Negosiasi panjang pemerintah akhirnya membuahkan hasil. Pada Kamis (17/7) Amerika Serikat resmi menerapkan tarif baru ekspor terhadap Indonesia menjadi 19% atau turun dari yang awalnya mencapai 32%.
Pelaku usaha menganggap ini sebagai dorongan untuk melakukan dorongan ekspor ke negara non tradisional dan meningkatkan daya saing. Sementara beberapa pakar menganggap ini menjadi angin segar dalam pengamat menjadi angin segar di tengah ancaman situasi global saat ini.
Dalam akun media sosialnya, Donald Trump mengatakan kesepakatan itu terjadi setelah pembicaraannya dengan Presiden Prabowo Subianto.
"Kesepakatan penting ini membuka seluruh pasar Indonesia ke Amerika Serikat untuk pertama kalinya dalam sejarah."
"Indonesia akan membayar Amerika Serikat Tarif 19% untuk semua barang yang mereka ekspor kepada kami, sementara ekspor AS ke Indonesia akan bebas hambatan tarif dan non tarif. Jika ada transhipment dari negara tarif yang lebih tinggi, maka tarif tersebut akan ditambahkan ke tarif yang dibayarkan Indonesia," ujar Trump.
Indonesia sebelumnya telah melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat melalui berbagai proposal negosiasi dan kerja sama bilateral terkait tarif resiprokal. Sejumlah penawaran dilakukan untuk memangkas ancaman tarif tinggi dari Presiden negeri paman Sam itu.
Beberapa diantaranya antara lain Indonesia telah berkomitmen untuk membeli USD 15 miliar dolar dalam bidang energi dari AS, USD4,5 miliar dolar dalam produk pertanian Amerika, dan pembelian 50 Jet Boeing 777.
Di sektor digital, bea atas transmisi elektronik akan dihapus serta tidak mewajibkan platform digital AS berbagi data lokal.
Indonesia juga berkomitmen meningkatkan impor sejumlah produk strategis dari AS, seperti kapas, gandum, jagung, dan pesawat Boeing,
( @realDonaldTrump - Truth Social Post )
— Donald J. Trump 🇺🇸 TRUTH POSTS (@TruthTrumpPosts) July 15, 2025
( Donald J. Trump - Jul 15, 2025, 2:09 PM ET )
This morning I finalized an important Deal with the Republic of Indonesia after speaking with their Highly Respected President Prabowo Subianto. This landmark Deal opens up Indonesia’s ENTIRE… pic.twitter.com/eUTPATtad5
Presiden Trump juga sempat mengancam sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kebijakannya, Indonesia juga sempat terancam mendapatkan ancaman tambahan tarif 10% dari Trump karena dianggap menjalani kebijakan yang dianggap melawan Amerika Serikat usai Presiden RI Prabowo menghadiri pertemuan BRICS, kelompok negara yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.
Presiden RI Prabowo Subianto menyebut bahwa negosiasi dengan pihak Amerika berlangsung cukup alot, namun akhirnya menghasilkan angka tarif yang turun bagi Indonesia.
“Saya bicara langsung dengan Presiden Trump. Alhamdulillah ada kesepakatan, kita memahami kepentingan mereka dan mereka juga memahami kepentingan kita,” kata Presiden Prabowo Subianto usai lawatan ke KTT BRICS dan pertemuan bilateral.
“Yang penting bagi saya adalah melindungi pekerja-pekerja kita. Walaupun kita juga punya sikap: ini tawaran kita, kita nggak mampu memberi lebih. Tapi rakyat kita aman,” lanjutnya seperti disiarkan laman istana kepresidenan.
Kesepakatan ini, menurut Prabowo membawa napas lega, meskipun tidak sepenuhnya membuat puas.
“Kalau puas ya nol persen,” seloroh Prabowo, menegaskan diplomasi adalah proses panjang, bukan sekali duduk.
Segera Kumpulkan seluruh Pengusaha
Menanggapi hal ini, dalam waktu dekat, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) akan segera mengumpulkan para pelaku usaha ekspor di lapangan untuk melakukan sektoral terhadap dampak update kebijakan tarif ini.
"Kami juga tengah menyiapkan berbagai usulan mitigasi kepada pemerintah untuk memastikan transisi dan adaptasi industri berjalan efektif, termasuk mendorong peningkatan ekspor ke pasar non-tradisional serta percepatan agenda deregulasi nasional," kata Ketua Umum APINDO dalam keterangannya kepada SUAR.
Ia menegaskan daya saing ekspor Indonesia tidak hanya bergantung pada tarif, tetapi juga pada kepastian dan kemudahan berusaha, efisiensi logistik dan energi, serta kualitas regulasi dan infrastruktur yang menopang sektor industri.
