Menguak Peluang dari Kesepakatan AS-Indonesia Soal Data

Pemerintah AS dan Indonesia mencapai kesepakatan perundingan soal tarif perdagangan internasional. Salah satunya soal data. Bagaimana duduk persoalannya?

Bayangkan jutaan data pribadi: nama, nomor ponsel, alamat rumah, histori belanja, bahkan rekam medis. Semua berpindah lintas samudra, dari server di Jakarta ke pusat data di Silicon Valley. Cepat, nyaris tanpa jejak, demi efisiensi, inovasi, dan investasi.

Inilah salah satu dampak paling krusial, dan paling tak terlihat, dari Kerangka Perjanjian Perdagangan Timbal Balik – yang diresmikan Indonesia dan Amerika Serikat, 22 Juli lalu.

Dalam keterangan resmi yang dikeluarkan Gedung Putih, selain kesepakatan miliaran dollar, terungkap bahwa Indonesia akan memberikan izin data pribadi warganya dapat bebas mengalir ke Amerika Serikat, atau yang sering disebut dengan Cross Border Data Transfer (CBDF) atau Aliran Data Lintas Batas.

"Indonesia juga akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan bahwa Amerika Serikat merupakan negara atau yurisdiksi yang memberikan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia," tulis pernyataan Gedung Putih, kemarin.

Data pribadi yang mana?

Dalam penjelasannya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap bahwa data pribadi yang dimaksud dalam kesepakatan kerjasama Indonesia-AS ini sebagian besar adalah data yang diunggah sendiri oleh masyarakat saat:

  • Mendaftar akun di platform seperti Google dan Bing,
  • Berbelanja online atau menggunakan e-commerce,
  • Membuat email, serta berbagai aktivitas digital lainnya.

“Kalau terkait dengan data pribadi itu sebetulnya beberapa data pribadi kan merupakan praktik dari masyarakat pada saat daftar di Google, di Bing, melakukan e-commerce dan yang lain, pada saat membuat e-mail, akun, itu kan data upload sendiri,” kata Airlangga dalam konferensi pers, Selasa (22/7/2025).

Ia juga menegaskan bahwa data tersebut sudah lama dipertukarkan secara lintas negara, terutama dalam layanan transaksi digital.

“Selama ini kalau bertransaksi menggunakan digital seperti Mastercard, Visa Card, itu data pun antara satu negara dan negara lain dipertukarkan,” ujarnya.

Data pribadi yang dipertukarkan ini digunakan antara lain untuk:

  • Verifikasi identitas atau Know Your Customer (KYC),
  • Pencegahan penipuan dan fraud,
  • Serta sistem keamanan tambahan seperti OTP (One-Time Password).

Airlangga menjelaskan pentingnya protokol yang kuat untuk melindungi data dalam berbagai transaksi digital ini, apalagi di tengah pesatnya penggunaan teknologi cloud computing dan kecerdasan buatan (AI).

“Inilah yang diperlukan protokol yang kuat untuk melindungi data dalam transaksi, baik itu digunakan melalui cloud computing maupun ke depannya akan semakin banyak lagi penggunaan AI. Karena AI adalah data mining atau scrolling dari seluruh data-data yang ada di digital,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa bentuk pasti data yang akan diatur dan dimasukkan ke dalam perjanjian masih akan difinalisasi dalam pembahasan teknis lanjutan.

“Kalau sudah finalisasi, kita baru ngomong bentuknya apa nih. Begitu bentuknya itu ini, signing, itulah,” pungkasnya.

Salah satu poin penting dalam kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat adalah soal komitmen kedua negara untuk mendukung moratorium permanen atas biaya masuk transmisi elektronik (customs duties on electronic transmissions).

“Amerika melihat pentingnya data center di wilayah Indonesia. Karena itu, data center menjadi salah satu investasi terbesar, selain hilirisasi,” jelas Airlangga.

Kebijakan ini dinilai krusial untuk menjaga kelancaran arus data lintas negara yang menjadi tulang punggung perdagangan digital.

