di Kota Malang telah diterapkan secara digital. Namun, penurunan TKD dari Pemerintah Pusat memicu pemerintah daerah kesulitan dalam melakukan inovasi-inovasi lagi. “Kalau kita bicara kreatif, kadang kala kreatif juga butuh dana. Jadi kalau kepala daerah diminta kreatif, lalu TKD dikurangin kan susah juga berkembang,” kata Handi.

Berangkat dari fakta yang ada, Peneliti LPEM UI Riatu Mariatul Qibthiyyah menilai, perlunya pendanaan dari pusat ke daerah untuk kepereluan digitalisasi yang  bisa distandarisasi, lalu diterapkan ke seluruh daerah secara merata. “Pemerintah pusat juga kan yang akan memantau, bisa membandingkan mana dari inisiatif beberapa inovasi pemerintah daerah yang bisa di-scale up,” paparnya.

Riatu juga mengatakan ruang fiskal yang cukup juga berperan dalam kreativitas para kepala daerah melakukan inovasi. Di tahun 2001, dijelaskan olehnya, TKD daerah ditarik 26,6% dari penerimaan domestik pusat.

Tapi kemudian berkembang menjadi salah satunya seperti dana desa dan lain sebagainya, sehingga pada akhirnya juga meningkat.

“Sekarang sudah di atas 30%. Dan dari kondisi tadi geopolitik juga, cost of borrowing, jadi ada uncertainty juga di tingkat pusat yang perlu dikelola, yang mungkin pilihannya adalah kalau di 2025 ini, 2026 memang dari profil APBN-nya cukup besar yang di-shifting ke pemerintah daerah, untuk misalnya kemudian terjadi penurunan. Memang ini unprecedented, bahkan untuk di periode Covid,” katanya.

Moderator sekaligus Pemimpin Redaksi Suar.id, Sutta Dharmasaputra menyimpulkan, melalui diskusi ini, ada kata kunci yang penting agar pengelolaan keuangan daerah khususnya di kota bisa optimal, yaitu melalui transparansi dan kolaborasi.

”Transparansi dari seluruh pemangku kepentingan yang salah satunya bisa terjadi melalui digitalisasi, akan menciptakan dan membangun kepercayaan. Selain juga kolaborasi antar lembaga diperlukan agar bisa bertahan menghadapi turbulensi ekonomi yang sedang terjadi,” katanya. 

Mukhlison, Gema Dzikri, dan Dian Amalia