Reformasi struktural, khususnya bagi industri padat karya, menjadi sangat krusial untuk memastikan ketahanan usaha dan penciptaan lapangan kerja di tengah tekanan global yang terus berlangsung.
“Capaian ini juga sejalan dengan langkah strategis kita dalam finalisasi Perjanjian IEU–CEPA bersama Uni Eropa, yang membuka peluang besar untuk peningkatan ekspor ke pasar Eropa,” kata Shinta.
Menurut Shinta, tarif 19 persen sudah jauh lebih baik dibandingkan proposal awal 32 persen, dan bahkan “masih ada ruang” untuk bernegosiasi lebih rendah lagi.
Ia menilai saat ini posisi Indonesia relatif lebih kompetitif dibanding Thailand (36 persen), Laos (40 persen), Malaysia (25 persen), dan Vietnam (20 persen dengan ketentuan tambahan untuk transshipment).
“Artinya kita masih punya ruang untuk menjaga daya saing ekspor kita, terutama pada produk yang sangat bergantung ke pasar Amerika Serikat, seperti tekstil, alas kaki, furniture, hingga perikanan,” tambahnya.
Namun, Shinta mengingatkan bahwa peta persaingan bisa berubah cepat. Beberapa negara tetangga masih dalam proses negosiasi dengan AS, sehingga pemerintah perlu terus memantau dan menyiapkan langkah antisipasi.
“Bagi kami, kunci keberhasilan bukan hanya diplomasi, tapi juga reformasi struktural di dalam negeri. Tarif penting, tapi daya saing ekspor juga bergantung pada kepastian regulasi, kemudahan berusaha, efisiensi logistik dan energi,” jelas Shinta.
Tarik napas lega, tapi tak bisa berhenti di sini
Penurunan tarif memang melegakan, tapi bukan berarti Indonesia menang telak, tapi lebih sebagai momen untuk sedikit tenang dan beristirahat.
“Saya melihat ini bukan kemenangan. Lebih sebagai momen tarik napas, karena kita terhindar dari mudarat yang lebih besar,” ujar Deni Priawan, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) kepada SUAR.
Di atas kertas, ujar dia, penurunan tarif ini memang terkesan signifikan: selisih 13 persen. Namun, jika dibandingkan dengan langkah Vietnam, optimisme itu menjadi samar. Vietnam menegosiasikan penurunan jauh lebih dalam, dari 46% ke 20% — penurunan 26%.
Menurut Deni, perbedaan 1 persen lebih rendah dari Vietnam hampir tak berarti jika persoalan logistik, infrastruktur, dan birokrasi dalam negeri tak kunjung dibenahi.
“Selisih satu persen antara kita (19%) dan Vietnam (20%) itu kecil banget. Nggak serta-merta bikin kita lebih kompetitif,” jelas Deni.
Apalagi, Indonesia masih dibayangi biaya logistik yang tinggi, infrastruktur kurang efisien, dan ketergantungan pada sektor-sektor padat karya.
“Vietnam juga memberikan komitmen reformasi struktural: membuka pasar, membenahi bea cukai, regulasi perdagangan. Indonesia? Hampir tak ada cerita itu,” jelasnya.
Kesepakatan tarif ini juga tak datang tanpa harga. Berbeda dari Vietnam yang fokus pada penyesuaian struktural dan membuka pasar, Indonesia justru terpaksa “membayar” dengan janji impor besar-besaran produk AS senilai Rp34 triliun: mulai dari pesawat Boeing, minyak, hingga produk lain tanpa kejelasan apakah sektor domestik sudah siap memanfaatkannya.
“Bisa jadi malah memperlemah posisi tawar kita berikutnya, apalagi jika manajemen BUMN atau Garuda masih bermasalah,” katanya.
Kesepakatan ini, menurut Deni, juga tidak bisa dibaca hanya sebagai urusan dagang dua negara. Dunia saat ini sedang bermain dalam “game theory multipemain”: AS, China, Vietnam, EU, dan Indonesia, semua saling memengaruhi.
“AS itu pakai Vietnam buat menekan China. Terus, Indonesia juga ditekan supaya cepat deal. Sementara EU dan China ngeliatin. Mereka mungkin nggak langsung bales, tapi bisa saja nanti nunda investasi atau kurangi impor dari kita,” papar Deni.
Alih-alih untung besar, Indonesia justru rentan kehilangan kepercayaan mitra lain. “Kita nggak bisa konsolidasi dengan negara ASEAN lain untuk negosiasi bareng. Karena nggak punya power,” katanya.
Dalam peta dagang global yang berubah cepat, negosiasi hanyalah ujung dari proses panjang. “Posisi kita di internasional mencerminkan kondisi domestik. Tanpa reformasi ekonomi dan politik di dalam negeri, daya tawar kita akan tetap rapuh,” kata Deni.