“Kita sudah berdiskusi dengan beberapa negara, termasuk Uni Eropa dan juga dalam forum OECD. Hampir semua menteri di OECD mendukung reformasi WTO, termasuk moratorium ini,” ungkap Airlangga.

Dengan moratorium ini, konten digital seperti perangkat lunak, film, musik, hingga data yang dikirim lintas negara tidak akan dikenai bea masuk, sehingga biaya bagi pelaku usaha digital tetap terjaga.

Airlangga juga menekankan bahwa kesepakatan ini menjadi salah satu pondasi penting untuk memperkuat digitalisasi perdagangan Indonesia. Selain menjaga biaya perdagangan digital tetap rendah, pemerintah juga mendorong pembangunan ekosistem digital nasional.

“Amerika melihat pentingnya data center di wilayah Indonesia. Karena itu, data center menjadi salah satu investasi terbesar, selain hilirisasi,” jelasnya.

Sebagai gambaran, nilai investasi di sektor digital Indonesia pada 2024 tercatat sebesar USD 4,8 miliar, sedikit turun sekitar 5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (berdasarkan data Southeast Asia Internet Economy Report).

Pemerintah berharap, melalui kelonggaran aturan transfer data lintas negara, investasi digital bisa kembali tumbuh hingga menembus USD 6 miliar pada 2026.

Sebab, potensi ekonomi digital Indonesia tergolong besar. Kementerian Investasi dan Hilirisasi memproyeksikan nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 130 miliar pada 2025, setara 44% dari total proyeksi ekonomi digital Asia Tenggara.

Sementara pada 2023, nilai investasi di sektor ekonomi digital sudah mencapai USD 22 miliar, menempatkan Indonesia di peringkat kedua tujuan investasi digital di kawasan, setelah Singapura yang mengantongi USD 141 miliar. Angka tersebut juga jauh melampaui Vietnam (USD 18 miliar) dan Malaysia (USD 17 miliar).

Menurut Airlangga, ada 12 perusahaan asal Amerika Serikat yang sudah mendirikan pusat data di Indonesia, seperti Amazon Web Services di Jawa Barat, Microsoft, Google Cloud, hingga Equinix dan Oracle.

Kehadiran data center ini mendukung cross-border data flow yang aman, sekaligus mendukung kebutuhan bisnis e-commerce, pembayaran digital, hingga layanan berbasis kecerdasan buatan (AI).

Ia juga memastikan bahwa pemerintah akan mengawasi pengelolaan data pribadi warga negara Indonesia sesuai hukum nasional, dan sudah menggandeng sejumlah perusahaan teknologi global yang membangun data center di Indonesia.

Selain itu, Indonesia dan AS juga tengah membahas pengaturan rules of origin agar produk-produk digital dan komponen buatan Indonesia dapat bersaing lebih kompetitif di pasar Amerika Serikat.

Ini termasuk upaya untuk mendorong beberapa produk strategis, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, hingga komponen alat kesehatan yang diproduksi di kawasan free trade zone, agar memperoleh tarif lebih rendah, bahkan mendekati 0 persen.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama ekonomi digital di ASEAN, sekaligus mendongkrak kontribusi sektor digital terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Siapa yang untung?

Lalu, siapa saja yang bakal diuntungkan? Tak hanya raksasa teknologi. Pelaku UMKM digital akan lebih mudah memakai layanan cloud asing, alat analitik, atau sistem pembayaran lintas negara yang selama ini terhalang regulasi. 

“Pastinya, ekonomi digital akan dapat kepastian hukum untuk beroperasi dalam Indonesia, dan akan ada keuntungan juga (bagi pelaku usaha digital–red),” ujar Mochamad Firman Hidayat, Anggota Dewan Ekonomi Nasional.

Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, ada 25,5 juta UMKM yang sudah terdigitalisasi. Mereka adalah tulang punggung e-commerce, yang tahun lalu menembus nilai transaksi Rp 474,5 triliun (sekitar USD 30 miliar).

