Mata Dunia Menyoroti RAPBN 2026, Terutama Defisit Anggaran

Pengumuman postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tak hanya jadi perhatian dunia usaha dalam negeri, tetapi juga perhatian pemangku kepentingan eksternal. Ada pandangan beragam dari mereka soal postur RAPBN 2026.

Mata Dunia Menyoroti RAPBN 2026, Terutama Defisit Anggaran
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait RAPB dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

Pengumuman postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tak hanya jadi perhatian dunia usaha dalam negeri, tapi juga perhatian pemangku kepentingan eksternal. Pandangan mereka pun beragam terhadap target pendapatan dan belanja di RAPBN 2026.

Sebagaimana kita ketahui, di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat (15/8/2025) lalu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana anggaran belanja negara (RAPBN) sebesar Rp 3.786,5 triliun dan target pendapatan negara sebesar Rp 3.147,7 triliun. Alhasil, ada defisit setara 2,48% dari pendapatan domestik bruto (PDB) nasional untuk tahun anggaran 2026.

Memancang target pertumbuhan setinggi 5,4%, Presiden Prabowo memproyeksikan Indonesia akan semakin siap menjadi kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Dengan kerangka makroekonomi yang hampir sama dengan yang diumumkan pada bulan Mei lalu, target pertumbuhan PDB tersebut diikuti ekspektasi inflasi akan stabil di angka 2,5% pada 2026, dengan kemungkinan depresiasi rupiah yang terjaga dalam kendali Bank Indonesia. Di samping sejumlah asumsi tersebut, penerimaan negara menargetkan kenaikan penerimaan pajak hingga 12,8%.

Ketua Korea Chamber of Commerce and Industry (Kocham) Indonesia Lee Kang Hyun mengatakan, pihaknya menyadari postur RAPBN 2026 itu menempatkan anggaran belanja lebih besar daripada pendapatan. Perhatiannya adalah bagaimana cara pemerintah mengumpulkan pajak lebih banyak lagi tahun mendatang.

"Sesuai dengan arahan dari presiden negara, kami tidak bisa komentar. Mudah-mudahan (anggaran) dipakai tepat sesuai rencana dan berhasil untuk perkembangan negara," ujar Lee dihubungi SUAR, Kamis (21/8/2025).

Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Denny Abdi mengisahkan observasinya terhadap pengalaman negeri Paman Ho yang berhasil menggeliat dalam industri teknologi tinggi. Padahal, mereka memulai industrialisasi beberapa puluh tahun terlambat dibandingkan dengan negara-negara di kawasan. 

“Banyak sekali kemiripan [Indonesia dan Vietnam], misalnya, sama-sama punya populasi muda, sama-sama punya bonus demografi, human development index dan income per capita relatif sama,” ujarnya saat dihubungi SUAR, Rabu (20/08).

Meski demikian, Pemerintah Vietnam mengalokasikan percepatan investasinya dengan mendorong pengusaha nasional mereka menyerap industri teknologi tinggi (high-tech industry). “Untuk menjadi negara maju, high tech industry ini kuncinya, karena kita enggak mungkin mengandalkan income per capita, kalau industri yang kita bangun itu masih low-tech,” tegasnya. 

Dia mengambil contoh, perusahaan taksi asal Vietnam yang mulai masuk ke Indonesia dengan menggunakan armada mobil listrik berteknologi Eropa. Ekspansi usaha taksi ini menjadi metode untuk mempromosikan produk mereka di Indonesia, pasar terbesar di Asia Tenggara, dengan visi yang tidak tanggung-tanggung: menyaingi dominasi Toyota di Indonesia. 

“Coba, bayangkan, negara yang kemerdekaannya bareng dengan kita, pengusahanya sudah sangat fokus dan luar biasa berani dalam berinvestasi,” ungkap Denny.

Tidak hanya dari segi ukuran pasar, menurut Denny, pengusaha Vietnam cenderung lebih mengerti dan bersedia mengikuti alur birokrasi yang serupa antara Indonesia dan Vietnam. Mereka menganggapnya sebagai tantangan yang dijawab penuh semangat, bukan hambatan untuk investor.

Pengusaha Vietnam cenderung lebih mengerti dan bersedia mengikuti alur birokrasi yang serupa antara Indonesia dan Vietnam. Mereka menganggapnya sebagai tantangan yang dijawab penuh semangat, bukan hambatan untuk investor.

“Percepatan investasi Vietnam adalah contoh investasi yang fokus meningkatkan daya saing sebuah bangsa di masa depan. Itu yang perlu kita tiru dan lakukan,” acapnya.

Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo enggan berbicara banyak soal postur RAPBN 2026. Namun, ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat bisa dicapai dengan peran pemerintah yang menempatkan dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada dunia usaha. Ia mengilustrasikan, jika suatu asosiasi pengusaha mengadakan kegiatan, menteri atau perdana menteri hampir selalu menyempatkan waktu untuk hadir sebagai bentuk dukungan untuk dunia usaha.