“Yang diuntungkan jangan hanya lapisan atas saja, UMKM yang sudah terdigitalisasi itu harus dilibatkan, pemerintah itu harus bisa mengajak bukan hanya bisnis besar saja, UMKM yang sudah mempunyai hub-hub, supaya keuntungannya juga mengalir ke sini, tidak hanya ke korporasi besar” ujar Prof. Didin Damanhuri, Ekonom Universitas Paramadina.

Salah satu poin penting dalam kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat adalah soal komitmen kedua negara untuk mendukung moratorium permanen atas biaya masuk transmisi elektronik (customs duties on electronic transmissions). Kebijakan ini dinilai krusial untuk menjaga kelancaran arus data lintas negara yang menjadi tulang punggung perdagangan digital.

Data jadi sumber 'minyak' abad ke-21

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan data bukan sekadar angka. Ia adalah emas baru, “minyak” abad ke-21, daya saing, sumber inovasi, juga sumber kekuasaan.

Menurut dia ada sederet catatan kritis yang harus dipertimbangkan agar kesepakatan ini tak justru menjadi bumerang bagi kedaulatan digital, keamanan nasional, hingga perekonomian.

“Yang penting bukan sekadar boleh atau tidaknya aliran data lintas batas, tapi di bawah syarat siapa data itu diatur,” ujar Ardi.

Pertama, ujarnya, risiko keamanan data. Ketika data sensitif warga dan infrastruktur vital lebih mudah diakses pihak asing, peluang penyalahgunaan meningkat. Serangan siber, pencurian data, hingga ransomware jadi ancaman yang makin nyata.

“Data bukan hanya soal privasi, tapi soal aset strategis. Kalau semua berpindah ke luar, kita kehilangan kontrol,” jelas Ardi.

Dengan dominasi raksasa teknologi asing, Indonesia rawan kehilangan kemandirian dalam pengelolaan infrastruktur digital. Kebijakan bisnis pun bisa “disetir” oleh kepentingan luar.

Ia mengatakan, jika data mentah warga Indonesia bebas mengalir ke luar, nilai tambah seperti inovasi kecerdasan buatan, analitik, hingga layanan baru terjadi di luar negeri, bukan di Indonesia. Ditambah lagi, potensi kehilangan pendapatan pajak karena profit dan server berada di luar negeri.

“Bayangkan kita hanya jadi pemasok bahan baku digital, sementara nilai tambah dan pajaknya dinikmati negara lain,” kata Ardi.

Kekhawatiran ini juga dikonfirmasi peneliti ekonomi digital Center of Economic and Law Studies CELIOS Nailul Huda. Menurutnya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki kedaulatan data pribadi sejak disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada tahun 2022.

Dalam UU PDP, tepatnya Bagian Kedua Pasal 56, memang diatur bahwa transfer data pribadi ke luar wilayah hukum Republik Indonesia dimungkinkan, asalkan negara tujuan punya tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi dari yang ditetapkan UU PDP. Tak hanya itu, harus ada perlindungan data yang memadai dan sifatnya mengikat.

“Syaratnya ini cukup berat sebenarnya untuk negara penerima data,” ujar Huda.

“Jadi, perlindungan data pribadi kita sebenarnya belum kuat, dan belum ada aturan teknis bagaimana transfer data ke luar negeri dilakukan. Tapi pemerintah sudah berani menjanjikan data kita ke pihak Amerika Serikat,” kata Huda.

 “Jadi kalau Indonesia menjadikan perlindungan data sebagai syarat, sebenarnya AS belum memenuhi itu,” tandasnya.

Pemerintah tentu berharap investasi digital melonjak, lapangan kerja bertambah, dan UMKM lebih kompetitif. Namun, investasi tak boleh dibayar dengan hilangnya kedaulatan digital dan keamanan nasional.

“Maka dari itu, kalaupun mau transfer data ke luar negeri, harus ada aturan yang memperbolehkan pemerintah Indonesia tetap bisa mengawasi data pribadi kita meski sudah di server di AS,” ujar Huda.

“Kalau tidak ada? Ya wassalam. Kalau data kita kena breach di luar negeri, pemerintah kita bisa kehilangan kendali.”