"Kehadiran mereka memberikan pesan, 'Sampaikan apa yang harus kami lakukan untuk membuat Anda lebih besar. Semakin besar bisnis Anda, semakin besar pendapatan kami'," ujar Tommy, panggilan akrab Suryopratomo.

Pandangan ekonom luar negeri

Ekonom dari Emerging Market Watch, lembaga penelitian ekonomi berbasis di Sofia, Bulgaria, Metodi Tzanov, menilai proyeksi pemerintah yang ambisius tersebut perlu sedikit lebih realistis, khususnya dengan mempertimbangkan penerimaan negara dari pajak yang mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2025. 

Sebaliknya, Tzanov melihat sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari keuntungan BUMN lebih realistis menjadi tumpuan.

“Meski demikian, penerimaan negara dari keuntungan BUMN juga sangat mungkin berkurang, karena keuntungan BUMN akan langsung dikelola BPI Danantara, dan pemerintah hanya menerima dividen dari keuntungan tersebut dalam jumlah yang tidak terlalu besar,” tulisnya dalam unggahan di situs LinkedIn, yang sudah dia izinkan untuk dikutip SUAR.

Dalam pengamatan Tzanov, penerimaan negara hanya menargetkan kenaikan 9,8%, namun rencana anggaran belanja pemerintah pusat melambung hingga 17,8%. Alokasinya pun terutama untuk membiayai program-program unggulan pemerintah, termasuk Makan Bergizi Gratis – yang mengalami kenaikan alokasi anggaran mencapai Rp335 triliun.

Meski demikian, realisasi anggaran tersebut diprediksi bakal lebih rendah dari alokasi, dengan memperhatikan nilai belanja program MBG tahun ini, yang terealisasi Rp 7,9 triliun sejak program dimulai pada Januari hingga pertengahan Juli 2025. Jika penurunan realisasi itu terjadi, defisit anggaran diperkirakan akan berkurang.

Selain nominal yang fantastis, proporsi anggaran Makan Bergizi Gratis yang mengambil jatah 44% dari total anggaran pendidikan Rp 757,8 triliun juga mendapatkan sorotan.

Menargetkan penerima mencapai 82,9 juta pelajar melalui lebih dari 30.000 satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG), penempatan anggaran MBG di pos pendidikan dirasakan kurang tepat dan berisiko. 

“Masalah tidak terletak di makanan itu sendiri, melainkan letak anggaran ditempatkan. Dengan memasukkan MBG sebagai anggaran pendidikan, pemerintah membuat angka utama terlihat tinggi demi memenuhi persyaratan konstitusional 20%. Namun, jika MBG dihilangkan dari total, ‘inti’ anggaran pendidikan hanyalah Rp 422,8 triliun, turun sebesar 36% dibandingkan dengan tahun 2024,” papar Leigh McKiernon, konsultan bisnis dan pendiri StratEx Indonesia Business Advisory dalam unggahan di LinkedIn, Selasa (19/08), yang juga mengizinkan SUAR untuk mengutipnya.

Baca juga:

Proyeksi Sejumlah Lembaga Internasional: Perekonomian Indonesia Bakal Melambat
Sejumlah lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, ABD, dan OECD sudah mengeluarkan laporan perkiraan ekonomi 2025 dan 2026. Laporan mereka punya benang merah bahwa perekonomian Indonesia diperkirakan akan melambat.

Lebih jauh, McKiernon menyoroti alokasi dari “inti” anggaran pendidikan tersebut yang tidak menunjukkan kenaikan signifikan. Khususnya anggaran yang selama ini menunjang operasional sarana-prasarana pendidikan, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Sebaliknya, sejumlah program unggulan pemerintah seperti Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda memperoleh kenaikan alokasi yang signifikan.

“Jika hanya segelintir sekolah yang menerima kenaikan anggaran, sedangkan ribuan sekolah lain tetap bergelut dengan infrastruktur yang buruk, anggaran pendidikan besar hanya akan memberi kesan perubahan kosmetik daripada mendukung perubahan sistemik,” tegas McKiernon.

Baginya, MBG adalah kebijakan baik yang perlu didukung. Namun, jauh lebih pantas jika anggaran untuk itu tidak dimasukkan sebagai anggaran pendidikan.

Meski memperlihatkan besarnya ambisi pemerintah, alokasi US$ 38 miliar di RAPBN untuk percepatan investasi dan perdagangan global menunjukkan komitmen Presiden Prabowo terhadap optimasi pendapatan negara dan kesiapan Indonesia menerima penanaman modal asing langsung (FDI) sesudah sempat turun beberapa waktu terakhir.

Agar komitmen yang tercantum dalam APBN dapat terealisasi, undangan investasi perlu memiliki orientasi masa depan, dengan memprioritaskan investasi masuk dari sektor industri teknologi tinggi.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional